Mohon tunggu...
Laila Qodri
Laila Qodri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Refleksi Dari Para Founding Father

5 Juli 2017   15:03 Diperbarui: 5 Juli 2017   15:09 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia adalah sebuah negara besar dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 250 juta jiwa, dan merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Keberagaman budaya antar wilayah menjadi entitas tersendiri bagi negeri ini. Bhinneka Tunggal Ika, sebuah kata sederhana namun dapat menyatukan 1.128 suku, 546 bahasa dan 6 agama besar. Para pendiri bangsa ini tidak mudah dalam menyatukan berbagai masyarakat lintas budaya untuk menjadikan negeri ini dengan sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejak bergulirnya era reformasi 1998 membawa berbagai perubahan pada setiap sudut masyarakat Indonesia. Yang menjadi sorotan adalah perubahan dibidang keterbukaan, terutama keterbukaan penyampaian pendapat. Perlu diketahui bahwa keterbukaan ini tidak selalu membawa dampak positif, ada juga dampak negatif yang baik secara langsung maupun tidak langsung merugikan keutuhan kedaulatan Indonesia. Berbagai ideologi transnasional, mulai dari ekstrim kiri hingga ekstrim kanan bermunculan yang mengikis semangat nasionalisme masyarakat dilatarbelakangi karena keterbukaan pers dan peran media sosial.

Berbagai fenomena polarisasi masyarakat terjadi saat pilkada 2017, terutama pilkada di DKI Jakarta. Dimulai dari isu penistaan agama yang menyeret Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atas pidatonya di Kepulauan Seribu. Mendengar isu penistaan tersebut, Forum Pembela Islam (FPI) berbondong-bondong meramaikan jalan-jalan di Ibukota untuk menuntut pengadilan atas pidato Gubernur DKI Jakarta tersebut. Tidak hanya satu kali, ribuan bahkan ratusan orang memadati sudut ibukota lebih dari empat kali yang sangat berbau unsur politik tersebut.

Tidak hanya di DKI Jakarta, polarisasi yang didasarkan pada perbedaaan agama, ras, atau antargolongan juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Di Papua misalkan, terjadi bentrokan antargolongan yang mendukung pasangan calon (paslon) tertentu, dan meng-claimcalon masing-masing lah yang memenangkan pilkada.

Melihat fenomena yang terjadi baru-baru ini terkait isu perpecahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah terjadinya polarisasi kubu yang memandang organisasi atau kelompoknya lah yang paling benar. Ketidakmampuan masyarakat dalam memahami arti Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi seringkali berujung kepada isu perpecahan. Misalkan aksi persekusi yang merupakan aksi susulan atas penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama yang diduga dilakukan oleh Form Pembela Islam (FPI) juga.

Kenegarawanan para elite politik diharapkan tetap terjaga, karena benih perpecahan yang ditimbulkan oleh para elite politik tersebut dapat berdampak sangat besar pada masyarakat. Meskipun dalam keadaan bersaing saat pilkada, semangat kebersamaan dan keberagaman tetap menjadi yang mutlak yang harus di jaga. Sehingga benih perpecahan dapat dihindari.

Keterbukaan sistem informasi yang sedemikian rupa dapat menjadi alat yang dianggap ampuh untuk menebarkan letupan konflik SARA atau anarkisme. Bentuk potensi ancaman moral, seperti narkotika, propaganda asing, disinformasi, dan penyebaran film berkonten pornografi tampaknya lebih menghancurkan daripada ancaman militer dan penjajahan.

Isu lain yang turut mengancam kedaulatan NKRI adalah (Islamic State of Iraq and Syria)ISIS. Organisasi ini mengancam kedaulatan NKRI karena keberdaaan ideologi ISIS ini telah merusak ideologi Pancasila, terutama di kalangan mahasiswa. Pendukung ISIS di Indonesia telah tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, misalkan Bandung, Solo, atau Malang. Fenomena ini perlu diperhatikan serius baik pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. kekerasan serta kebiadaban seperti bom bunuh diri yang dikedepankan terorisme seolah-olah menjadi ladang jihad bagi umat muslim, dan menjadi cara instan untuk masuk surga. Sedangkan, islam sebenarnya tidak pernah mengajarkan untuk saling membunuh antarmanusia tanpa ada alasan yang jelas, apalagi hingga bunuh diri.

Setiap warga negara perlu memahami dan menghayati kembali Pancasila sebagai ideologi bangsa. Melihat beberapa gerakan positif, seperti Gerakan Bhinneka Tunggal Ika dan aksi Kita Indonesia merupakan aksi damai yang ditunjukkan oleh masyarakat untuk mengampanyekan pentingnya kedaulatan bangsa. Para kaum muda dan mahasiswa berkewajiban penuh dalam menjaga persatuan bangsa. Sikap kritis dan korektif dari pemuda diharapkan timbul jalan keluar atas masalah yang ada. Tameng Pancasila yang ada dalam diri mahasiswa perlu tingkatkan, dikarenakan penyebaran paham radikalisme banyak terjadi di kampus dan perguruan tinggi.

Karena tanpa Pancasila, entah sudah seperti apa rupa bangsa ini. Penghayatan Pancasila dalam rangka menjaga keutuhan bangsa perlu dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak hanya pemerintah daerah dan mahasiswa, semua unsur masyarakat, baik orang tua, muda, pejabat, hingga rakyat biasa dibebani tanggungjawab atas kedaultan NKRI sehingga diperlukan partisipasi aktif setiap unsur masyarakat. Kita perlu meneruskan apa yang menjadi cita cita para pendiri bangsa telah bersusah payah membangun negara kesatuan ditengah berbagai ras, warna kulit, budaya yang berbeda-beda.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun