Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Larangan Takbir Keliling Malam Lebaran Perlukah Dipatuhi?

20 Juni 2017   15:41 Diperbarui: 21 Juni 2017   16:57 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah peserta pawai bersuka cita di atas kendaraan bak terbuka saat mengikuti pawai takbiran di Jalan Jenderal Sudirman, Balikpapan, Rabu (7/8/2013).(TRIBUN KALTIM / FACHMI RACHMAN)

Himbauan Kapolda Metro Jaya, Irjen Mochamad Iriawan agar warga Jakarta tidak melakukan takbir keliling di jalan-jalan dalam menyambut Idul Fitri haruslah dipandang sebagai "perintah umara" yang sudah seharusnya ditaati. Menjalani dan mengikuti perintah "ulil amri" atau pemerintah adalah keharusan, terlebih terkait erat dengan soal ketertiban dan keamanan masyarakat. Dalam kitab suci al-Quran bahkan disebut bahwa ketaatan kepada pemerintah levelnya sama dengan ketaatan kepada Tuhan dan juga pada Rasul, sehingga apa yang diperintahkan jika itu akan membawa kebaikan, wajib untuk diikuti dan ditaati. "'Athii'u allaha wa 'athii'u ar-rasuula wa ulil amri minkum" (Taatilah Tuhanmu, taatilah para Rasulmu dan pemerintah di antara kalian).

Himbauan aparat keamanan agar prosesi takbir menyambut kedatangan Idul Fitri cukup dilakukan di masjid-masjid tak akan mengurangi kemeriahan bahkan akan lebih memperoleh kekhusyukan bagi seluruh rangkaian kegiatan takbir ini dijalankan. Bukankah takbir itu merupakan dzikir yang butuh ketenangan dan keheningan batin sehingga lantunan-lantunan dzikir yang kita dengungkan justru akan menambah kuat kekokohan hati kita kepada Tuhan? Jika lantunan dzikir justru keluar dari dimensi kekhusyukan terlebih dilantunkan dengan teriakan-teriakan yang "merusak" suasana batin kita kepada Tuhan, dipastikan takbir itu akan hilang begitu saja tanpa manfaat, tak pernah menghunjam ke dalam batin kita. Esensi dzikir sejatinya adalah pembentukan karakter batin dan suasana jiwa seseorang agar lebih lembut sehingga tumbuh rasa kasih sayang kepada sesamanya.

Takbir yang dikumandangkan pada malam Idul Fitri adalah ungkapan rasa syukur yang mendalam kepada Tuhan atas segala nikmat yang dianugerahkan kepada manusia dan seluruh makhluk hidup yang ada. Hitungan berpuasa yang telah mencukupi---sesuai dengan proses hisab dan rukyat---menjadi pertanda akhir dalam gemblengan madrasah ruhaniyah yang selama Ramadan diperoleh sehingga ketika hitungan puasa disempurnakan, manusia patut bersukur atas selesainya serangkaian kegiatan Ramadan dengan mengumandangkan kalimat takbir.

Sepanjang pengetahuan saya, tak pernah ada dalam sejarah Islam, kumandang takbir kemudian diteriakkan dengan menaiki kendaraan dan berkeliling sepanjang jalan. Alangkah khidmatnya ketika takbir justru berkumandang dari sebuah masjid, dilantunkan bersama-sama secara khusyuk dan tertib, pasti akan lebih merasakan kenikmatan berdzikirnya dibanding teriak-teriak sepanjang jalan.

Sebagai seorang muslim, saya justru melihat bahwa kebanyakan di antara kita terlalu terpukau dan bangga dengan hal-hal yang bersifat simbolik, tetapi seringkali abai terhadap nilai-nilai terdalam yang mampu membangun keutuhan karakteristik. Pemandangan keagamaan kita dipenuhi oleh hal-hal yang serba "kaget", memosisikan seakan diri kita "orang baru" dalam hal agama. Seringkali tanpa sadar, kita bangga dan hormat kepada urusan jubah yang panjang atau serban yang melilit di kepala, tetapi kita melupakan mereka yang berpakaian ala kadarnya, sederhana, tetapi benar-benar menjalankan kewajiban agamanya. Fenomena ini kadang mengingatkan saya ketika baru saja resmi menjadi mahasiswa baru yang bangga dengan jaket almamaternya dan selalu dipakai ke mana-mana.

Anehnya, ketika kemudian himbauan takbir yang dikeluarkan pihak keamanan agar dilakukan di masjid-masjid, tentu ada saja ada yang nyinyir bahkan melawan dengan beragam upaya, termasuk menunjukkan seakan-akan takbir telah dilarang dikumandangkan oleh aparat dan pada akhirnya pemerintah dianggap melakukan penodaan agama. Padahal, takbir adalah kalimat yang mengagungkan Tuhan, yang jelas akan lebih bermakna jika dikumandangkan di "Rumah Tuhan" dan bukan di jalanan. Ketika kita memahami bahwa takbir adalah bentuk dzikir dan cara seseorang mendekatkan diri kepada Tuhannya, sudah seharusnya takbir dilakukan secara tenang dan khusyuk dalam suasana keheningan batin di dalam masjid atau tempat-tempat hening lainnya.

Bagi saya jelas, bahwa tidak ada satu pun dasar keagamaan yang kuat menyuruh agar mengumandangkan takbir saat malam Idul Fitri di jalanan dengan cara melakukan arak-arakan kendaraan. Bahkan perintah dalam al-Quran terkait akhir Ramadan ketika diperintahkan bertakbir menyambut Idul Fitri hendaklah tetap dijalankan dalam suasana bersyukur penuh khidmat selaras dengan petunjuk Tuhan yang selama ini selalu dihadirkan kepada manusia. Nuansa syukur yang terbaik adalah menunjukkan "timbal balik" atas seluruh kenikmatan Tuhan, melalui bertambahnya kebaikan yang ada dalam diri seseorang. Kebaikan tentu saja tidak hanya akan kembali menjadi kebaikan bagian bagi dirinya, tetapi akan dirasakan kemanfaatannya oleh orang lain.

Saya justru sangat mengapresiasi pihak aparat keamanan yang melarang agar kumandang takbir menyambut Idul Fitri tidak dilakukan di jalanan, tetapi dihimbau dapat secara tenang dan khusyuk dilakukan di masjid-masjid. Himbauan ini jelas, tidak hanya berdampak pada tercapainya ketertiban dan kedamaian di tengah masyarakat, tetapi juga akan memberikan dampak batin pada setiap pelantun takbir ketika benar-benar dirasakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Dengan menganggap takbir sebagai dzikir, ia akan menjadi satu-satunya perbuatan yang lebih baik dan bahkan jika dinilai dengan kekayaan maupun materi, dzikir masih tetap lebih mulia di sisi Tuhan. Lakukanlah dzikir secara khusyuk, penuh ketenangan untuk mencapai kebersihan jiwa sehingga kotoran-kotoran seperti kebencian, permusuhan, fanatisme, kesombongan justru terkikis oleh lantunan dzikir.

Berakhirnya Ramadan yang hanya tinggal hitungan hari memang sudah seharusnya diiringi oleh rasa syukur tak terhingga karena kita masih bisa dipertemukan dan diberikan keistimewaan dalam bulannya. Tidak lantas diiringi dengan kesenangan yang berlebihan, yang seakan-akan itu diyakini sebagai sebuah kebenaran, padahal justru merusaknya. Takbir yang dikumandangkan sebagai perintah Tuhan di setiap akhir Ramadan hendaklah menjadi ungkapan rasa syukur yang dilantunkan menjadi dzikir yang berkumandang di masjid-masjid secara khusyuk dan damai. Penuhilah seluruh ruang batin yang tersisa dengan dzikir kepada Tuhan, hayati dan yakini bahwa dzikir akan meningkatkan derajat seseorang di mata Tuhan, bukan derajat seseorang di mata orang lain. Bertakbirlah dengan dorongan rasa syukur dan iman, bukan atas dorongan nafsu dan kesombongan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun