DUKA. Terasa dalam dada kita. Ustadz Jefri Al-Buchori atau lebih akrab dipanggil Uje, meninggal dunia. Dini hari, Jumat26 April 2013, Uje meninggal akibat kecelakaan motor yang dikendarainya di kawasan Pondok Indah Jakarta. “Inna lillaaahi wa inna ilaihi roojiuun, sungguh segalanya milik Allah dan kita akan kembali kepada Allah”. Allahummagfirlahu warhamhu. Semoga Allah SWT. mengampuni semua dosanya. Istri dan 4 anaknya, semoga diberi ketabahan dan kesabaran, amin. Selamat Jalan Uje, Pulang untuk Dikenang ...
[caption id="attachment_257309" align="aligncenter" width="300" caption="Kita kehilangan sosok Uje .. Berdakwah dengan santai"][/caption]
Sosok Alm. Uje, kelahiran 12 April 1973 ini memang unik. Dakwahnya gaul, jauh dari pakem dakwah yang ada di Indonesia sebelumnya. Uje adalah pelopor DUGEM (Dakwah Untuk Generasi Muda). Dakwah dengan bahasa yang mudah dimengerti, menyentuh dinamika kehidupan orang muda. Kenapa generasi muda? Ya, karena Alm. berpandangan kaum muda adalah generasi masa depan penentu nasib suatu bangsa. Di tengah serbuan arus globalisasi, dakwah di kalangan anak muda memiliki “tantangan’ tersendiri. Moral generasi muda adalah pilar utama kemaslahatan umat, modal dasar di hari tuanya.
Alm. Uje layak menjadi inspirasi dalam mengembangkan dakwah yang ringan tapi berkualitas. Dakwah yang masuk ke dalam gaya hidup manusia. Sungguh, dakwah yang model ini, menurut saya, yang paling pas untuk masyarakat Indonesia. Tidak menggurui, tapi menyentuh subtansi antara yang haq dan batil, ditambah “kemerduan suara” indahnya lirik-lirik religius. Inspirasi lain, Uje juga memiliki latar belakang yang seperti orang kebanyakan. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di daerah Pangeran Jayakarta. Lingkungannya amat dekat dengan bar dan diskotek. Anak tongkrongan, begitulah masa remajanya. Bahkan Uje, sempat terjerat obat terlarang. Dia sering bilang dalam ceramahnya, "Gue itu dulu dutanya setan di dunia". Namun di akhir hayatnya, ia menjadi sosok yang “mendekat” pada agama, bukan sekadar dekat. Ia pendakwah muda yang mampu memberi warna yang berbeda. Bahasanya santai dan mudah dipahami. Sungguh, di luar pakem dakwah yang selama ini kita kenal.
Hingga meninggal dunia, ia masih berbuat kebaikan saat minum kopi di Kemang. Sedekah pada orang lain tanpa peduli statusnya. Katanya sakit, tapi tidak mau merepotkan orang lain hingga menemui ajalnya. Pesan terakhir sebagai firasat kepergiannya terkuak semuanya. Melalui twitter untuk kembali pada-Nya, pesan ke Ust. Solmed, BB yang tidak dipakai lagi namun berpesan untuk meminta maaf. Meninggal di hari Jumat, sungguh luar biasa.
Apa artinya buat kita? Meninggalnya Uje setidaknya memberi pelajaran bagi kita:
1. Jangan tertipu dengan usia MUDA karena syarat Mati TIDAK harus TUA.
2. Jangan terpedaya dengan tubuh SEHAT karena syarat Mati TIDAK harus SAKIT.
3. Jangan terlena dengan Harta KEKAYAAN karena “Si Kaya” pun TIDAK pernah menyiapkan Kain Kafan untuk dirinya meski cuma selembar.
Teruslah berniat BAIK, berbuat BAIK, berkata yang BAIK, bernasihat tentang KEBAIKAN. Ada atau tidak ada orang yang mengenalimu. Cukuplah ALLAH SWT yang mengenalimu lebih daripada orang lain. Jadilah seperti “Jantung” yang tidak terlihat tetapi terus “berdenyut” setiap saat hingga kita terus dapat hidup, berkarya, dan menebar manfaat bagi orang-orang di sekitar kita, SAMPAI kita diberhentikan oleh-NYA. “Cukuplah KEMATIAN seseorang menjadi pelajaran bagi KITA”