Mohon tunggu...
Sidrap Society Syndicate
Sidrap Society Syndicate Mohon Tunggu... -

Sidrap Society Syndicate: Intitusi Nirlaba untuk Demokrasi (Local Wishdom). Independen-Non Diskriminasi-Partisipatif. Berkedudukan di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jurus Jitu Menghadang Incumbent

5 Maret 2013   15:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:17 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1362497795140135420

Perhelatan pesta demokrasi bertajuk Pemilihan Bupati Sidenreng Rappang, 2013 tinggal menghitung bulan (Kris Dayanti: Menghitung Hari). Jika tak ada aral, ia akan dihelat 18 September 2013, bersamaan dengan sejumlah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Ada banyak figur putra Sidenreng yang ‘berminat’ mengajukan diri sebagai bakal calon kandidat, termasuk Bupati Sidenreng Rappang, priode 2007-2013, H. Rusdi Masse. Sebagai calon incumbent, Ketua Partai Golkar Sidrap ini, diprediksi berpeluang besar akan kembali menduduki kursi takhta pucuk pimpinan “Kerajaan Nene’ Mallomo” itu, untuk kedua kalinya. Dari pemain lama dan pemain baru ada nama-nama seperti Rafiddin Hamoes, A. Walahuddin Habib, A. Zulkarnaen, Faisal A. Ranggong, Husni Zainal, Muhammadiah Ibrahim dan beberapa nama lainnya. Lalu, seberapa besar tingkat presisi prediksi itu?

Mari kita tengok sejumlah pemilihan kepala daerah yang telah berlangsung sebelumnya. Pasangan Jokowi-Ahokberhasil menumbangkan pasangan Foke-Nara pada Pilkada DKI Jakarta, 2012. Di tahun yang sama, Irwandi Yusuf -- juga incumbet-- rontok dihadang di tangan Zaini Abdullah.

Tentu saja, kemenangan Jokowi dan Zaini tak serta merta dapat dijadikan acuan untuk memprediksi peluang tumbangnya calon incumbent lain, termasuk H. Rusdi Masse pada Pilkada Sidrap itu. Peta kekuatan para calon, demografis pemilih, konstalasi politik, “the X Factor” dan sejumlah mitos politik praktis di “Kota Lumbung Padi” itu tidaklah sama dengan DKI Jakarta atau Aceh, misalnya (yang lain derajatnya juga berbeda), turut pula mempengaruhi. Tapi, menarik juga menelisik tulisan seorang Wahid Abdulrachman di suaramerdeka.com. Ia, antara lain menulis episode cerita kekalahan calon petahana dimulai sejak awal 2005 silam. Dari 211 pilkada yang diikutinya, ada 87 daerah yang membuat mereka terpaksa rontok dihadang oleh pasangan pendatang baru, baik yang diusung oleh parpol atau sejumlah parpol maupun yang bergerak melalui jalur perseorangan (dalam UU Pemilu tidak dikenal istilah “calon independen’). Jika diprosentasekan, angkanya lumayan tinggi: menghampiri 50 persen (40,95%)!

[caption id="attachment_247090" align="aligncenter" width="300" caption="Berani Netral di Pilkada SIDRAP?"][/caption]

“Tak mudah mengalahkan incumbent tetapi juga bukan hal yang mustahil,” tulis Wahid lebih lanjut. Ada empat hal yang memungkinkan calon incumbet terhadang untuk duduk lagi di kursi empuknya, kedua kalinya. Figur kandidat pendatang baru (tingkat persepsi publik, keterimaan dan keterpilihan), efektivitas mesin partai pengusung dan atau relawan pendukung terutama bagi calon perseorangan, manajemen dan strategi kampanye oleh tim sukses, serta kinerja calon incumbent yang tidak maksimal pada saat mengemban tugas sebagai pemimpin pemerintah daerah.

Nah, dari sekian faktor tadi itu, hal terakhirlah (kinerja buruk) yang kemungkinan besar dapat menjadi bumerang bagi calon incumbent, apa lagi jika dikombinasi dengan tiga hal lainnya sebagai jurus jitu menghadang laju mereka. Mengapa?

Menurut hasil survei, 30 sampai 40 persen calon pemilih dapat dikategorikan sebagai swing votter, mereka yang menentukan pilihannya sesaat sebelum memasuki bilik pencoblosan. Swing votter ini, biasanya terdiri dari beberapa karakter. Karakter itu, menurut pakar pemilu, antara lain: kelompok orang yang kritis terhadap kinerja pemerintah, orang-orang yang ‘kecewa’ terhadap pemimpin karena ‘ingkar janji’ dan komunitas yang skeptik terhadap perilaku partai politik yang korup. Mereka, yang sering disebut pula sebagai massa mengambang atau floating mass, akan mengunakan hak pilihnya dan menjatuhkan pilihannya kepada calon yang ‘layak’ memimpin, yakni memiliki kemampuan lebih mumpuni secara pengetahuan dan secara moral (hard skill dan soft skill). Mereka, akan membanding-bandingkan antara figur pendatang baru (dengan track record yang baik) dengan calon incumbent. Di sinilah, para calon pendatang baru dapat saling berbagi angka.

Boleh optimis, bisa juga pesimis. Kondisi spesifik daerah tertentu dapat pula menjadikan figur pendatang baru tak kan mampu berbuat banyak. Judulnya adalah Netralitas Tak Kunjung Datang. Kondisi itu seperti misalnya: netralitas PNS (para Kadis, Camat dan Lurah), netralitas penyelenggara Pilkada setempat (KPUD, PPK, PPS, KPPS, Panwaslu Kabupaten/Kota hingga kecamatan), dan netralitas Aparat TNI/Polri. Ketidaknetralan ini sering kali dibungkus dengan kemasan bernama money politics! Dan, jangan berharap itu dapat dibuktikan secara hukum formal.

Jika demikian, agaknya netralitas dari semua pihak menjadi kata kunci terakhir dari segala jurus jitu menghadang calon incumbent. Berani netral?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun