Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Korupsi Berjamaah di Lembaga Peradilan

20 Juni 2016   10:42 Diperbarui: 20 Juni 2016   10:54 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan ini kita semakin miris dengan dunia peradilan kita, satu persatu aparat penegak hukum yang seharusnya mengakkan keadilan demi hukum malah tersandung kasus hukum. Hampir setiap bulan kita dihadapkan oleh kenyataan tertangkapnya para hakim, panitera atau pengacara yang “bermain” memperjual belikan perkara di lembaga peradilan. Ini merata, di hampir seluruh lembaga peradilan di Indonesia, dari mulai yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Para mafia peradilan ini anehnya tumbuh sumbur di lingkungan peradilan dan sudah menjadi kebiasaan bahwa korupsi dalam setiap penanganan kasus menjadi “hal yang wajar” dalam perspektif mereka. Padahal, konon katanya penghasilan para hakim dan aparat pengadilan telah dinaikkan lebih dari dua kali lipat. Tetapi, nampaknya mereka seakan menikmati kegiatan korupsi yang dilakukan secara berjamaah.

Korupsi berjamaah di lingkungan pengadilan seakan sulit sekali diberantas, karena sepertinya oknum-oknum diantara mereka saling melindungi. Mereka terbiasa untuk mencari “tambahan” di luar tugasnya sebagai aparat penegak hukum dengan nyambi kerja sebagai “calo” yang dapat mempercepat dan memuluskan perkara-perkara hukum yang sedang ditangani oleh pengadilan tempat dimana mereka bekerja. Uniknya mereka tidak “bermain” sendiri-sendiri tapi dilakukan secara bersama-sama alias berjamaah mirip seperti konteks berjamaah dalam ibadah, dimana mereka mempunyai “imam” yang akan mengatur keputusan hukum sehingga bisa saja diperingan dengan syarat “imbalan tertentu” dimana semakin banyak semakin bisa berkurang jumlah hukumannya. Para “makmum” mengerti apa yang dimaksud “imam” seraya mencari mereka yang berperkara secara hukum agar dapat dibantu menyelesaikan berbagai perkara hukumnya di pengadilan, dengan syarat imbalan tertentu.

Padahal, konsep jamaah dalam hal ibadah, seperti sholat misalnya, merupakan sesuatu yang dianggap berat oleh kebanyakan umat Muslim, sehingga kita seringkali menyaksikan betapa sedikitnya jamaah Shalat Subuh di masjid-masjid misalnya. Konsep berjamaah dalam agama, cenderung dimaknai keberkahan, karena berjamaah selalu dihubungkan dengan hal-hal yang positif. Pernah Nabi saw menyatakan, “sesungguhnya di dalam setiap jamaah itu ada keberkahan”. Akan sangat bertolak belakang ketika konteks berjamaah ini dihubungkan dengan perbuatan korupsi yang justru bukan sesuatu hal yang berat bagi oknum-oknum di lembaga peradilan, justru menjadi perbuatan yang ringan apalagi semakin ringan ketika dilakukan secara berjamaah. Mungkin dalam dunia peradilan, ketika korupsi itu dilakukan secara bersama-sama atau berjamaah akan lebih mudah menghilangkan jejak, karena dilakukan tidak oleh oknum tetapi dilindungi oleh lembaga.

Banyak pihak menyangsikan bahwa reformasi peradilan yang belakangan ini santer didengungkan hanya sebatas wacana. Semangat penegakkan hukum tidak disertai oleh pelembagaan mentalitas yang kuat sebagai aparat penegak hukum yang taat hukum. Sebuah paradoks, ketika aparat penegak hukum justru menghancurkan sistem hukum itu sendiri melalui kegiatan korupsi yang dilakukan secara berjamaah di lingkungan pengadilan. Sejauh ini, tidak ada perbaikan secara signifikan yang terbentuk dalam sebuah lembaga pengadilan, yang ada hanyalah semakin tumbuh suburnya mental-mental korup diantara para penegak hukum kita. Untuk sekedar melihat saja, sejak bulan April, KPK telah menangkap pejabat di tiga pengadilan, yakni pengadilan Jakarta Pusat, Pengadilan Kapahiang Bengkulu dan terakhir baru-baru ini pejabat pengadilan Jakarta Utara yang menangani kasus pedangdut Saiful Jamil. Rentetan penangkapan para pejabat pengadilan ini seakan memperlihatkan kepada kita bahwa korupsi sudah dilakukan secara berjamaah di tingkat pengadilan.

Selama ini, proses pencegahan korupsi baru sebatas tugas yang diemban oleh KPK tetapi belum merata dibebankan kepada lembaga peradilan. Seharusnya, jika memang korupsi dianggap sebagai musuh bersama, maka tugas pencegahan tidak harus berada di tangan KPK saja, tetapi semua lembaga penegak hukum, baik kepolisian dan pengadilan justru harus menjadi garda depan lembaga yang bertugas mencegah perbuatan korupsi. Political Will para pemangku negara ini nampaknya masih setengah hati dalam soal pencegahan tindak pidana korupsi karena korupsi seakan sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Sungguh sebuah kengerian jika banyak aparat penegak hukum di negeri kita justru kebanyakan korup. Lalu mau jadi apa hukum di negeri ini?

Saya justru heran, ketika pemerintah misalnya menyatakan perang melawan kemiskinan, perang melawan narkoba, perang melawan kejahatan seksual yang dibuka ke ruang publik sedemikian rupa sehingga terlihat ada upaya kesungguhan dan keseriusan dalam praktek penegakan hukum. Bahkan, baru-baru ini diputuskan hukuman kebiri bagi para penjahat seksual dengan tujuan memberikan efek jera kepada pelakunya. Tetapi kekuatan penegakkan hukum tidak seserius terhadap para pelaku korupsi. Hukuman yang diberikan pada para koruptor sejauh ini tidak pernah memberikan efek jera kepada pelakunya karena memang tidak disertai dengan pemberatan hukuman. Padahal, jika melihat kepada efek perbuatannya, korupsi telah membunuh banyak hak warga negara, terutama mereka yang miskin, bahkan membunuh generasi-generasi yang hidup berikutnya. Korupsi justru melebihi hanya sekedar kejahatan seksual, narkoba atau terorisme sekalipun. Ketiadaan hukum yang membuat efek jera pelakunya telah menumbuh suburkan korupsi berjamaah di negeri ini.

Sudah saatnya saya kira, presiden, KPK, MA dan lembaga peradilan membuat terobosan baru bersinergi dalam hal pencegahan dan penindakan kejahatan korupsi secara lebih serius. Saat ini yang terlihat justru lembaga-lembaga ini berjalan sendiri-sendiri. Mereka hanya memikirkan tugasnya sendiri masing-masing, padahal korupsi sudah menjadi common enemy bagi bangsa Indonesia. Buatlah stigmatisasi perang melawan korupsi dengan hukuman kebiri misalnya, sehingga “hasrat” untuk melakukan korupsi tidak pernah lagi muncul dalam diri seorang koruptor. Banyak cara sebenarnya bagaimana membuat efek jera bagi para koruptor asalkan ada itikad baik dari seluruh pemangku kepentingan di negeri ini. Kita ini hanya disodorkan tontonan penangkapan-penangkapan para koruptor, tetapi yang korupsi tidak pernah berkurang, yang korupsi malah bertambah banyak dan semakin tumbuh subur, tidak lagi sendiri-sendiri tetapi berjamaah.

Wallahu a’lam bisshawab  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun