Rekap Hasil Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014 File Pribadi
Hary Tanoesedibjo (HT), Ketua Umum Partai Perindo (Persatuan Indonesia), sejak Pilpres 2014 telah berupaya menjadi figur nasional. Dan sejauh ini, belum sukses.
Dalam posisinya sebagai figur yang sedang mencoba menjadi politisi yang genuine, HT tampaknya belum memahami peta politik nasional Indonesia. Sepak terjang politiknya belum dikelola berdasarkan pakem politik nasional. Dan menurut saya, ini kesalahan para konsultan dan pembisiknya.
Tidak aneh, menjelang Pilpres 2014, kongsinya dengan Nasdem, bubar sebelum dimulai. Ketika akhirnya banting setir dan berkolaborasi dengan Hanura, HT harus gigit jari ketika ditinggal di tengah jalan.
Pada artikel ini, saya ingin menyoroti sosialisasi yang dilakukan oleh HT ke beberapa ponpes, yang difasilitasi oleh beberapa kiai terkemuka.
Berhasilkah? Dengan segala hormat, figur seperti HT yang menawarkan diri pada komunitas agama, sangat berisiko. Terbukti, pada 03 September 2013, dalam acara dialog antara HT dan sejumlah ustadz di Gedung MNC, Jakarta, ustadz Misbahul Anam yang hadir mengagetkan semua ruangan dengan pernyataannya, “Saya tegaskan Hary Tanoe adalah seorang kafir”. Pertemuan yang diharapkan berandil untuk mengungkit popularitas HT justru menjadi bumerang.
Selanjutnya, pada 11 Maret 2014, ketika mempromosikan diri untuk pentas Pilpres 2014, HT sempat menghadiri tahlilan di masjid Syaichona Cholil Martajesah di Bangkalan Madura, yang dihadiri juru kunci pesarean Syaikhona Cholil, yakni RKH Fuad Amin dan juga Bupati Bangkalan RK Muh Makmun Ibnu Fuad (maduracorner.com – 11 Maret 2014). Dan hasilnya, ibarat buih.
Tapi HT tampaknya belum belajar juga. Pada 2016, ketika HT kembali menyambangi sejumlah ponpes, sebagian aktivis Islam rame-rame menyerang dan mendiskusikan secara sinis sebuah foto yang diupload oleh Liliana Tanoe Soedibjo, istri HT sendiri, di akun Instagramnya (Senin, 04-04-2016), yang menampilkan HT bersama mantan Presiden Israel Simon Peres. Catatan: akun Instangram tersebut sudah tidak aktif lagi ketika diakses pada 27 April 2016.
Silahkan bertahlilan di masjid, sowan kepada kiai terkemuka, menyambangi ponpes, bersilaturahim dengan jamaah majelis zikir dan ormas Islam. Tapi salah satu satu premis utama Pemilu di Indonesia, bahwa pemilih nasional yang memilih partai berbasis Islam tidak pernah lebih dari sekitar 35 persen. Dan angka sekitar 35 persen itupun masih terkotak-kotak lagi berdasarkan pilihan mazhab fikhinya. Anda bisa percaya atau tidak. Tapi kesimpulan ini mengacu pada hasil empat kali Pemilu Legislatif 1999, 2004, 2009, dan 2014 (lihat tabel).
Artinya, lebih dari 65 persen pemilih di Indonesia adalah pemilih nasionalis, baik liberal dan sosialis ataupun yang dikategorikan pemilih tak ideologis. Tentu ada juga pemilih berdasarkan besaran amplop serangan fajarnya.