Mohon tunggu...
Renold Yoga
Renold Yoga Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajar dari DKI, Politik Identitas Bukti Lunturnya Pancasila

25 April 2017   01:39 Diperbarui: 25 April 2017   11:00 1325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

BELAJAR DARI DKI

POLITIK IDENTITAS BUKTI LUNTURNYA PANCASILA

Oleh: Renold Yoga Pratama

            Pilkada DKI yang merupakan pesta demokrasi bagi negeri di tahun 2017 ini di ciderai dengan berbagai warna Politik Identitas dimana mulai awal penyelenggaraan selama tujuh bulan lamanya sudah merebak berbagai berita-berita sesat yang memecah belah persatuan rakyat tidak hanya di Jakarta namun juga di seluruh penjuru Indonesia. Warga Jakarta mulai disetir dengan cara dikotak-kotakan, dapat kita saksikan berbagai isu sektarian yang mewakili identitas primordial kandidat tertentu, begitu hangatnya diperbincangkan publik. Pemetaan kelompok identitas yang berdasarkan suku, agama, dan etnis, pun menjadi taksasi kemenangan politik yang telah ditakar berbagai kalangan, mulai dari pengamat politik hingga rakyat biasa. Titik klimaksnya pada Islam non Islam, pribumi non pribumi, menjadikan gesekan yang sangat kuat pada publik untuk memilih calon Gubernur DKI tertentu berdasarkan identitas promordialnya.

            Dalam Pilkada DKI hantaman yang sangat kuat diarahkan pada figur calon gubernur petahana Ahok-Djarot, khususnya Ahok yang di cap sebagai etnis China dan non muslim. Disini Pancasila yang sebagai ideologi dan pandangan bangsa Indonesia untuk berfikir dan bertingkah laku dalam pesta demokrasi telah dikesampingkan. Lunturnya Pancasila melalui Pilkada yang di bumbui Politik Identitas untuk memecah belah persatuan dan kesatuan teramat sangat nyata dirasakan publik. Mulai dari adanya aksi damai yang didalangi oleh ormas Islam FPI, aksi 411, 212, dan 112 yang dilaksanakan puluhan ribu umat islam sebagai aspirasi untuk menuntut penegakkan hukum juga tidak menutup kemungkinan adanya unsur politisasi yang ditunggangi oknum politik untuk menjebak salah satu pasangan calon agar terpenjara dari kepentingan sosialnya di Pilkada DKI. Selain itu, pertarungan Pilkada DKI putaran kedua banyak diwarnai Politik Identitas dan isu SARA. Ahok dari kelompok minoritas Cina dan non-muslim menghadapi Anies yang merupakan kandidat kelompok muslim etnis Jawa. Warna politik identitas dinilai jauh lebih kental dibanding adu gagasan dan kebijakan bagaimana membangun dan memajukan kesejahteraan masyarakat ibu kota. Dan dapat digaris bawahi secara faktual agama dapat ditunggangi oleh oknum elit politik karena sangat mempengaruhi pilihan-pilihan orang dalam prosses politik. Oleh karena itu, fakta seperti inilah yang kemudian digunakan, tidak hanya oleh kontestan tapi juga para konsultan politik. Kemudian fakta ini digunakan oleh para konsultan politik atau lembaga-lembaga pemenangan pemilu lainnya sebagai dasar untuk memobilisasi para pemilih. Ini merupakan masalah yang sangat penting karena secara normatif sangat bertentangan dengan rasionalitas politik yang ada. Dengan demikian masyarakat seharusnya menjadikan rasionalitas politik sebagai pertimbangan utama dalam memilih pasangan calon kepala daerah, bukan politik identitas.

            Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi  Pancasila dan UUD 1945 sebagai pedoman rakyat dalam berpolitik, bersosial, berbangsa dan bernegara, namun demokrasi yang disalahgunakan telah menodai falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Demokrasi tanpa kedewasaaan berbangsa dan bernegara hanya melahirkan pemain bukan negarawan yang sesungguhnya. Bahkan tidak sedikit fakta yang memudarkan sikap-sikap proporsional antara kehidupan beragama dan berpolitik. Dua kehidupan ini antara agama dan politik sudah dicampur-adukan, sehingga pengaruhnya terhadap demokrasi justru membuatnya lemah dan rapuh. Agama sering dijadikan alat untuk mencapai keinginan-keinginan di luar urusan kerohanian, seperti halnya pada Pilkada DKI. Penggunaan agama sebagai alat politik untuk memilih pasangan calon tertentu semacam itu sangatlah mengancam keberlangsungan demokrasi yang mulanya dapat dinikmati masyarakat secara harmonis justru menjadi sebuah ancaman dalam kehidupan sosial. Di dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara, demokrasi memberikan semua hak yang sama kepada seluruh elemen masyarakat dalam berpolitik dan beragama. Seharusnya, antara beragama dan berpolitik, atau keduanya dijalankan secara benar dan proporsional. Jangan jadikan agama sebagai bayangan politik, dan jangan pula jadikan politik sebagai ritual ibadah keagamaan, serta yang terpenting jangan juga menggunakan agama untuk mendukung tujuan-tujuan politis karena itu berarti menurunkan derajad keagamaan.

            DKI Jakarta merupakan cerminan dan tolok ukur dari daerah lain di seluruh Indonesia dalam penyelenggaraan Pilkada seharusnya dapat menjadi contoh yang baik dan benar dalam pesta demokrasi. Pesta Demokrasi di DKI seharusnya syarat dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila bukan malah saling menjatuhkan dengan cara yang tidak sehat, dengan menunjukkan identitas masing-masing, adanya Aksi Bela Islam dan Aksi Bhineka Tunggal Ika, menunjukkan bahwa kasus dari Gubernur Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang di dakwa sebagai tersangka kasus penistaan ayat suci Al-Quran, tampaknya saling menunjukkan identitas politiknya masing-masing. Dan lebih dari itu yakni untuk saling memecah-belahkan warga DKI saat Pilkada yang pada akhirnya saling menjatuhkan, saling serang, menebar kebencian, menebar berita bohong, merasa kelompoknya paling benar dan paling memiliki negeri ini, melalui Politik Identitas yang dilapisi bumbu keagamaan ini menjadikan keadaan negara bergejolak dan tidak kondusif. Aksi-aksi tersebut yang dilansir sebagai hak setiap warga negara dalam menyampaikan hak bersuara dan berpendapat sesuai dengan Undang-undang memang benar namun apabila keadaan dan suasana yang saling menyalahkan itu terus berlanjut, tentu akan memberi dampak yang sangat serius bagi keberlangsungan masa depan bangsa. Dengan demikian, dapat disimpulkan sikap melalui Aksi yang saling mengklaim kelompoknya masing-masing paling benar dan paling baik yang disertai kekerasan verbal maupun non verbal, maka akan menjadikan tugas kenegaraan untuk mengurusi pekerjaan rumah bangsa menjadi terlupakan.

            Pekerjaan rumah bangsa ini seperti pemerataan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan, pengentasan kemiskinan, penegakan hukum, dan yang lain seharusnya lebih penting dan harus segera diselesaikan bukan malah dinomorduakan. Oleh karenanya, sebaiknya bangsa Indonesia harus mengendepankan fdan mengaktualkan kembali budaya-budaya unggulan yang terdapat pada tiap nilai-nilai Pancasila yang luhur seperti, budaya gotong royong, saling membantu, saling memaafkan, budaya arif dan bijaksana. Budaya-budaya sekarang ini sering terkalahkan oleh media massa yang massif yang belum tentu kebenarannya. Bahkan seringkali mengandung fitnah, mengadu domba sesama saudara setanah air, dan menyebar kebencian. Pada saat ini informasi yang beredar di media sosial diterima begitu saja tanpa sikap kritis dari masyarakat. Padahal, informasi-informasi itu perlu diklarifikasi kebenarannya dengan melakukan tabayyun dan menggali lebih dalam kebenaran sumber informasi tersebut. Penerimaan informasi tanpa reserve itulah yang bisa dengan mudah menimbulkan konflik adu domba dan permusuhan di antara teman dan bahkan dalam keluarga. Budaya saling menyalahkan dan tidak mau melakukan tabayyun itu tentu sangat bisa menghalangi spirit kebangsaan yang ada pada Pancasila untuk memajukan bangsa dan negara ini. Solusi yang tepat dan baik bagi seluruh daerah di Indonesia tidak hanya DKI Jakarta dalam menyelenggarakan pesta demokrasi atau pemilihan kepala daerah ialah dengan kesadaran seluruh rakyat Indonesia bahwa ada yang lebih penting yang harus dikerjakan demi kemajuan bangsa bersama daripada mengagung-agungkan kelompoknya sendiri. Rakyat Indonesia harus melihat kembali bercermin pada para pendiri bangsa yang telah bersusah payah menyatukan seluruh elemen perbedaan yang beranekaragam atau masyarakat plural pada Nusantara melalui Pancasila. Dengan semboyan bangsa Indonesia Bhineka Tunggal Ika berarti sudah jelas bahwa seluruh rakyat Indonesia telah sepakat bersatu padu dalam keharmonisan Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju pada masyarakat yang madani. Rakyat Indonesia harus mencermati kembali Undang-Undang Dasar Indonesia dan UU serta peraturan turunannya memberikan hak kepada seluruh warga negara Indonesia untuk memilih maupun dipilih, apa pun agama, suku, ras, etnis dari mana pun asalnya. Sistem demokrasi yang dianut ini bertujuan untuk memilih pemimpin terbaik dari berbagai calon yang ada. Karena itulah, dalam negara yang demokrasinya yang sudah matang, rakyat menilai calon pemimpin dari kapasitasnya untuk mengelola pemerintahan bukan dari identitas suatu calon apalagi agama. Dengan begitu, rakyat harus cermat di dalam memutuskan suatu pilihan kalau memang di dalam ajaran agama tertentu diwajibkan memilih pemimpin dari golongannya maka carilah, usung calon pemimpin yang berkompeten siap mengurusi rakyat dan negara tidak dengan cara menebar kebencian dan menyalahkan orang lain dengan menyebar berita tidak benar melalui media massa atau media sosial.

Negara Indonesia adalah negara yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 bukan negara agama, dan Islam sebagai agama mayoritas seharusnya lebih bisa mengayomi, melindungi negara ini agar tidak terpecah belah. Masyarakat juga harus berhati-hati dan kritis terhadap partai politik yang suka menjual ayat-ayat agama untuk kepentingan pragmatisme politik jangka pendek. Satu saat mereka menggunakan dalil bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin saat calon yang mereka usung laki-laki, tetapi di daerah lain mereka malah mendukung calon perempuan karena potensi kemenangannya lebih besar. Pada daerah lain, ketika calon non-Muslim memiliki potensi besar terpilih, mereka menggunakan ayat yang membolehkan non-Muslim memimpin, tetapi dalam kasus DKI Jakarta, mereka menggunakan ayat lainnya yang melarang Muslim memilih pemimpin kafir. Ayat-ayat suci Al-Qur’an digunakan sekehendak hatinya sesuai dengan kepentingan yang dibawa hal tersebut tentu sangat memprihatinkan kalau agama digunakan sebagai alat politik semata. Penggunaan isu-isu SARA untuk tujuan jangka pendek untuk memenangkan calon tertentu sudah jelas berpotensi merusak keragaman dan harmoni sosial yang selama ini sudah berjalan dengan baik di Indonesia. Para pendiri bangsa telah berkorban mendirikan bangunan Indonesia dengan segala keanekaragaman yang ada di dalamnya. Rakyat bisa melihat contoh-contoh dari bangsa lain yang dilanda konflik tidak berkesudahan karena adanya sekat-sekat sosial yang dibangun atas kepentingan sempit kelompok tertentu. Jika pemilihan pemimpin bangsa baik itu presiden, gubernur, bupati atau walikota diserahkan kepada calon yang hanya mementingkan suatu golongan semata maka akan mudah rusak suatu negara, banyaknya korupsi di Indonesia dikarenakan kesalahan rakyat yang lebih memilih dan melihat identitas pasangan calon bukan menilai dari seberapa tingginya kualitas pasangan calon dalam berpihak dan berjuang pada rakyat kecil. Oleh karena itu, mari menjaga kesatuan negara Indonesia untuk kehidupan masa depan yang lebih baik dengan lebih peka dan sadar apa yang sebenarnya bangsa Indonesia butuhkan kedepannya karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan bangsa Indonesia, rakyat miskin, pengangguran, bantuan kesehatan, pembangunan insfrastruktur daerah pelosok, dan yang lain menjadi hal yang utama sebab persaingan dunia semakin nyata kalau rakyat tidak sadar dan peka maka bangsa yang besar ini akan mudah terjajah kembali.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun