Learning has become the first citizens' first duty. Stop learning and you stop living. Begitu kata Prof. Dr. Karlheinnz A.Geissler dalam papernya "Learning Future' yang ditulisnya pada tahun 2000. Pernyataan ini, bila diamati merupakan sebuah expresi betapa pentingnya sebuah proses pembelajaran untuk memperoleh kelangsungan hidup yang bermakna (meaningful survival). Sebagai upaya untuk survival itu, dalam tataran pengetahuan awam, ada 3 ranah dasar yang diperoleh dalam sebuah proses pembelajaran tersebut.Â
Ketiga ranah itu adalah ranah pengetahuan untuk hidup (knowledge), ranah tingkah laku (affective) dan ranah ketrampilan (psychomotoric). Ketiganya ini bisa disebut sebagai life skills. Penguasaan semua ranah yang kini dihadapi dengan kehidupan di era millennium baru, maka tuntutan belajar yang progresif dan offensive menjadi sebuah tuntutan yang harus dicapai dengan usaha yang keras. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut dalam peradaban kita, kita memerlukan sebuah institusi, formal maupun informal.
Dalam konteks persekolahan guru adalah ujung tombak. Artinya guru memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin proses pembelajaran bisa berlangsung. Mungkin itulah yang menjadi landasan pikiran bagi Ho Chi Min (bapak pendidikan Vietnam) berkata bahwa, No teacher No education. No education, no economic and social development. Ungkapan Ho Chi Min ini, jelas-jelas menunjukkan betapa guru sebagai subjek dalam menjalan proses belajar di sekolah. Tanpa guru, maka tidak ada pendidikan. Pendapat ini tentu saja bisa saja ada pertentangan dengan aliran-lairan pembebasan, bahwa belajar bukan hanya di sekolah dan bukan hanya pada guru.
Krisis Apresiasi
Selama ini profesi guru memang dipandang menjadi lebih enak, karena ada program sertifikasi yang berdampak besar pada peningkatan taraf hidup kebanyak guru yang memperoleh penghasilan lewat  program sertifikasi tersebut. Namun, bila dikaji-kaji, program sertifikasi itu terlihat seperti program setengah hati dan cendring mengebiri guru dengan berbagai cara. Misalnya, karena memperoleh sertifikasi tersebut beban guru ditambah dengan berbagai macam beban mengajar dan beban administrasi.Â
Dana sertifikasi yang seharusnya diberikan dengan lancar, dalam banyak fakta selalu mengalami keterlambatan dalam pembayarannya kepada guru. Kondisi ini sebenar sebuah kondisi yang tidak menghargai guru. Kendatipun  mendapat tunjangan sertifikasi, sesungguhnya rasa hormat dan penghargaan terhadap guru dan profesinya memudar.Â
Banyak pandangan melihat profesi guru bukan lagi sebagai sebuah profesi menarik, terutama dari kalangan menengah ke atas. Karena profesi guru tidak menjamin masa depan yang lebih baik.Ada pula berkata, kalau mau jadi guru bersiaplah untuk hidup miskin. Begitu rendahnyakah?. Tetapi inilah realitasnya. Mungkin inilah akibat dari rendahnya kesejahteraan guru selama ini. Ironi lain, bukan saja pada persepsi yang berubah, tetapi pada tindakan. Para pembaca pasti masih ingat bagaimana kasus-kasus pemotongan gaji guru oleh oknum bendaharawan di sekolah maupun di dinas pendidikan atau di kantor kas pembayaran gaji mereka.Â
Cerita lain adalah soal nasib guru kontrak, guru bantu dan guru honor. Mereka selama ini mendapatkan perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Bayangkan, sudah gaji rendah, gajinya selalu terlambat berbulan-bulan. Bukankah ini sebuah perlakuan yang membawa derita dan merendahkan martabat guru ? Hal ini menjadi oronis, karena pejabat-pejabat yang melakukan tindakan ini sebenarnya juga ada yang berasal dari guru.
Dulu, penulis sering bertanya kepada siswa kelas 3 baik jurusan IPA maupun jurusan IPS di SMA Negeri 3 Banda Aceh. Pertanyaannya sederhana saja yakni, Kalau anda tamat SMA, anda akan melanjutkan pendidikan ke mana ? Bukan hal yang mengagetkan, ternyata tidak satupun diantara mereka yang berencana melanjutkan pendidikan ke FKIP. Pilihan mereka jatuh kepada fakultas-fakultas kedokteran, peranian, teknik, ekonomi hukum atau yang lain di luar FKIP. Ironis bukan ? Kalau ini realitasnya,, siapakah yang akan menjadi guru di masa depan ? Ini berbahya,kalau kita tidak menyiapkan tenaga pendidikan yang qualified, beriman dan bertaqwa di masa depan. Sekolah kita akan ditangani oleh orang-orang yang tidak qualified.