Mohon tunggu...
Kurniasih
Kurniasih Mohon Tunggu... Administrasi - pengajar dan penulis

Rinai Kinasih adalah Kurniasih. Menulis adalah untuk berbahagia. Tak lupa juga untuk mencintai pepohonan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Spiritualitas Sastra sebagai Transformasi Kreatif Pembacaan

21 Februari 2017   19:20 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:29 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Definisi Sastra dalam Perdebatan

“Terima kasih kepada tokoh-tokoh dalam novel Jane Austin, yang sudah menginspirasiku bagaimana menjadi seorang perempuan, juga kepada ibu dan nenekku yang telah mendampingiku selama ini. Melalui pribadi-pribadi inilah, diriku berproses, menemukan jalan bagaimana menjadi dewasa...” demikianlah salah satu bagian dari pidato seorang gadis sekolah menengah ketika membacakan pidatonya, yang merupakan kewajibannya karena telah menjadi lulusan terbaik di sekolahnya. Gadis ini adalah Rory, putri dari Lorelay yang seorang single parent.

 Selama hidupnya, Rory, selalu berada di sisi ibunya ini. Hampir setiap peristiwa di hari-hari yang Rory lewati, ibunya selalu ada untuk menjadi kawan dalam berdiskusi. Sehingga hubungan mereka seperti dua orang sahabat saja yang selalu tahu masalah apa yang sedang mereka alami. Di sela-sela kesehariannya pun Rory berinteraksi dengan sang nenek, yang sedikit banyak mempengaruhi kehidupannya. Tetapi, di dalam diri Rory, bukan hanya ibu dan neneknya yang mendampinginya, menjadi kawan berbicara, serta menjadi contoh. Tetapi juga tokoh-tokoh yang ada di dalam buku-buku sastra yang ia baca setiap harinya, baik yang ditugaskan oleh sekolah maupun yang ia pilih sendiri. Di dalam pidatonya, Rory menempatkan tokoh-tokoh di dalam novel Jane Austin yang telah banyak “mendampingi” dirinya untuk menjadi dewasa.

                Penggalan kisah di atas diambil dari sebuah serial televisi yang berjudul Gilmore’s Girl.Ada dua hal yang menarik dari penggalan tersebut, yaitu tentang sastra dan pembentukan diri. Namun sekali kita menyebut nama sastra, serta merta kita akan menuai perdebatan karena tak urung pada setiap zaman, makna sastra selalu berbeda-beda. Sastra yang dalam definisi klasik adalah teks-teks fiksi yang mempunyai estetika tinggi dan menempati posisi sebagai karya puncak peradaban manusia. 

Tetapi teori-teori sesudah strukturalisme seperti kajian poskolonial, feminis dan cultural studiesmempertanyakan dan mempermasalahkan definisi tersebut. Adanya suatu ukuran absolut, hakiki dan univesal dalam menentukan karya sebagai karya sastra merupakan satu hal yang pertama-tama dipertanyakan bahkan digugat karena penentuan apa yang disebut karya sastra dan bukan, tak pernah terlepas dari berbagai faktor budaya dan kesejarahan yang ada. Hal tersebut adalah kondisi sosial budaya masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, berikut kepentingan-kepentingan yang ada.

                Persoalan penyeleksian dan pengesahan suatu karya atau pengarang untuk masuk kedalam “kanon sastra” atau “kerajaan sastra” merupakan topik yang umum dipertanyakan dalam teori-teori sastra mutakhir. Kriteria sastra yang dipermasalahkan akan mempertanyakan kembali batasan antara sastra tinggi dan rendah. Bersamaan dengan itu muncul pula pengertian baru tentang apa yang disebut “teks” dalam ilmu sastra. 

Secara harfiah teks berarti suatu bentuk fisik yang seringkali berupa buku dengan kata-kata yang tercetak di dalamnya, atau manuskrip dengan tulisan tangan. Dalam pengertian ilmu susastera yang mutakhir, “teks” mencakup dua hal yang lebih luas, yakni 1) rekonstruksi isi dan makna teks yang pertama dalam berbagai macam kondisi pembacaan. 2) berbagai macam ekspresi dan fenomena dalam kehidupan manusia yang bisa dibaca sebagai teks, yakni dengan memperhatikan kehidupan manusia yang dibaca sebagai teks, yakni dengan memperhatikan unsur-unsur diskursif, naratif dan rekaan.

                Pengertian teks yang kedua, berkaitan dengan redefinisi tentang hubungan teks dengan yang disebut dalam kenyataan, atau alam semesta, atau konteks yang melingkupinya. Teori-teori sastra mutakhir umumnya menolak tradisi “mimesis”, yakni anggapan bahwa karya sastra merupakan cerminan dari sesuatu yang disebut dengan “kenyataan”. 

Teori-teori sastra mutakhir tidak lagi menerima mentah-mentah proposisi tentang apa yang dianggap “kenyataan” karena seperti yang diawali oleh de Saussure, kenyataan hanya dapat diungkapkan dengan mediasi atau perantaraan bahasa. Oleh karena itu, semua ungkapan manusia tentang kenyataan dianggap tidak bisa menghadirkan itu, semua ungkapan manusia tentang kenyataan dianggap tidak bisa menghadirkan kenyataan secara langsung. Melalui bahasa, yang diungkapkan adalah versi-versi tekstual tentang kenyataan itu sendiri.

Namun perdebatan mengenai definisi karya sastra senantiasa akan membutuhkan definisi karya sastra yang sudah ada sebelumnya. Setidaknya kita bisa mengetahui bahwa definisi sastra pernah ada meski dalam kondisi yang sangat riskan. Di antaranya adalah, 1) walaupun perbedaannya relatif dan kadang-kadang bahkan dapat dipermasalahkan, suatu teks sastra menuntut aktivitas pembaca yang lebih besar ketimbang bacaan yang berkualitas kurang. 2) teks menuntut aktivitas pembaca. Dalam sebuah teks sastra banyak yang dibiarkan implisit sehingga menyibukkan pembaca. 3) suatu teks sastra seringkali juga menuntut pemahaman simbolik. 4) kegiatan pembaca juga dituntut dalam menerangkan lambang dan pola.

Keterlibatan Pembaca dan Teks: Paradigma Riceour

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun