Mohon tunggu...
Suci Handayani Harjono
Suci Handayani Harjono Mohon Tunggu... penulis dan peneliti -

Ibu dengan 3 anak, suka menulis, sesekali meneliti dan fasilitasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Reklamasi, Warisan Presiden Soeharto yang Mengalir Jauh

4 April 2016   13:08 Diperbarui: 5 April 2016   16:41 2158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Foto: aktual.com"][/caption]Reklamasi  menjadi buah  bibir manakala M. Sanusi anggota DPRD DKI Jakarta  tertangkap dalam Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (31/3/2016). Uang tunai sebesar Rp 1,1 miliar yang diberikan oleh Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, menjadi bukti yang tidak bisa dipungkiri.  Politikus Partai Gerindra tersebut  diduga menerima uang suap terkait  pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.

Reklamasi bukan hal mengejutkan terutama bagi daerah yang mempunyai masalah jumlah penduduk besar sementara lahan tidak mencukupi. Reklamasi adalah suatu proses membuat daratan baru pada suatu daerah perairan/pesisir pantai atau daerah rawa. Hal ini umumya dilatar belakangi oleh semakin tingginya tingkat populasi manusia, khususnya di kawasan pesisir, yang menyebabkan lahan untuk pembangunan semakin sempit. Karena sejatinya  pertumbuhan penduduk dengan segala aktivitasnya tidak bisa dilepaskan dengan masalah kebutuhan lahan.

Reklamasi Dilakukan Sejak Presiden Soeharto
Dengan pertimbangan menambah luas lahan (baru), proyek reklamasi gencar dilakukan sejak pemerintahan Soeharto. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah lain.

Di Jakarta sendiri, reklamasi sudah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu tepatnya sejak tahun 1980-an. Menurut catatan kompas.com, di Jakarta, reklamasi saat itu dilakukan oleh PT Harapan Indah, yang saat itu melakukan reklamasi  di kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan. Dari reklamasi tersebut terbentuk  daratan yang kemudian digunakan untuk permukiman mewah Pantai Mutiara. Kemudian, PT Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi sekitar tahun 1981.

Seperti di Jakarta, reklamasi mulai masuk ke  wilayah Kota Manado Sulawesi Utara pada tahun 1980. Menurut catatan penulis (saya melakukan penelitian di Manado tahun 2011), pemerintah pusat pada jaman Presiden Soeharto melakukan proyek mercusuar di Manado dengan melakukan pembangunan Boulevard. Dengan pertimbangan demi kepentingan umum, maka  dibangunlah  jalan untuk memperlancar transportasi yang menghubungkan Kota  Manado. Proyek Jalan Boulevard  menimbun pantai di sepanjang jalan Piere Tendean. Pada waktu itu, proses pembangunan minim keterlibatan dan sosialisasi masyarakat. Sehingga proyek dibangun tanpa memberikan informasi, sosialisasi dan meminta persetujuan dari masyarakat.

Kemudian reklamasi di Teluk Lampung, juga dilakukan pada awal tahun 1980-an.

Dari beberapa kasus reklamasi di atas, salah satu masyarakat yang terdampak adalah nelayan yang sehari-harinya mengandalkan laut sebagai tempat mereka mencari nafkah dan masyarakat yang tinggal di lingkungan proyek tersebut.

Di Manado, Ketika Jalan Boulevard mulai dibangun, sebagian permukiman tergusur dan seluruh wilayah pantai tempat masyarakat beraktivitas musnah. Tambatan perahu untuk nelayan berkurang, sauh juga berkurang sehingga seringkali kapal nelayan pecah terhantam cor beton jalan yang sedang dibangun. Soma dampar yang menjadi salah satu alat tangkap favorit nelayan tak bisa lagi digunakan. Untuk melaut, nelayan harus menyeberang jala. Dan pada saat musim angin utara dan barat, perahu harus diangkat ke atas jalan. Tidak sedikit perahu nelayan yang rusak karena dihantam ombak dekat batu-batu besar. Segala urusan melaut menjadi tidak mudah. Permasalahan nelayan semakin bertambah ketika ikan yang ditangkap menjadi berkurang karena sebagian laut telah ditimbun. Lambat laun hal tersebut menyebabkan masyarakat yang berprofesi menjadi nelayan menjadi berkurang menjadi sekitar 40%.

Beberapa tahun kemudian sekitar tahun 1995, pemerintah Kota Manado mengijinkan pengembang masuk untuk membuka kawasan bisnis di sepanjang pantai Manado, yang pada akhirnya  digunakan sebagai mal, perumahan mewah, rumah makan, dll.

Sementara untuk reklamasi di Teluk Lampung, berdampak terhadap nelayan terutama yang biasa mempunyai wilayah tangkapan di laut dangkal Sukaraja dan nelayan di dusun Cangkeng-Kotakarang.

Reklamasi Memunculkan Pola Penguasaan Ruang Publik yang Tertutup dan Berkesan Private-domain
Dari sejumlah pengalaman yang ada, reklamasi lebih banyak digunakan untuk kepentingan bisnis. Pengembang atau pengusaha yang mendapatkan izin reklamasi biasanya cenderung akan mengunakan lahan tersebut untuk pengembangan bisnis yang diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas. Dipergunakan untuk mal, pusat hiburan, perumahan elit, yang muaranya tidak akan terjangkau masyarakat biasa. Ini yang dikatakan munculnya pola penguasaan ruang publik yang tertutup dan berkesan private-domain. Warga sekitar hanya mampu menjadi penonton saja tanpa bisa menikmati ruang publik baru tersebut karena tidak mungkin menjangkaunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun