Mohon tunggu...
Rudy Wiryadi
Rudy Wiryadi Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

pelangidipagihari.blogspot.com seindahcahayarembulan.blogspot.com sinarigelap.blogspot.com eaglebirds.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenapa Manusia Begitu Pintar?

22 Agustus 2017   09:31 Diperbarui: 22 Agustus 2017   09:42 1558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kenapa manusia begitu pintar?" adalah pertanyaan yang sangat menarik bagi para ilmuwan. Dr. Tadeusz Kawecki, seorang ahli biologi evolusioner di University of Fribourg, membalik pertanyaan tersebut. "Bila pintar adalah sesuatu yang begitu luar biasa, kenapa kebanyakan hewan tetap bodoh?" tanya Kawecki.

Kawecki dan ilmuwan yang berpendapat serupa berusaha mencari tahu kenapa hewan belajar dan kenapa hewan tertentu berevolusi sehingga lebih dalam belajar dibanding hewan lainnya.

Pembelajaran adalah perilaku umum dalam kerajaan binatang. Bahkan cacing cuka yang sangat kecil, Carnorhadits elegan, juga belajar, meskipun hanya memiliki 302 neuron. Cacing ini memakan bakteri. Tetapi bila cacing memakan bakteri tertentu, cacing akan sakit. Cacing belajar untuk membedakan dan menghindari sakit.

Banyak serangga yang juga memiliki perilaku belajar. "Orang-orang mengira serangga adalah robot kecil yang melakukan segala sesuatu berdasarkan insting, padahal mereka berpikir," kata Dr. Reuven Dukas, seorang ahli biologi di McMasters University. Penelitian yang dilakukan oleh Dukas dan rekan-rekan menunjukkan bahwa serangga ternyata patut dipuji. Dukas menemukan bahwa larva salah satu hewan laboratorium yang sangat diminati, lalat buah, Drosophila melanogaster, mampu belajar mengasosiasikan aroma tertentu dengan makanan dan aroma lain dengan predator.

Dukas berhipotesis bahwa hewan apapun yang memiliki sistem saraf dapat belajar. Meskipun pembelajaran merupakan sesuatu yang umum di antara binatang, Dukas heran kenapa kemampuan ini tidak berevolusi.

Jika hewan belajar, mengapa kepintaran mereka tidak terus tumbuh seperti manusia? Ternyata pembelajaran menyebabkan efek samping yang berbahaya. Kawecki dan rekan-rekannya menemukan bukti yang menakjubkan dari efek samping tersebut dengan meneliti lalat laboratorium seiring lalat berevolusi menjadi makhluk yang mampu belajar lebih baik.

Untuk menghasilkan lalat yang lebih pintar, para peneliti memberikan pilihan makanan jeli jeruk atau nenas bagi lalat. Kedua makanan tersebut sangat wangi bagi serangga tersebut. Tetapi lalat yang mendarat pada jeli jeruk akan menyadari bahwa makanan tersebut dicampur kina yang berasa pahit.

Pada babak kedua, para ilmuwan kembali memberikan dua pilihan, satu piring jeli jeruk dan satu piring jeli nenas. Kali ini kedua piring tidak mengandung kina. Lalat mendarat pada kedua piring jeli, makan dan lalat betina bertelur. Kawecki dan rekan-rekannya mengumpulkan telur dari lalat yang hinggap di jeli nenas bebas kina dan menggunakan telur-telur tersebut untuk menghasilkan lalat generasi berikutnya. Para ilmuwan mengulangi prosedur yang sama pada lalat baru, kecuali jeli nenas dicampurkan dengan kina, bukan jeli jeruk.

Hanya perlu 15 generasi lalat agar lalat secara genetis terprogram untuk belajar. Pada awal eksperimen, lalat-lalat memerlukan waktu berjam-jam untuk mempelajari perbedaan antara jeli normal dan jeli bercampur kina. 15 generasi kemudian, hanya perlu kurang dari 1 jam bagi lalat untuk membedakan mana yang bercampur kina.

Tetapi lalat harus membayar mahal untuk pintar. Kawecki dan rekan-rekannya membandingkan larva lalat pintar dengan lalat lain, menggabungkan serangga tersebut dan memberikan lalat sedikit suplai ragi untuk melihat lalat mana yang mampu bertahan. Hanya 50% larva lalat pintar berhasil bertahan hidup, sementara 80% larva lalat biasa mampu bertahan hidup. Jadi lalat biasa lebih mampu bertahan hidup dibandingkan dengan lalat pintar.

Dalam makalah yang dipublikasikan dalam jurnal Evolusi, Kawecki dan rekan-rekannya melaporkan bahwa lalat yang belajar dengan cepat rata-rata hidup 15% lebih pendek dibanding lalat yang tidak mengalami seleksi jeli bercampur kina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun