Saya kira kita semua tahu siapa itu pemulung. Kalau belum tahu, maka saya beritahu. Pemulung adalah pekerja yang kerjaannya memungut dan mengumpulkan barang-barang bekas dari tempat-tempat sampah. Bukan hanya di tempat sampah tetapi juga di jalanan, tempat dimana masyarakat tak beradap membuangnya secara sembarangan.
Adapun barang-barang bekas yang mereka pungut, misalnya botol minuman air mineral, kaleng, kertas, besi tua, pecahan kaca, dll. Â Barang-barang bekas atau sampah-sampah pilihan yang mereka pungut kemudian di jual ke bandar (penampung barang bekas) yang kemudian diolah dan didaur ulang. Rata-rata pendapatan mereka sekitar RP 30.000 sampai RP.70.000 per hari (Hasil percakapan singkat dengan salah satu pemulung). Pendapatannya bisa lebih dan bisa kurang dari nominal tersebut.
Setiap hari kita pasti bertemu dengan pemulung. Ketika kita bergerak memecah kemacetan kota. Ketika kita berjalan kaki untuk sekadar berbelanja di Indomaret terdekat. Atau ketika kita berolah raga di pusat kota. Kapan saja kita bisa bertemu dengan mereka. Bahkan ketika karantina di rumah selama masa pandemi  ini, kita bisa menyaksikan bagaimana mereka berjuang dan berperang melawan panansya terik mata hari serta pengatnya bau sampah.Â
Pekerjaan seorang pemulung menurut saya adalah pekerjaan yang sangat mulia. Mengapa demikian? Karena pemulung melaksanakan pekerjaannya dengan tulus dan salah satu tujuan positifnya, yakni menciptakan kebersihan lingkungan. Pemulung tak ada ikatan kontrak dengan bandar.Â
Tak digaji oleh pemerintah. Sehingga ketika himbauan bekerja dari rumah oleh pemerintah sejak awal Maret lalu, mereka tak peduli. Bukan karena tidak takut virus tetapi karena takut mati kelaparan. Barangkali mereka lebih takut mati karena kelaparan daripada mati karena terserang virus corona. Kita bisa melihat secara langsung, mereka tak pernah menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker, kaus tangan, dll.
Di samping itu, pemulung tak pernah mengeluh. Tak pernah bertanya menga cuaca tak bersahabat dengannya? Mengapa setiap hari matahari selalu panas? Mengapa tak ada satu orang pun yang peduli padanya? Mengapa tak ada orang yang memberikan receh? Mengapa banyak orang yang menutup hidung dan mulut ketika berpapasan dengannya? Atau mengapa Tuhan tega membiarkan dia menjadi pemulung? Partanyaan remeh temeh tersebut hampir tak pernah terdengar dari mulut seorang pemulung.
Lalu, apakah pemulung mencintai pekerjaannya?
Pertanyaan ini agak sulit dijawab. Mengapa sulit? Karena saya bukan pemulung. Namun, karena pertanyaan tersebut dijadikan sebagai judul tulisan ini, maka saya harus menjawabnya. Menurut saya, ada dua jawaban atas pertanyaan tersebut. Pertama, ada pemulung yang tidak mencintai pekerjaannya alias karena keterpaksaan.Â
Karena tidak ada manusia di dunia ini yang bercita-cita untuk menjadi orang miskin. Kita ketahui bersama bahwa mereka (pemulung) tergolong orang miskin. Sementara setiap orang selalu berharap agar segala kebutuhannya terpenuhi, baik dalam hal papan, sandang maupun pangan.
 Kedua, ada pemulung yang mencintai pekerjaanya. Alasannya karena mereka tak perlu repot-repot membuat surat lamaran pekerjaan yang kemudian dibawa ke kantor-kantor bertingkat di tengah kota. Pemulung tak pernah bekerja di bawah tekanan. Pemulung tak memiliki peraturan yang mengikatnya. Hidupnya suka-suka. Kalau mau keluarganya bisa makan dan minum ya dia harus bekerja. Tetapi kalau mau yang sebaliknya ya sepenuhnya tergantung dia.