Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kasus 1965 dan Tanggung Jawab Negara Pancasila

25 Agustus 2012   09:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:20 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13458867671865209009

Sekitar setengah bulan sebelum hari raya Idul Fitri, kami bertemu dengan beberapa orang korban kasus 1965 di Surabaya. Mereka sudah tua renta, masih ada yang nada bicaranya keras. Ada juga yang tak mau bicara, begitu putus asa, meskipun Komnas HAM telah menyimpulkan adanya bukti permulaan dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam kasus 1965. Para korban itu tidak berharap banyak. Mereka berharap adanya rehabilitasi. Mereka pernah dituduh, disiksa, ditahan, dibuang, namun tidak pernah dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Tapi di tempat di mana mereka hidup mendapatkan stigma seumur hidup sebagai “orang PKI” yang dihinakan. Para korban kasus 1965 bukan hanya para eks anggota PKI yang tidak terlibat kejahatan apapun, tapi juga banyak orang yang sekadar menjadi tertuduh. Selain yang masih hidup, banyak di antara mereka yang dibunuh secara kejam tanpa adanya putusan pengadilan yang menentukan kejahatan apa yang dilakukan. Fakta tersebut menjadi sejarah yang diceritakan dari mulut ke mulut, sangat terkenal di wilayah aliran sungai Brantas di Jawa Timur. Ada banyak intelektual di negeri ini yang begitu alergi dengan komunisme sampai-sampai kehilangan akal pikiran dan nurani keadilannya, dalam benaknya tertanam keyakinan bahwa mengusut tanggung jawab kasus 1965 adalah membangkitkan PKI dan komunisme, padahal ada sekian banyak korbannya adalah mereka yang bukan komunis. Mengusut kejahatan kemanusiaan dalam tragedi 1965 adalah tanggung jawab negara Pancasila ini, tidak perlu lagi bicara ideologi, entah itu komunis atau apapun. Andaikan ada seorang komunis dipenjara karena putusan hakim, lalu ia dibunuh oleh seorang yang mengaku Pancasilais, maka si pembunuh itu harus dihukum, sebab hukum dan kemanusiaan tidak melihat si pelaku dan si korban itu berideologi atau beragama apa. Lagipula, tidak ada Pancasilais sejati yang melakukan tindakan brutal menuduh dan membunuh orang dengan ukuran emosi. Tidak ada Pancasilais sejati yang menolak tanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan. Menjadi seorang Pancasilais bukanlah sekadar pengakuan, tapi juga mesti teruji dari sikap dan perilakunya. Siapapun yang menjadi otak dan pelaku kejahatan kemanusiaan dan pembunuhan massal dalam kasus 1965, entah itu tentara, polisi, orang sipil, orang PKI, orang PNI, orang NU, dan siapa saja, tanpa pandang bulu, harus diproses hukum dan diadili. Pemerintah selaku representasi tanggung jawab negara mempunyai kewajiban konstitusional untuk menegakkan, memajukan, menjalankan HAM (Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945). Siapa yang melawan atau menghalang-halangi kewajiban konstitusional negara itu, berarti mereka menabrak salah satu pilar NKRI itu. Membuka dan mengusut kasus 1965 tidak ada korelasinya dengan kekhawatiran tumbuhnya neokomunisme di Indonesia. Hukum HAM ditegakkan tidak menggunakan doktrin politik kekhawatiran, tapi berdasarkan Pancasila yang mengandung nilai perikemanusiaan dan keadilan sosial yang berketuhanan. Persoalan boleh atau tidaknya suatu ideologi hidup di negara Pancasila, itu merupakan soal politik hukum. Buktinya, liberalisme yang ditentang oleh para pendiri negara dalam merumuskan Pancasila justru saat ini dibiarkan hidup dan dianut merajalela di negara ini, baik dalam sistem demokrasinya hingga cara membangun perekonomian negara. Di dunia ini tak ada ideologi yang makan korban miliaran manusia, jika bukan kapitalisme yang juga dibiarkan tumbur subur di negara ini. Negara ini tidak pernah sungguh-sungguh melaksanakan ideologi Pancasila, tetapi dengan jumawanya banyak intelektual yang mengaku-ngaku sebagai para Pancasilais sejati, hendak menjebol tatanan konstitusional dengan jalan menghalang-halangi proses upaya penegakan keadilan, dengan gosip-gosip politis, menuduh seolah-olah upaya mengusut kasus 1965 adalah membangkitkan komunisme, membubarkan NKRI. Padahal, jika ada pelaku yang merupakan eks anggota atau pengurus PKI yang terlibat, maka mereka juga akan dan seharusnya diadili. Pancasila dibangun oleh para pendiri negara ini dengan tujuan yang penting, bukan untuk dipakai sebagai bunker persembunyian tanggung jawab, bukan untuk dijadikan bumper perilaku-perilaku inkonstitusional. Dalam hal tersebut, mustahil nilai Pancasila membiarkan ketidakadilan, kecurangan, korupsi, perusakan alam dan kekejaman terjadi di negeri Pancasila. Ada baiknya pula semua pihak memahami dulu maksud dan tujuan pengusutan hukum kasus 1965 oleh Komnas HAM yang ternyata tempos delictie-nya tidak hanya terjadi di tahun 1965, tapi juga sesudahnya. Di situ juga tidak dikhususkan bagi para korban eks anggota PKI, namun juga seluruh korban yang berasal dari latar belakang manapun, termasuk eks anggota militer dan polisi serta orang-orang sipil yang menjadi korban asal tuduh dan asal tunjuk. Mereka para korban itu, mempunyai hak konstitusional yang tidak boleh dilanggar siapapun. Jaminannya adalah Pancasila dan UUD 1945. Mereka berhak direhabilitasi nama baik mereka, setelah sepanjang hidupnya menjadi korban konspirasi politik, yang dalam sejarahnya berbau amis darah dan berada dalam kegelapan fitnah yang panjang. Negara Pancasila harus bertanggung jawab untuk menuntaskan kasus tersebut, agar kita dapat mereparasi dan meluruskan sejarah kelam itu, meskipun dapat diterima bahwa ujungnya adalah rehabilitasi dan rekonsiliasi, berharap dapat meluruhkan segala dendam yang menggumpal dalam sejarah. Di ruangan yang lainlah, di luar persoalan tanggung jawab hukum dan kemanusiaan, dapat diperdebatkan lagi pertikaian politik kaum komunis dengan kaum agamis, yang secara arif dapat mulai diurai perlahan-lahan sejarah keterlibatan kekuatan korporasi multinasional yang dibantu CIA dalam mengadu domba generasi di negara ini. Memperlawankan antara komunis dengan agama juga sesuatu hal yang perlu dikaji ulang, sebab dalam sejarahnya di negara ini orang komunis juga memeluk agama, seperti halnya Haji Misbach yang sangat terkenal saleh itu. Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, bibit-bibit permusuhan, karena kekeliruan pemahaman, antara kaum agamis dengan kaum marxis-muda telah dicoba disatukan oleh Bung Karno yang terkenal dengan tulisannya tahun 1926 di Suluh Indonesia Muda yang berjudul Nasakom: Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Namun, setelah tahun 1965 persatuan itu pecah berdarah-darah, mempunyai korelasi dengan pertarungan politik kapitalisme berpusat di Amerika Serikat dengan komunisme berpusat di Soviet, hingga akhirnya siapa pemenangnya kini telah kita ketahui, yakni kekuatan kapital besar. Adu domba yang telah berhasil menjerumuskan bangsa ini terus menjadi jajahan kekuasaan kapital mereka. Tak ada ladang emas besar yang tak dikuasai korporasi Amerika Serikat itu. Masih lebih dari 80 persen ladang kekayaan migas juga dikuasai korporasi-korporasi asing. Kita berharap negara Pancasila ini bisa terlepas dari penjajahan baru tersebut. Tanpa melakukan perlawanan, berarti bangsa ini cukup menerima diri sebagai kacung di negeri sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun