Mohon tunggu...
iswahyudi sondi
iswahyudi sondi Mohon Tunggu... lainnya -

Never give up for the best sake of my country

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kasus Tamrin A Tamagola dan Pembelajaran Akademis

25 Januari 2011   02:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:13 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosiolog  Universitas Indonesia Tamrin Amal Tamagola dijatuhi putusan yang berisi enam poin dalam persidangan adat Dayak Maniring Tuntas Manetes Hinting Bunu (memutus dendam yang berkepanjangan dalam menuju perdamaian dan rekonsiliasi ke arah yang lebih baik) (Kompa.com, 22 Januari 2010) Awal Sengketa

Sengketa antara Sosiolog Tamrin A Tamagola dan masyarakat Dayak bermula dari kesaksian Tamrin dalam persidangan Ariel Peterpan di Bandung, 30 Desember lalu. Sebagai saksi ahli yang meringankan Ariel, Tamrin mengatakan bahwa penyebaran video porno "mirip" Ariel Peterpan dianggap tidak meresahkan bagi sebagian masyarakat. Dijelaskan oleh Tamrin bahwa berdasarkan penelitian yang dia lakukan di Dayak, melakukan hubungan badan tanpa diikat oleh perkawinan oleh sejumlah masyarakat sana sudah dianggap biasa. Bahkan perbuatan tersebut bisa dianggap sebagai pembelajaran seks. Tentu saja berita yang dimuat di Media sehubungan dengan kesaksian Tamrin menyebabkan keresahan dan kemarahan Masyarakat Dayak. Mereka mendemo dan meminta kepada Tamrin untuk meminta maaf atas kesaksian yang diungkapkan dalam persidangan Ariel Peterpan kemarin. Sekitar 100 orang dari Majelis Adat Dayak wilayah Jakarta menuntut permintaan maaf Tamrin dalam demo yang dilakukan di Bunderan HI, Sabtu 8 Januari kemarin Klarifikasi Tamrin A Tamagola Dikutip dari klarifikasi dan permintaan maaf yang disebarkan oleh Tamrin melalui surat elektronik, beliau menjelaskan bahwa pendapat yang diungkapkan dalam persidangan tersebut didasarkan atas penelitian yang dilakukan sewaktu menjadi konsultan di Departemen Transmigrasi pada tahun 1982-1983. Penelitian itu dilakukan di wilayah Kalimantan Barat dan Papua Selatan. Pada saat itu Tamrin melakukan wawancara mendalam hanya kepada 10 ibu usia subur sebagai informan. Terhadap sampel yang sedikit ini, Tamrin menjelaskan kepada Majelis Hakim bahwa penelitian yang dilakukan tidak dapat digeneralisir bahwa semua warga Dayak biasa melakukan hubungan badan tanpa ikatan perkawinan. Namun yang disesalkan oleh Tamrin adalah dia tidak menyiapkan penjelasan yang lebih mendetail kepada media mengenai pendapatnya di persidangan (siding dilakukan secara tertutup) sehingga apa yang dikutip oleh media adalah klaim yang sepotong-potong. Sidang Majelis Adat Masyarakat Dayak Dalam sidang adat Dayak yang dihadiri oleh lebih dari 1,000 orang dan berlangsung di Betang Tingang Nganderang Palangkaraya (Sabtu 22 Januari 2011), Tamrin di jatuhi putusan yang berisi enam point yaitu: 1. Tamrin harus meminta maaf kepada masyarakat Dayak yang disampaikan di depan siding majelis adat (sebelumnya Tamrin sudah menyampaikan permintaan maaf melalui surat elektronik yang dikirimkan ke berbagai media) 2. Tamrin dinilais ebagai pelanggar adat dan harus memenuhi singer (denda) dengan menyerahkan lima pikul garantung (gong) 3. Tamrin harus menanggung biaya penyelenggaraan acara sebesar Rp 77.777.700 (buset.. mahal amat) 4. Tamrin harus mencabut kesaksian yang dinyatakan di depan PN Bandung 5. Tamrin harus memusnahkan hasil peneilitian yang menyangkut penghinaan dan pelecehan terhadap masyarakat Dayak 6. Keputusan siding ini bersifat mengikat dan final Terhadap putusan tersebut, Tamri mengatakan memahami dan mengerti serta bersedia menerima segala resikonya. Tamrin pun bersedia membayar denda yang dimaksud KASUS SEJENIS DENGAN KASUS TAMRIN A TAMAGOLA Kasus Yahya Muhaimin dengan Probosutedjo

12959241631981906034
12959241631981906034
Kasus ini terjadi pada awal tahun 80-an dan bermula dari diterbitkannya Buku : Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 karya Yahya Muhaimin oleh LP3ES (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Buku ini merupakan disertasi dari pengarang untuk memperoleh gelar Ph.D dari Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, AS. Dalam bukunya, Yahya Muhaimin menjelaskan kebijaksanaan politik ekonomi pemerintah sejak awal kemerdekaan hingga orde baru. Pemerintah selalu membina pengusaha pribumi selama era tersebut dan kebijaksanaan tersebut menghasilkan kelompok pengusaha klien. Buku ini menjadi perhatian masyarakat dikarenakan tuntutan yang diajukan oleh Probosutedjo terhadap isi buku yang dianggap tidak benar dan mencemarkan nama baik dirinya. Probosutedjo tidak berkenan atas isi buku yang mengatakan perusahaannya, PT Mercu Buana, memperoleh monopoli atas impor cengkeh. Menurutnya, PT Mercu Buana tidak memperoleh monopoli melainkan penunjukan untuk mencari dana nonbudjeter untuk membiayai proyek Bantuan Presiden (Banpres). Probosutedjo meminta Yahya Muhaimin dan LP3ES untuk menyatakan penyesalan dan meminta maaf. Terhadap tuntutan yang diajukan oleh Probosutedjo, Yahya Muhaimin menuai banyak dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Apa yang dilakukan oleh Probosutedjo dinilai sebagai ancaman bagi kebebasan akademis. Buku tersebut merupakan karya akademis dan sepatutnya pula dibantah dengan karya akademis pula. Tidak dengan tuntutan di pengadilan. Dalam kasus ini Yahya Muhaimin dibela oleh Todung Mulya Lubis. Akhir dari sengketa ini adalah sikap Yahya Muhaimin yang menyetujui permintaan Probosutedjo untuk meminta maaf. Walaupun sikap ini disesali oleh banyak pihak terutama oleh kalangan akademisi, namun Yahya Muhaimin tetap pada pendiriannya untuk menyetujui permintaan Probosutedjo. Kasus Kwik Kian Gie dan Faisal Basri melawan Ditjen Pajak Kedua tokoh ini menyuarakan permasalahan yang sama. Keduanya menyatakan tentang penyelewengan potensi penerimaan pajak yang dilakukan oleh Aparatur perpajakan. Dalam artikel berjudul "Audit dan Penataan Kembali Organisasi Birokrasi" yang dimuat di Kompas 26 Maret 2005, Kwik menuliskan pajak sebesar Rp 180 triliun (Pajak Peghasilan dan PPN Non Migas) telah dikorupsi. Dasar dari argumentasi Kwik adalah "tidak ada wajib pajak (WP) yang mau membayar pajak semestinya. Paling sedikit 50% digelapkan. Dalam penyelesaian akhir, terjadi negosiasi antara WP dan petugas pajak sehingga dari 50% tersebut, setengahnya diambil oleh petugas pajak dan setengahnya disetor ke kas Negara. Dengan mengambil angka-angka APBN 2003, maka nilai PPh dan PPN non migas yang dikorupsi sebesar Rp 180 triliun". Namun menurut Faisal Basri, angka yang diajukan oleh Kwik terlalu besar. Menurut beliau angka penyelewengan berkisar sekitar Rp 40 triliun. Angka ini bersumber dari selisih antara target dan potensi penerimaan perpajakan. Pendapat ini dikemukakan oleh beliau dalam sebuah seminar perpajakan yang diadakan di Jakarta 31 Maret 2005. Atas kedua pendapat tersebut Dirjen Pajak saat itu, Hadi Purnomo, mengajukan somasi kepada keduanya. Mereka diminta untuk meminta maaf dan memuat permintaan maaf tersebut dalam surat kabar nasional. Apabila tidak dilakukan, Ditjen Pajak akan membawa masalah ini ke pengadilan. Apabila persoalan ini berlanjut ke pengadilan, biaya yang dikeluarkan oleh penulis tersebut akan lebih besar dibandingkan dengan iklan permohonan maaf di media massa. Oleh karena itu, Kwik pun meminta maaf dan menayangkan permintaan maaf tersebut di Harian Kompas. Alasan lain yang dikemukakan oleh Kwik adalah sulitnya mencari pihak yang mau bersaksi atas permasalahan yang ditulisnya. Namun sikap berbeda di tunjukkan oleh Faisal. Dia tidak mau meminta maaf dan bersedia apabila kasus ini dilanjutkan ke pengadilan. Namun Dirjen Pajak tidak melanjutkan niatnya membawa kasus ini berlanjut dan sayangnya juga, dia tidak bersedia membantah pendapat Faisal melalui tulisan juga. Penutup Apa yang menimpa Tamrin bukan merupakan kasus pertama dan juga bukan kasus terakhir yang akan terjadi di Indonesia. Seharusnya tulisan/naskah akademis dibantah dengan tulisan/akademis juga. Kini bukan saatnya lagi mencari kebenaran melalui kekuatan otot dan kekuasaan. Akal pikiran harus diutamakan untuk menuntaskan permasalahan yang ada Kasus Tamrin seharusnya juga dituntut dengan menanyakan kepada beliau, mengapa hanya mengambil sampel 10 orang saja. Dan mengapa walaupun dengan sampel yang hanya 10 orang, dia berani menyimpulkan pendapatnya. Terlebih lagi pendapat tersebut dinyatakan dalam persidangan yang kasusnya menyita perhatian publik bahkan menyita perhatian presiden.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun