Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

4 November, Mengapa Umat Islam Harus Turun ke jalan ?

31 Oktober 2016   09:27 Diperbarui: 31 Oktober 2016   10:14 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


“Sabar, sabar, sabar dan tungguItu jawaban yang kami terima . Ternyata kita harus ke jalan. Robohkan setan yang berdiri mengangkang”. Itulah lirik lagu “Bento” yang fenomenal dari legenda hidup Iwan Falls. Sayangnya saat ini sang Inspirator itu tidak segarang dulu, mungkin idealisme sudah mulai luntur saat mulai merapat ke penguasa. 

Tetapi semangat luar biasa lagu itu masih menjadi inspirasi umat muslim saat teraniaya oleh kaum penista. Umat muslim di seluruh penjuru nusantara harus turun ke jalan ketika agamanya dinista tetapi hamba hukum hanya menyuruh bersabar tetapi tidak ada kemajuan dalam tindakan hukum. Bukan hanya ulama Habib Rizieq, ulama sekaliber AA Gym, Arifin Ilham dan para ulama lainnyapun tergerak emosinya dan telah berjanji untuk turun ke jalan pada hari Jumat tanggal 4 November 2016 . Apalagi paska penistaan itu emosi umat yang diubun ubun semakin panas ketika para pendukung petahana dan kaum buzzer ada yang menganggap seperti mengobarkan perang karena dengan masif dan provokatif menyebarkan isu di medsos tentang perbedaan pendapat tafsir Quran, merendahkan MUI serta para ulama lainnya serta menyebarkan selebaran yang mengutip ayat suci beredar di banyak masjid Jakarta. Padahal itu bukan agamanya dan itu bukan panutan pemuka agamanya. Tampaknya perilaku dan ucapan petinggi hukum di replubik ini mengaduk aduk menambah luka hati umat yang semakin membara ketika hanya bisa mengulur ulur proses hukum penista. 

Penguasa negeripun masih bengong tanpa keluar satu katapun apalagi keluar aksi meski kondisi bangsa sudah sangat kritis dan rawan terjadi kekacauan. Ada apa dengan hamba hukum dan penguasa negeri ini ? Mengapa mereka yang sebelumnya di media selalu dicitrakan peduli rakyat dan pendukung setia kesatuan NKRI, tetapi hanya bisa terdiam di tengah kekacauan bangsa sudah di depan mata ? Tampaknya bukan hanya sekedar seorang Petahana, seorang pemimpin negeri harus mempertaruhkan bangsa ini. Adakah kekuatan besar di belakang penista yang membuat para petinggi ini mulut, kaki dan tangannya kelu tidak bisa bergerak ?

Banyak pengamat dan tokoh negeri ini yang mencintai NKRI mulai kawatir dengan kondisi bangsa terakhir ini. Demonstrasi ratusan bahkan mungkin jutaan umat muslim menuntut ditangkapnya penista sudah dan akan terjadi di seluruh pelosok negeri setiap salat Jumat. Dikawatirkan ekskalasinya semakin besar dan semakin berbahaya bagi kesatuan bangsa. Bahkan Korps Brimob Mabes Polri sudah mengeluarkan status "siaga satu". Status ini tertuang dalam surat nomor B/ND-35/X/2016/Korbrimob tertanggal 28 Oktober 2016 dengan hal pemberitahuan siaga. Kritisnya kondisi negeri ini juga diungkapkan Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra khawatir gelombang demonstrasi anti-Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama alias Ahok, bisa berdampak fatal bagi pemerintah pusat. 

Pasalnya, dia melihat ada kemiripan antara situasi saat ini dengan masa menjelang runtuhnya rezim Orde Baru tahun 1998 silam. "Sebagai salah seorang yang berada di pusat pusaran krisis 1998, saya memahami situasi yang kita hadapi sekarang ini serius," ujar mantan penulis pidato Presiden Soeharto ini, Rabu (26/10). 

Karena itu, lanjut dia, pemerintah pusat perlu menyikapi situasi ini dengan ekstra hati-hati. Pemerintah harus punya respons yang tepat atas isu sensitif dugaan penistaan agama oleh Ahok dan reaksi masyarakat yang timbul akibatnya. Sebab, kata dia lagi mengingatkan, salah mengambil kebijakan bisa berakibat fatal. "Ini imbauan saya kepada Pemerintah dan siapa saja yang mencintai bangsa ini dan bertekad untuk menjaga serta mempertahankan keutuhannya,". Pemimpin negeri ini dianggap tidak mau belajar banyak dengan tragedi kerusuhan 1998 yang menghancurkan kerukunan NKRI yang telah dibangun dengan baik oleh para pendahulunya. Mereka banyak menyayangkan ketika penguasa negeri ini mengorbankan kerukunan NKRI hanya untuk mempertahankan seorang penista dan segelintir orang dengan kekuatan besar yang mencengkeram negeri ini.

Sengaja Mengulur

Melihat kronologis cerita beberapa tahun terakhir ini betapa kuatnya Si Tuan Besar sehingga selama ini tidak pernah tersentuh meski hukum banyak menderanya. Ketika lembaga tinggi Negara pengawas uang rakyat seperti BPK yang jelas jelas menemukan bukti hukum kecurangan, tetapi KPK dan petinggi hukum lainnyapun bertekuk lutut di balik kekuatan besar itu. Saat ini tanda-tanda kekuatan besar yang mempengaruhi negeri ini semakin mudah dirasakan tetapi semakin sulit dibuktikan. Kali ini banyak fakta dan bukti si Tuan Besar menista, petinggi hukum dan Penguasa Negeri hanya bisa bingung meski kekacauan mengancam bangsa dibalik luka menganga yang dialami umat. Ketika jasa Sang Kekuatan Besar sudah digelontorkan saat perhelatan kekuasaan, Pemangku Kuasa Negeri ini tersandera hanya bisa bengong tak bersuara. Petinggi hukum negeri ini secara hirarki harus taat dan tunduk pada penguasa dalam melindungi pendosa. Sehingga tampaknya petinggi hukum itu oralnya belepotan dan perilakunya tidak rasional dalam bertindak memproses hukum sang penista.

Hamba hukum itu hanya bisa mengulur dengan berbagai alasan yang tidak rasional dan tidak konsisten. Awalnya laporan umat ditolak karena menunggu fatwa MUI. Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra Fajar Sidik, kecewa dengan Bareskrim Polri yang menolak laporannya soal calon petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Kamis (6/10). Ia menyatakan, penyidik beralasan karena tidak ada surat fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Tetapi setelah fatwa MUI keluar Polri berdalih lain lagi.

 Padahal Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 11/10/2016 menyatakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah melakukan penistaan agama dan ulama. MUI meminta aparat penegak hukum proaktif melakukan penegakan hukum secara tegas. Tetapi setelah MUI berfatwa, dalih lain yang digunakan polisi adalah menunggu PILKADA karena beralasan Peraturan Kapolri. Saat Kadivhumas mengungkap bahwa sang Aktor di panggil tetapi Kabareskrim berdalih bahwa si Tuan besar hanya mampir dan memberi klarifikasi. Bahkan kejanggalan yang mencolok sebelum menghadap ke Bareskrim Ahok tampak menghadap ke Istana dengan alasan hanya akan pamit sebagai gubernur padahal pergantian jabatan masih lama. Bahkan terakhir Direktur Kriminal Polri mengatakan Fatwa MUI tidak bisa dijadikan pedoman. Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri memastikan kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Basuki T Purnama (Ahok) masih terus diselidiki. Mengenai pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan Ahok telah melakukan penistaan agama, Bareskrim punya pandangan lain. Alasan yang sulit diterima ketika hamba hukum itu beralasan bahwa memeriksa Ahok harus ijin presiden. 

Bareskrim Mabes Polri hingga saat ini belum melakukan pemanggilan terhadap Ahok karena masih menunggu izin dari Presiden. Kabareskrim Komjen Pol Ari Dono Sukmanto mengatakan pihaknya masih melengkapi administrasi terkait pemanggilan Ahok."Dalam minggu ini kami sedang melengkapi administrasi surat menyurat untuk pemanggilan Ahok. Dia kan gubernur, jadi harus ada izin presiden, surat ke presiden masih kami proses," ujar Ari kepada Harian Terbit di Jakarta, Jumat (21/10/2016). Tampaknya alasan harus menunggu ijin presiden tersebut juga tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Padahal dalam sidang pembacaan putusan pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagian materi pasal 36 UU Pemda – ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) -- bertentangan dengan konstitusi, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Rumusan yang dinyatakan tidak berlaku justru mengenai izin presiden untuk pemeriksaan kepala daerah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun