Isu soal serbuan jutaan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Cina bukan sekali dua kali ditumpahkan di timeline media sosial, boleh dikatakan isu ini sangat "seksi", sebagai amunisi pihak oposisi untuk menghantam kinerja pemerintah di sektor SDM. Pembenaran tentang tentang fakta ini pun dikuatkan oleh petinggi oposisi, seperti Fadly Zon yang rajin "nyinyir" soal ini di media sosial dan media online.
Belakangan isu ini kembali menjadi wacana publik  setelah Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres No. 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Pemberlakukan Perpres ini rencana baru 29 Juni 2018 nanti, saya melihat Perpres ini telah digoreng menjadi isu panas dengan premis  menyesatkan dan tanpa pijakan data yang valid. Memang dalam politik ada kebiasaan "teriak dulu soal salah dan benar belakangan", meski kebiasaan ini memperlihatkan kebodohan para politisi, toh muka tebal sudah menjadi budaya di kalangan politisi kita.
Lalu apa yang premis kelompok penyebar isu serbuan TKA asal Cina tersebut berkait dengan Perpres No. 20 Tahun 2018, berikut poin - poin yang yang saya tangkap :
- Perpres No, 20 Tahun 2018 membuka lebar TKA masuk ke Indonesia
- Buruh dan tenaga kerja kasar dari luar negeri makin mudah masuk ke negara kita
- Pemerintah pro -- TKA dibandingkan tenaga kerja dari dalam negeri
- Fakta membanjirnya TKA asal Cina pada kasus di Morowali sebagai bukti keperbihakan pemerintah terhadap TKA.
Persoalan ketenagakerjaan dalam perspektif makro sesungguhnya adalah persoalan hulu, dimana faktor -- faktor lain mempengaruhi kualitas dan keluaran tenaga kerja nasional. Terutama dari sektor pendidikan yang berkait langsung dalam mencetak kualitas SDM nasional sehingga layak bisa bekerja di mana pun. Menteri Tenaga Kerja RI, Hanif D dalam  "Diskusi Media FMB 9 " (23/04/2018) mengemukakan ada tiga  isu besar yang berkait dengan ketenagakerjaan nasional, yakni :
1. Kualitas
Hasil pendidikan yang kurang berkualitas, bukan hanya menciptakan pengangguran tetapi juga menyebabkan penurunan standar kerja bagi penyandang pendidikan tinggi pada tataran sarjana
2. Kuantitas
Segi kuantitas, rasio jumlah perguruan tinggi di Indonesia belum dapat menjamin kualitas pendidikan meskipun jumlah rasionya lebih tinggi dibandingkan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang memiliki penduduk terbanyak di dunia namun memiliki perguruan tinggi yang lebih sedikit dibanding Indonesia.
3. Persebaran
Penyebaran SDM di wilayah Indonesia belum merata, hanya beberapa wilayah yang memiliki tenaga kerja siap pakai di industri, meski tenaga kerja Indonesia banyak berprestasi internasional namun itu hanya  role model (contoh). Faktanya tenaga kerja seperti itu tidak  tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga bila ada investasi di suatu daerah membutuhkan tenaga kerja "tukang las"terlatih dan bersertifikat, daerah bersangkutan tak bisa memenuhinya. Akhirnya tenaga kerja diambil dari luar daerah untuk mempercepat pekerjaan dan memenuhi target pembangunan.
Persoalan TKA sesungguhnya adalah "gunung es" masalah SDM nasional, apalagi isu TKA tersebut dikaitkan dengan tenaga kerja  kasar dari luar negeri yang akan masuk ke Indonesia. Tentu menjadi sangat sensitif mengingat angka pengangguran kita masih cukup tinggi, berdasarkan rilisan resmi Kemenaker akhir tahun 2017, secara makro angka pengangguran nasional 5,5 persen dari  5,61 persen pada tahun 2016. Menanggapi isu pekerja asing kasar (unskilled), Menaker, Hanif D, dalam acara tersebut menegaskan, demi melindungi tenaga kerja Indonesia pemerintah melarang pekerja asing kasar.