Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bersikap Adil di Tengah Isu Sexting Rizieq Shihab

30 Januari 2017   03:16 Diperbarui: 30 Januari 2017   11:05 7450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenalkan cara baik pada mereka yang lupa bersikap baik - Kompas. com

Serentetan isi WhatsApp yang diduga milik Rizieq Shihab dengan Firza Husein beredar luas. Jagat internet seketika heboh; sebagian bersorak gembira, sebagian marah, dan lainnya memilih tetap bersikap jernih. 

Akhmad Sahal, salah satu tokoh muda Nahdlatul Ulama tercatat sebagai salah satu yang menolak bergembira atas fenomena itu. Walaupun jamak diketahui, ia sendiri telah dicap sebagai figur sangat anti-FPI, dan kerap kali dihina pengikut Rizieq yang notabene imam besar organisasi itu. 
Dalam salah satu cuitannya, Sahal menegaskan, sebenci apa pun kepada satu figur, tak elok jika aibnya harus diumbar cuma untuk menjatuhkannya. Sikap elegan Sahal memang tak lepas dari latar belakangnya sebagai santri yang notabene terikat janji untuk mengedepankan akhlak, memanusiakan manusia selayaknya manusia. Bukan untuk menghina saat terjadi silang pendapat. Tapi di tengah maraknya isu WhatsApp yang membuat banyak orang terguncang itu, harus diakui bahwa yang bersorak-sorai jauh lebih banyak. Nyaris dapat dikatakan, yang bergembira tersebut adalah kalangan yang memang teramat antipati pada sosok Rizieq.  Sikap antipati kalangan ini tak dapat dipisahkan dari aksi Rizieq sendiri selama ini yang acap dinilai arogan dan semena-mena pada kalangan yang berseberangan dengannya. Ia dinilai sadis karena tak segan "mengeroyok" entah lewat demonstrasi dlsb, jika berhadapan dengan pihak yang dinilai kontra dengannya. Jadi, saat dia lantas tersandung dengan kasus yang memang terbilang aib besar itu, meski belum jelas itu benar atau sekadar hoax, mereka merasa menemukan kepuasan sekaligus pelampiasan.  Nah, sikap mereka yang bergembira dengan menyeruaknya kasus WhatsApp itu pun tak dapat dihakimi secara serta merta. Walaupun, iya, sikap ini juga tak dapat sepenuhnya dibenarkan.  Kenapa tak dapat dihakimi, karena mereka pun punya kemerdekaan dalam mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Apalagi selama ini aparat hukum acap dinilai sangsi menindak Rizieq dengan semua perilakunya, dan tak ada pihak yang dapat mewakili mereka.  Jadi saat kasus ini merebak, mereka melihat ini tak lepas dari "tangan Tuhan" yang selama ini menjadi harapan terakhir mereka.  Di sisi lain, itu juga tak dapat sepenuhnya dibenarkan, lantaran lagi-lagi ada preseden buruk dari tersebarnya isi WhatsApp itu.  Di antara preseden buruk itu adalah mencuatnya kembali "sexting" atau "sex chat" yang notabene merupakan tren kalangan dewasa. Tentu tragis jika ini kemudian diketahui kalangan remaja dan anak-anak, mengundang penasaran mereka, lalu mereka pun tertarik melakukannya.  Jadi persoalan dari penyebaran itu memang tak sesederhana bahwa ini bermoral atau tidak. Tapi ini lebih ke sisi, ini berdampak besar atau tidak, terutama dari sisi edukasi.  Sebab ada hal yang tak dapat dinafikan, kalangan remaja dan anak-anak hari ini dengan gadget dan perkembangan informasi takkan kalah dengan kalangan dewasa.  Meski kalangan dewasa acap men-judge bahwa remaja hanya tahu main game, bersenang sekadar kongkow, dan menghabiskan waktu untuk hal-hal "wajar", tapi realitanya tak sepenuhnya begitu.  Silakan buka-buka data, dan simak seperti apa tingkat kekepoan remaja atas informasi, dan seberapa akrabnya mereka dengan berbagai isu.  Terlebih lagi isu ini menyangkut tokoh yang notabene terbilang rajin mencitrakan diri sebagai tokoh agama. Efek dari peredaran isu itu bisa saja jauh lebih dari yang dapat kita bayangkan.  Tapi begitu, pilihan sikap masing-masing pengguna internet tak dapat didikte. Masing-masing memiliki minat tersendiri, kecenderungan tersendiri.  Mempersoalkan mereka yang terlanjur menyebarkan rekaman pembicaraan dan isi WhatsApp itu sendiri, rasanya menjadi tak penting lagi. Sebab peredaran konten tersebut sudah tak terbendung.  Kecuali, jika pihak pemerintah dengan badan terkait mau bekerja keras, membendung lewat instrumen yang mereka punya hingga konten itu tercegah dari jangkauan anak-anak. Tapi, ini pun bukan pekerjaan mudah, sebab tak sedikit yang telah mengunduhnya dan mengarsipkannya, dan beredar lagi dari tangan ke tangan.  Lalu?  Klarifikasi dari pihak terkait, di sini Firza Husein yang notabene diduga turut ada dalam konten itu dengan pose vulgar, dan Rizieq Shihab yang diduga terlibat, mutlak menjadi hal sangat penting.  Tapi di khalayak, isu ini telah menjadi bola salju. Sekadar klarifikasi tak sepenuhnya dapat menghentikan gerak bola tersebut. Jadi, hal tak kalah penting adalah kedua pihak dapat membuktikan bahwa apa yang beredar itu tak lebih sekadar hoax. Pertanyaannya, apakah itu dapat dikatakan sebagai hoax?  Pasalnya berbagai analisis telah bermunculan. Berbagai respons telah memenuhi linimasa hingga status-status di jejaring sosial. Saya pribadi, terlepas memang menjadi salah satu yang kerap mengkritik Rizieq Shihab lewat berbagai artikel, dan anti dengan berbagai sepak terjang organisasinya, tetap berharap bahwa apa yang beredar itu tidak benar.  Sebab konsekuensi dari sana jika kemudian terbukti benar akan teramat besar. Sebab ini akan diingat sebagai preseden buruk dari tokoh agama. Publik belum lupa dengan kasus yang melibatkan Guntur Bumi beberapa tahun lalu. Sedangkan pada 2016 lalu, kehadiran Gatot Brajamusti, Taat Pribadi, kian mencoreng wajah kalangan pemuka religius.  Celakanya lagi, karena selama ini memang mereka paling sering tampil di media. Jadi, kasus seperti ini akan menuai dampak yang sama besar dengan tingkat popularitas yang sukses mereka bangun.  Maka itu, bagi kita, tetap berhati-hati di tengah maraknya sebuab informasi tetap saja penting. Menjaga untuk tidak latah dalam menyebar sebuah informasi yang belum jelas keabsahannya menjadi krusial.  Terpenting lagi, menekankan diri sendiri untuk adil terasa jauh lebih baik. Sebab, salah satu sikap adil tentu saja tidak melakukan sesuatu yang kita sendiri tidak suka jika orang lain melakuka  itu atas diri kita sendiri.  Apa yang diperlihatkan Akhmad Sahal saya kira dapat menjadi satu contoh. Okelah kita antipati atau bahkan benci, tapi kebencian itu tidak menghalangi kita untuk tetap bersikap adil.* Note: Artikel ini juga ditayangkan di situs pribadi www.tularin.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun