Â
Mengapa Ahok tetap di Rutan Mako Brimob hingga bebas dan bukan di Lapas Cipinang, Ahok korban? Pertanyaan ini tidak kunjung terjawab hingga sekarang? Tentang hal ini penulis  baru 'ngeh' ketika Buni Yani menginginkan posisi yang sama ingin mendapatkan tempat tahanan bukan di Lapas Gunung Sindur, Bogor, tapi di tempat yang sama dimana Ahok juga ditahan.
Meskipun tidak bermaksud membuka duka yang lama alias persoalan hukum yang lama, dimana Hakim ketua waktu persidangan Ahok, malah memberikan hukuman justru melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang hanya meminta dihukum 18 bulan atau 1,5 tahun saja tapi divonis menjadi 2 tahun.
Kemudian ketika sudah berada di LP Cipinang, tempat Ahmad Dhani kini ditahan, Ahok akhirnya dipindahkan ke Mako Brimob. Seperti yang dilansir oleh kompas.com (21/6/2017), Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Noor Rachmad mengatakan, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah dieksekusi ke Lapas Cipinang, Jakarta Timur, pada Rabu (21/6/2017) sore.
Namun, pihak Lapas Cipinang mengirimkan surat kepada Rutan Mako Brimob agar Ahok tetap menjalani hukuman sebagai terpidana di Rutan Mako Brimob. Dimana intinya menempatkan Ahok dalam menjalani pidananya itu di Rutan Mako Brimob. Â Dengan alasan yang paling utama adalah demi alasan keamanan.
Ketika melihat perbedaan dan arti dari Rutan (rumah tahanan) dan arti lapas atau LP (Lembaga Pemasyarakata), seperti yang dilansir oleh hukumonline.com (13/1/2010), didapatkan bahwa rutan tempat bagi para tersangka/terdakwa yang belum mempunyai vonis hukuman tetap atau ingkrah. Sedangkan lapas merupakan tempat bagi para narapidana yang sudah punya dasar hukuman yang tetap.
Timbul pemikiran, ketika memang Ahok meskipun sudah divonis dan punya dasar hukum yang tetap atau ingkrah tapi ternyata ditempatkan di Mako Brimob, tentu ada sinyal-sinyal ketidakadilan yang sedang memang diterima oleh Ahok saat itu.
Dimana ketika kita mengingat masa-masa waktu itu, bukan berarti membuka luka lama penegakan hukum di negara kita. Bahwa pada saat itu hukum kita seakan bisa didesak dengan adanya tekanan massa yang begitu besarnya. Coba bayangkan harus berkali-kali aksi massa yang bahkan diklaim mencapai jutaan orang kumpul di Monas.
Bahkan sidang-pun digelar bukan di Pengadilan Negeri tapi meminjam tempat yang lebih besar lagi. Melalui proses yang begitu panjangnya, sampai 21 kali sidang pengadilan dan akhirnya tetap dinyatakan bersalah. Ahok seakan dikorbankan untuk proses hukum yang diterimanya?
Ahok-pun memilih bisa menyelesaikan dengan baik seluruh proses hukuman yang ada. Bahkan tidak mengambil hak-nya sebagai narapidana, seperti cuti ataupun bebas bersyarat lainnya. Menyelesaikan dengan tuntas masa hukumannya, sehingga akhirnya bebas murni pada 24 Januari 2019 lalu.
Tapi pertanyaannya ketika kita berada di posisi itu, berada dalam situasi tekanan besar terhadap suatu proses hukum yang dipaksa kita hadapi, bisakah kita setegar Ahok menghadapinya? Bahkan berani untuk memilih bebas murni dan menyia-nyiakan kesempatan hak sebagai seorang narapidana.