Medio 1998 adalah kali pertama melihat lambang FPI (Front Pembela Islam). Di Kaca mesjid Jami kampungku ada yang menempel stiker bergambar lambang FPI. Entah siapa yang menempelkan dan akupun tidak berusaha untuk meninvestigasi. Tapi instingku kalau bukan warga kampungku yang merantau di Jakarta ya santri-santri aktif ataupun alumninya. Saat itu juga timbul keinginan untuk mengetahui siapa, apa dan bagaimana FPI itu.
Sebagai orang yang mengalami langsung goro-goro 1998 walaupun tidak secara paripurna, aku mengetahui betul bahwa ada benang merah antara Pam Swakarsa dengan FPI. Referensi-referensi yang kubaca juga menguatkan hal tersebut. Sehingga tidak berlebihan jika ada yang mengatakan kalau FPI adalah "peliharaan" aparat untuk keperluan manajemen konflik. Diskusiku dengan salah seorang agen intelijen pun makin menguatkan hipotesa itu.
Tapi setelah hampir dua dekade keberadaan FPI sepertinya telah terjadi transformasi. FPI makin membesar dengan jumlah anggota dan simpatisan hampir mendekati kekuatan massa partai menengah. Pengorganisasian yang efektif sampai ke grassroot membuat basis masa dan simpatisan makin menyebar. Aktifitas sosial dan keagamaan yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat membuat organisasi ini makin eksis dan mendapat pengakuan. FPI telah menjadi entitas politik walaupun bukan sebuah partai politik.
Pandangan bahwa FPI bagian dari manajemen konflik aparat keamanan sepertinya luntur dengan realitas ada beberapa tokoh FPI yang dikenai hukuman penjara karena perbuatan melawan hukumnya. Ini menjadi sebuah pertanyaan. Ada apa dengan FPI? Pidato-pidato Imam Besar FPI seringkali keras mengkritisi kekuasaan. Telinga penguasa memerah ketika kebijakan-kebijakan pemerintah dibedah dengan pisau syariah. Sulit untuk melihat sikap FPI ini sebagai sebuah dramaturgi. Jelas posisi FPI dan Pemerintah berada di dua sisi yang bertentangan secara diametral.
Paradigma masyarakat terhadap FPI pun sepertinya telah mengalami pergeseran. Stereonegatif yang selama ini melekat kepada FPI banyak tercipta karena aksi kekerasan dalam menertibkan kemaksiatan. Selain itu dari beberapa informasi justru ada oknum-oknum anggota FPI yang diduga berada dipusaran premanisme itu sendiri. Tapi memang tidak akan ada entitas duniawi yang sempurna. Makin besar sebuah organisasi akan makin besar koefisien standar deviasinya. Yang jelas, lepas dari segala kontroversinya sekarang ada simpati yang lebih besar kepada FPI. Mereka merasa FPI-lah yang saat ini mampu mengartikulasi aspirasi Islam Politik. Kiprah FPI dipandang lebih greget dibanding partai yang berbasis massa Islam atau partai Islam sekalipun.
Wallohu'alam bishawab