Mohon tunggu...
Roswitha Muntiyarso
Roswitha Muntiyarso Mohon Tunggu... -

Seorang pelajar madrasah yang mencoba merantau dan mencari hikmah hidup di Nanyang Technological University Singapura.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Adab terhadap Guru

23 Oktober 2010   05:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:11 6240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pahlawan tanpa tanda jasa adalah julukan kehormatan bagi guru yang telah mendedikasikan hidupnya untuk menyebarkan ilmunya tanpa balasan yang bisa dibilang setimpal dari kita para muridnya. Adalah kita sebagai seorang murid terkadang tidak menghargai, menganggap remeh atau bahkan menghina para guru kita. Sungguh, menjadi seorang guru bukanlah suatu keputusan mudah jika menyandingkannya dengan gaji yang didapat atau balasan yang didapat dari muridnya. Keikhlasan dan niat untuk mengabdi yang begitu besarnya adalah semangat utama yang mendorong para guru untuk terus bergerak di jalannya. Keinginan untuk mencerdaskan masyarakat, menyebarkan pengetahuan dan memajukan bangsa adalah benar-benar sebuah semangat yang patut dicontoh dari para guru.

Dari buku “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi telah memberikan gambaran bahwa ikhlas adalah semangat pendorong utama dari para guru di Gontor untuk terus mengajar. Bahwa mereka mengajar anak muridnya TANPA DIBAYAR dengan semangat hanya untuk mengabdi dan menyebarkan ilmunya lillahi ta’ala. Subhanallah. Contoh nyata keikhlasan ini juga telah saya dapat dari cerita-cerita tentang guru-guru saya semasa sekolah dahulu. Ada seorang guru yang rela membeli tape, laptop dan LCD Projektor demi mengembangkan Quantum Learning untuk muridnya meskipun menghabiskan gaji 2 tahun bekerja. Ada yang rela kembali ke sekolah yang berjarak lebih dari satu jam di malam hari hanya karena ditelpon ada muridnya yang kesulitan belajar ketika baru saja sampai di rumah setelah over-time bekerja.

Sungguh saya tidak berani menulis ini jika saya tidak pernah mengajar. Semangat guru-guru ini saya rasakan ketika saya mulai mengajar adik-adik kelas saya dan juga menjadi guru les di negeri orang. Bahwa ada sebuah semangat yang bukan hanya sekadar gaji (meskipun semangat ini mungkin yang dirasa lebih kuat untuk teman-teman saya yang kekurangan uang di negeri orang ini) ketika mengajar. Semangat agar anak didik saya bisa menjadi lebih baik daripada sebelum saya mengajar dan semangat untuk melihat senyum kepahaman di mata mereka. Tiada yang lebih diharapkan oleh seorang guru daripada anak-anaknya mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yang kelak akan membuat anak-anaknya sukses di kemudian hari. Tiada pernah seorang guru berpikir untuk minta bagian ketika anak didiknya menjadi seorang saudagar kaya raya di kemudian hari. Tiada seorang guru berpikir meminta pangkat tinggi ketika anak didiknya menjadi presiden. Sungguh, suatu kebanggaan bagi seorang guru untuk melihat anak didiknya jauh lebih pintar dan jauh lebih sukses dari dirinya.

Dilihat dari sisi seorang murid, ketika saya masih TK sampai MI (Madrasah Ibtidaiyah setara SD), saya menganggap guru adalah fasilitator. Guru mengajari saya ini dan itu meskipun mereka tidak mengetahui segalanya. Hubungan saya dan guru jauh lebih seperti teman. Ya, teman terbaik saya ketika berada di dua jenjang ini adalah guru. Bersama dengan para guru, saya bisa berbagi ilmu pengetahuan yang saya dapat dari buku, mengkonfirmasinya kepada para guru yang memiliki pengalaman lebih dan mendapatkan pengetahuan lebih dari mereka. Di mata mereka pun, saya menjadi seorang pemberi semangat. Salah seorang guru berkata pada saya, “Sungguh sebuah semangat baru untuk mengajar selalu ada ketika Bapak bertanya mengenai buku yang sedang Roswitha baca dan mendengarkan cerita tentang buku itu dari mulut kecil ananda.” Di waktu ini, saya berpikir guru adalah seorang yang patut dihargai dan dianggap sebagai orang pintar. Kita wajib patuh padanya selayaknya patuh pada kedua orang tua. Bahwa banyak ilmu yang ia rela ajarkan kepada saya dan betapa banyaknya waktu dan kesabaran yang terkuras demi mengajari saya yang sangat keras kepala dan tak mau kalah.

Dari MI inilah saya banyak belajar tentang adab kepada guru dari guru Aqidah Akhlak (Keimanan dan Perilaku Baik). Karena ‘pertemanan’ yang dekat dengan guru, ilmu yang saya dapat ini bukanlah diambil dari mata pelajaran formal di kelas. Ilmu ini saya dapat ketika momen berbagi ilmu pengetahuan di luar kelas. Guru saya yang lulusan sekolah Islam, entah itu pesantren atau madrasah mulai bercerita tentang ilmu yang manfaat dan tidak manfaat. Jikalau ilmunya ingin manfaat (berguna), maka kunci utamanya adalah adab yang baik terhadap guru. Saya pernah mendengar cerita tentang seorang pintar yang akhirnya hidup mengenaskan karena tiada hormat pada gurunya. Setelah orang pintar ini berkunjung kepada gurunya dan mengabdi untuk gurunya hingga sang guru memaafkan, sang orang pintar ini menemukan kemudahan dalam jalan hidupnya. Di titik itu, saya benar-benar mengamalkan sebuah ajaran mengenai etika kepada guru. Teringat salah satu hal yang dulu saya amalkan adalah “tidak boleh duduk di kursi guru kecuali beliau mengizinkannya“. Saya benar-benar mengamalkan semua adab-adab kepada guru yang saya dengar dengan keyakinan keridho-an guru akan membuahkan ilmu yang manfaat.

Di jenjang pendidikan setelahnya hingga akan kuliah, saya makin yakin bahwa guru adalah seorang yang patut dihormati dan patut diberi penghargaan yang setinggi-tingginya. Cerita nyata guru-guru saya mulai saya ketahui ketika MTs dan MA. Bahwa perjuangan guru itu begitu besar untuk membawa anaknya jadi orang besar pula. Bahwa keikhlasan dan keinginan untuk mengabdi mereka begitu besar walau dengan gaji yang tak seberapa. Beberapa guru saya bahkan mungkin tidak mengejar uang sama sekali. Beberapa di antara mereka punya suami atau istri kaya yang mampu menanggung biaya keluarga dan benar-benar mengabdikan dirinya untuk mengajar. Subhanallah. Sampai suatu waktu di MTs ada seorang guru baru mengajar. Kami semua mengolok-olok guru tersebut dan menjadikannya bahan candaan. Ini berulang kali terjadi pada guru baru. Saya merasa miris mendengar teman-teman begitu senangnya menjadikan itu bahan candaan mengingat besarnya jasa yang mereka berikan. Sungguh miris. Keyakinan saya akan kekuatan adab terhadap guru menjadi makin kuat ketika saya, yang tidak ikut mengolok-olok guru, mendapat nilai yang jauh di atas teman-teman yang nilainya buruk karena mengolok-olok guru. Saya berharap tidak hanya nilai saja yang bagus, tapi kelak ilmu ini bisa bermanfaat bagi orang kebanyakan. Amin.

Sebagai sarana pengingat akan adab terhadap guru yang sudah mulai luntur di waktu kuliah dan berbagi ilmu pengetahuan juga, berikut saya cantumkan konsep tatakrama terhadap guru yang diambil dari kitab “Adab Al-Alim wa Al-Muta’allim“ karya Hadratu Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari.

Konsep Tatakrama Penuntut Ilmu Dengan Guru[i]

ØSebelum penuntut ilmu menetapkan guru hendaklah ia berpikir dulu serta beristikharah kepada Allah untuk memilih orang yang akan memberi bimbingan (guru) dalam memperoleh ilmu kemudian memperlakukan guru dengan akhlaq yang baik dan sopan santun. Hendaklah ia memilih orang-orang yang profesional, ahli dalam bidang keilmuannya, memiliki rasa kasih sayang, tampak kewibawaannya dan tampak jelas perilakunya. Sebagaimana ulama salaf berkata, “Ilmu itu adalah agama maka lihatlah (angan-anganlah) dari siapa engkau memperoleh (mengambil) agamamu”.

ØPenuntut ilmu harus bersungguh-sungguh memilih guru yang mengerti benar tentang syari’at, dan bisa dipercaya kemahiran ilmunya (hukum syari’atnya). Jangan berasal dari orang yang memperoleh ilmu hanya sebatas kulitnya. Imam As-Syafi’i berkata, “Barang siapa belajar dari pinggir-pinggirnya kitab maka ia menyia-nyiakan hukum”.

ØPenuntut ilmu hendaknya patuh dan taat kepada gurunya. Penuntut ilmu harus berusaha mencari ridha gurunya dan dengan sepenuh hati, menaruh rasa hormat kepadanya, disertai mendekatkan diri kepada Allah dalam berkhidmat kepada guru.

ØPenuntut ilmu hendaknya memandang guru dengan penuh kehormatan dan keagungan terhadapnya. Dan meyakini akan besarnya derajat kesempurnaan seorang guru. Sebab keterangan tersebut akan lebih dekat terhadap manfaat ilmu yang diperolehnya. Abu Yusuf berkata, “Barang siapa yang tidak meyakini keagungan gurunya maka ia tidak akan sukses”.

ØHendaklah penuntut ilmu mengerti hak-hak guru dan jangan lupa mengutamakannya. Sebaiknya penuntut ilmu mengenang guru pada waktu hidup atau sesudah mati, penuntut ilmu juga seyogyanya menjaga keluarga guru serta kerabat dan orang yang dikasihi guru. Penuntut ilmu hendaknya sering berziarah ke makam gurunya apabila ia sudah meninggal dan memohonkan ampun untuknya serta bersedekah baginya.

ØPenuntut ilmu hendaknya harus bersabar dalam menghadapi guru yang berwatak keras dan kurang baik dan janganlah menolaknya dengan kasar sebab sifat kerasnya seorang guru semata-mata karena sayangnya guru kepada muridnya dalam membimbing dan memberi petunjuk kepada penuntut ilmu.

ØPenuntut ilmu hendaknya jangan masuk ke tempat atau kediaman guru kecuali atas izinnya dan janganlah lewat dihadapannya baik ketika ia sendiri atau bersama orang lain tanpa izin darinya. Ketika penuntut ilmu hendak berkunjung ke kediamannya maka ucapkanlah salam tidak lebih dari tiga kali dan apabila mengetuk pintu maka ketuklah dengan pelan-pelan, ketika ia memasuki rumahnya, hendaknya ia bersikap yang baik dan berbusana yang baik——menurut Islam—, bersih dan rapi terlebih ketika hendak menuntut ilmu. Penuntut ilmu juga harus menjaga untuk tidak memulai berbicara sebelum diperintahkan, dan janganlah duduk atau pergi kecuali atas izin guru. Apabila guru itu sedang istirahat maka sabarlah menunggu sampai terbangun.

ØKetika penuntut ilmu duduk di hadapan gurunya hendaklah ia memilih adab tatakrama, dan hendaklah ia seperti saat tasyahud pada waktu shalat atau duduk bersila dengan penuh tawadhu’, tenang dan khusyu’, penuntut ilmu jangan menoleh sekalipun mendengar sesuatu kecuali bila ada keperluan lebih-lebih ketika membahas tentang ilmu. Penuntut ilmu harus memuliakan dan menghormati kerabat, teman dari guru. Karena pada hakikatnya menghormati mereka berarti menghormati guru. Termasuk menghormati guru adalah jangan duduk di tempat guru, di mushallanya, di tempat tidurnya dan jangan pergi dari sisinya kecuali ada izin darinya.

ØHendaknya penuntut ilmu selalu berbicara yang sopan dan baik. Dan hendaknya penuntut ilmu berhadapan dengan guru dengan wajah berseri-seri.

ØApabila mendengar keterangan guru tentang masalah-masalah hukum atau berita-berita maka dengarkan dengan penuh perhatian sekalipun ia sudah mendengar sebelumnya. Imam Atho’ r.a. berkata, “Sesungguhnya aku tetap akan mendengarkan hadis dari orang lain sekalipun aku lebih tahu (alim) dari orang tersebut”.

ØHendaknya penuntut ilmu tidak mendahului guru untuk menjelaskan sesuatu atau menjawab pertanyaan, jangan pula membarengi guru dalam berkata, jangan memotong pembicaraan guru dan jangan berbicara dengan orang lain pada saat guru berbicara. Hendaknya penuntut ilmu penuh perhatian terhadap penjelasan guru mengenai suatu hal atau perintah yang diberikan guru. Sehingga guru tidak perlu mengulangi penjelasan untuk kedua kalinya.

ØApabila guru memberi sesuatu, maka terimalah dengan tangan kanan, bila guru meminta buku untuk dibaca maka berikan buku itu dalam keadaan siap dibaca. Sehingga guru tidak kesulitan untuk membacanya. Dan jangan menyimpan sesuatu yang ada di dalam buku. Apabila penuntut ilmu berjalan bersama guru maka hendaklah ia berada di depan guru pada malam hari dan di belakang guru pada siang hari, kecuali bila ada keperluan lain. Apabila hendak berteduh dan berbincang-bincang dengan guru maka hendaknya penuntut ilmu berada di sebelah kanan guru. Apabila bertemu dengan guru di jalan maka ucapkanlah salam tetapi bila jaraknya jauh jangan memanggil, jangan mengucapkan salam dan jangan memberi isyarat, akan tetapi dengan menundukan kepala.

[i] Didapat dari http://www.nurulfalahpm.viviti.com/entries/general/adab-menuntut-ilmu-#_ftn1 karya Dede Alimuddin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun