Sehari menjelang pencoblosan Pilgub DKI putaran kedua, 19 April 2017, suasana ibukota Jakarta tiba-tiba seolah mencekam.
Sejak Selasa siang, 18 April 2017, berbagai media memberitakan secara massif kabar tentang mobilisasi massa dari luar Jakarta bahkan dari luar Pulau Jawa, yang sebagian telah-sedang-dan-akan datang ke Jakarta, konon katanya untuk mengamankan dan menjaga netralitas serta kejujuran pelaksanaan pemungutan suara.
Lalu muncul pernyataan atau maklumat Polda Metro Jaya – yang merupakan implementasi perintah Kapolri – yang melarang mobilisasi massa dan bertekad akan menindak tegas siapapun yang mengacau jalannya pesta demokrasi Pilgub DKI. Hal yang sama disampaikan oleh Menko Polhukam, Wirato.
Bahkan Kapolri memberikan kewenangan kepada setiap Polda melakukan dikresi (kebijakan berdasarkan pertimbangan menurut penilaiannya) untuk melakukan langkah-langkah preventif. Karena itu, pada Selasa sore, beberapa stasiun televisi menayangkan langsung siaran yang memperlihatkan aparat kepolisisan menghentikan dan memeriksa kendaraan di beberapa titik jalur akses masuk ke Jakarta.
Selanjutnya, pernyataan beberapa tokoh, fungsionaris parpol, yang intinya mengimbau semua pihak untuk tidak melakukan mobilisasi massa ke Jakarta pada hari pencoblosan.
Sebagai langkah antisipasi, Polri menurunkan pasukan sekitar 64.500 atau total 37 SSK, yang merupakan pasukan gabungan dari berbagai Polda secara nasional, plus pasukan bantuan dari TNI. Sejumlah pasukan ditempatkan di titik-titik yang dianggap memiliki potensi kerawanan yang diklasifikasi dalam beberapa tingkatan: seperti sentra-sentra perekonomian.
Perkembangan yang terkesan menjadi mencekam pada Selasa (sehari menjelang hari pencoblosan), jusrtu bertolak belakang dengan suasana sehari sebelumnya, di mana pada Senin (17 April 2017), dua pasangan (diwakili Ahok dan Sandiaga Uno), di silang Monas Jakarta melakukan deklarasi Pilkada damai. Pada hari yang sama (Senin 17 April 2017), Presiden Jokowi memanggil ke Istana para pejabat bidang keamanan nasional: Menkopolhukam Wiranto, Panglima TNI Gatot Nurmantyo , Kapolri, Kepala BIN, yang juga dihadiri Wakil Presiden Jokowi. Â
Lalu ketika sedang mengolah tulisan ini, sekitar pukul 20.00 WIB, di salah satu stasiun televisi swasta, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan, situasi Jakarta aman (mungkin maksudnya sejauh ini), dan warga DKI dipersilahkan memberikan suaranya Rabu besok.
Pertanyaan kuncinya, siapa sih yang paling potensial untuk mengacau proses Pilgub DKI? Sebagai orang awam, jawabannya sederhana: kira-kira yang merasa bakal kalah itulah yang mungkin melakukan kekacauan. Oleh karena masing-masing kubu punya peluang kalah, berarti anasir pendukung yang kalah, yang tak bisa menerima kekalahan, mereka itulah yang berpotensi memicu kekacauan. Yang kalah yang mengacau.
Namun satu hal yang juga perlu ditekankan: setiap bentuk kecurangan – betapapun kecilnya, dan kubu mana pun pelakunya – tetap berpotensi memicu emosi publik, bukan hanya massa yang dimobilisasi dari luar Jakarta, tetapi terutama justru warga Jakarta sendiri.
Ada informasi tentang pengerahan massa dari luar Jakarta; pasukan pengamanan dikerahkan sebagai langkah antisipasi; dan berbagai pemberitaan yang mengesankan Jakarta akan kacau balau.Â