Mohon tunggu...
riska nuraini
riska nuraini Mohon Tunggu... Ahli Gizi - suka menolong orang

seorang yang senang membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Nilai Pancasila dan Ramadan Saling Menguatkan

7 Juni 2017   05:36 Diperbarui: 7 Juni 2017   06:22 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pancasila - redaksiindonesia.com

Barangkali semuanya serba kebetulan. Atau, dalam kacamata iman, semua yang serba kebetulan itu pada dasarnya telah ditentukan oleh kekuatan terbesar yang mengendalikan jagad ini. Kita mengenal kekuatan itu sebagai Tuhan. Dalam konteks Indonesia, yang serba kebetulan namun berada dalam garis kekuasaan Ilahi itu adalah bertepatannya hari lahirnya Pancasila pada bulan Ramadhan.

Tepat pada 1 Juni 2017, atau pada hari keenam bulan Ramadhan 1438 Hijriah, Presiden Joko Widodo merayakan hari lahirnya Pancasila sebagai salah satu hari libur nasional. Seperti jalan yang sejalur, penetapan hari lahirnya Pancasila sebagai hari libur nasional untuk kali pertama dalam sejarah menemukan momennya dalam kondisi terakhir Indonesia.

Sejak disibukkan dengan Pilkada DKI Jakarta yang dimulai pada beberapa bulan terakhir tahun lalu, juga dengan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia yang dianggap hendak mendirikan khilafah di Indonesia, posisi Pancasila seakan berada dalam prahara. Wacana yang hendak ditentang pemerintah dan persinggungan bulan Ramadhan 1438 dengan hari lahir Pancasila adalah posisi ideologi negara yang ditempatkan sebagai lawan Islam. Pancasila, sekali lagi, bukan musuh Islam. Dan Islam, bukanlah musuh Pancasila.

Tanpa perlu menghubung-hubungkan, Pancasila dan Ramadhan adalah kolaborasi yang sangat kuat. Di dalam Pancasila, penghargaan terhadap keberagaman, menjauhkan diri dari kebencian, dan menolak mengukur pergaulan sosial hanya dari perbedaan, adalah hal yang sama dengan filosofi Islam tentang Ramadhan. Dalam Ramadhan, kejujuran adalah harga yang sama nilainya dengan aktivitas menahan lapar dan dahaga itu sendiri. Dalam kisah Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW menyebut Allah SWT tidak menganggap puasa lapar dahaga seseorang tanpa menerapkan perilaku spiritual seperti tidak berdusta dan melontarkan kata-kata kotor. “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh rasa lapar dan haus yang dia butuhkan.”

Maka secara filosofis, apa yang diajarkan nabi tentang bagaimana berperilaku di dalam bulan Ramadhan adalah hal yang fundamental dalam impian Pancasila. Tidak berkata-kata kotor, tidak menghujat, tidak mengeluarkan ujaran kebencian, adalah syarat yang diminta untuk menghidupkan falsafah Pancasila sebagai warga negara.

Maka, pekan Pancasila yang dicanangkan pemerintah pada dasarnya semakin mematangkan spiritualisme umat Islam dalam Ramadhannya. Memeluk Pancasila sama artinya dengan menjalani Ramadhan yang bukan hanya sekadar tidak makan dan tidak minum, namun juga menjalani Rukun Islam keempat dalam perilaku.

Bukankah mempertahankan perilaku yang bersifat sehari-hari jauh lebih berat ketimbang melakukan yang hanya bersifat momentual seperti tidak makan-minum di bulan Ramadhan?  Allah SWT telah memberikan waktu dan ruang bagi kita untuk memahami Ramadhan sebagai aturan agama dalam peringatan bersejarah kita untuk Pancasila.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun