Mohon tunggu...
Satria
Satria Mohon Tunggu... Freelancer - Lovable

Introvert yang lebertarian. Kadang juga jadi ekstrovert karena libertarian. Perihal berubah, adalah sandiwara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teman Baikmu Pergi? Jangan Dibawa Depresi

18 Januari 2020   00:57 Diperbarui: 18 Januari 2020   05:28 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Ben White on Unsplash 

Saya ingin bercerita sedikit mengenai bagaimana ketenangan dan kedamaian itu bekerja di tengah dinamika kehidupan sosial kita. Sebab, tidak bisa dipungkiri, realitas sosial kita memang dinamis.

Pada satu sisi, kecenderungan manusia sebagai mahkluk sosial butuh pengakuan, alih-alih menerima penghakiman. Setiap orang baik memiliki pembenci, setiap orang jahat pun mempunyai penggemarnya. Yang menjadi persoalan ketika kita berhasrat penuh semuanya akan antusias atau baik pada kita.

Para pembesar, pemimpin dunia, para pakar, pun juga pak Jokowi dan Prabowo menerima hal ini dengan baik, tentunya. Sebab itu mereka dapat berdiri dengan tegak di tengah orang-orang yang masih mengapresiasi sosoknya. Sekalipun jumlah penggemarnya lebih sedikit dibanding pembencinya.

Lantas bagi mereka yang gagal menyikapi hal ini, konsekuensinya adalah jatuhnya mentalitas, atau efek psikologis lainnya yang terasa menjadi masalah besar dalam hidup. Padahal itu persoalan minset yang mematok kualitas diri dari kaca mata sosial.

Percayalah, setiap kita istimewah, tidak dilahirkan sama persis dengan orang lain. Bahkan di antara orang-orang yang dilahirkan sama persis (kembar) masih ditemukan perbedaan-perbedan yang signifikan baik dalam hal karakter, ucapan, tindakan dan lain sebagainya.

Tidak mesti kita menggantungkan kebahagiaan kita pada kuantitas orang di kehidupan sosial yang menyukai kita. Sedikit atau banyak wajib dirayakan dengan senyuman. Tergantung bagaimana minshet yang kita gunakan. Hargai keadaan, alih-alih terpengaruh oleh kekurangan.

Kita patut belajar dari kisah Niccolo Paganini, seorang pemain biola yang terkenal pada abad ke-19. Sekali waktu ia pernah tampil untuk menggenapi kebahagiaan para penggemarnya. Namun sayang sekali, di tengah-tengah penampilannya, ia terkena musibah. Senar biola yang mengawaninya menciptakan nada-nada terbaik itu putus satu persatu. Hingga tersisa hanya satu senar saja, sampai penampilannya selesai.

Alih-alih terpuruk dan kehilangan percaya diri, di tengah keringat dingin yang mulai berjatuhan, ia tetap melanjutkan permainan biolanya. Setelah penonton mengetahui ia berhasil memainkan biolanya dengan satu senar, penontonnya terkejut dan kagum pada hal itu.

Jika diibaratkan dengan kehidupan, hidup ini seperti permainan biola yang panjang. sehari hari, kita tidak mesti putus asa, atau mengambil sikap depresi yang berlebihan ketika ada yang memutuskan hubungan pertemanan, atau hubungan baik lainnya dengan kita. Lanjutkan saja bahagiamu itu, hargai mereka yang masih setia mengawanimu.

Bersinergilah dengan baik terhadap hal-hal yang masih tersisa dalam hidup kita. Apresiasi dan prestasi itu adalah efek dari seberpa jauh kita memanfaatkan kuantitas. Majulah terus tanpa sedikitpun merasa kurang dihargai dan diapresiasi yang berlebih. Ini soal waktu saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun