Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mahalnya Sopan Santun

12 Desember 2015   20:00 Diperbarui: 24 Mei 2016   22:03 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Abi, aku berangkat sekolah dulu ya" begitu kata anakku setiap pagi sambil mencium tangan. Aku menjawabnya sederhana, "Iya Nak, selamat belajar ya". Kata-kata itu yang berkumandang setiap pagi hari di rumah.

Tak ada yang istimewa. Tapi justru makin kemari, kata-kata itu yang selalu kutunggu setiap pagi dari anak-anakku. Aku pun selalu rindu berucap, "selamat belajar ya Nak".

Aku menyebutnya, sopan santun. Atau bisa dibilang "tata krama"

Kesantunan anak pada orang tua, bisa jadi juga kesantunan orang tua pada anak. Iya soal sopan santun, tradisi yang mungkin sudah hilang di tengah kita.

Sungguh, aku memang tak pernah bisa menemani anak mengerjakan PR setiap malam. Aku juga tak terlalu sering menanyakan keadaan belajar mereka. Seperti orang tua kebanyakan mungkin, sibuk bekerja dan punya aktivitas masing-masing walau serumah.Sangat terasa, sopan santun menjadi "barang langka".

 

Sopan santun itu memang mahal. Barang langka jika tak mau dibilang mewah. Tak banyak lagi sopan santun di dekat kita. Di keluarga, di pergaulan, di jalan, di tempat kerja. Sopan santun makin langka di negeri yang katanya "berbudaya luhur" ini. Sopan santun, sungguh lebih dari sekadar uang. Lebih dari pangkat dan jabatan pula. 

Kisruh, saling tuding, menjelekkan satu sama lain hingga mengumbar kebencian. Itu pertanda hilangnya sopan santun. Entah si sopan santun pergi kemana, atau ia sedang bersembunyi. Bisa jadi, sopan santun sudah kalah oleh kekuasaan, kalah oleh materi dan uang, kalah oleh gaya hidup manusia. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, telah pergi si sopan santun. Entah kemana?

 

Kadang aku rindu sopan santun itu. Sopan santun di dalam rumah, di jalanan, di pergaulan. Hingga di tempat-tempat sehari-hari kita berada. Sopan santun, aku merindukanmu hari ini... juga esok.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun