Isu deforestasi ternyata tidak hanya menjadi masalah bagi negara Indonesia saja, tetapi juga menjadi isu global. Pemimpin tertinggi umat katolik, Paus Fransiskus mengatakan bahwa deforestasi dan berkurangnya keanekaragaman hayati dalam waktu cepat di negara-negara tertentu-termasuk Indonesia- tak bisa dianggap sebagai isu lokal. Kondisi tersebut mengancam masa depan seisi planet ini .
Indonesia, sebagai negara tropis mempunyai kekayaan sumberdaya hutan (SDH) tropika basah yang luar biasa luasnya. Data tahun terakhir yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) , luas kawasan hutannya menjadi 125,2 juta ha kawasan hutan sesuai fungsinya.
Rinciannya adalah 29,1 juta ha sebagai kawasan hutan produksi tetap, 26,7 juta ha sebagai kawasan hutan produksi terbatas, 29,5 juta ha sebagai kawasan hutan lindung, 27,3 juta ha sebagai kawasan konservasi, dan 12,8 juta ha hutan produksi yang dapat dikonversi untuk kebutuhan pembangunan.
Sebagaimana negara lain di daerah tropika seperti Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Angola, Suriname, Liberia, dan Kolombia, masalah utama dalam kelola hutannya adalah deforestasi yang begitu cepat seiring dengan laju peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali.
Data tahun 2018, luas lahan kritis di Indonesia 14 juta ha dan akan bertambah setiap tahunnya meskipun laju deforestasi dapat ditekan dan menurun setiap tahunnya. Indonesia mencatatkan laju penurunan deforestasi dari 1,92 juta hektare (ha) pada kurun waktu 2014-2015 menjadi 0,48 juta ha pada 2016-2017 dan sebesar 0,44 juta ha pada tahun 2017-2018.
Di sisi lain, kemampuan pemerintah dalam melakukan kegiatan reforestasi jauh dari menggembirakan. Sejak digaungkan Inpres Reboisasi dan Penghijauan tahun 1976 di era Orde Baru dan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) diera reformasi, pemerintah cq KLHK masih saja berkutat dengan angka-angka target reforestasi yang seolah olah angka target tersebut dapat mengurangi atau menekan data lahan kritis maupun angka laju deforestasi.
Angka target itupun juga tidak mampu menghilangkan sama sekali dalam batas yang minimal. Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) KLHK, dalam sambutan pada Peringatan Hari Penanggulangan Degradasi Lahan Se-Dunia, 1918 menyatakan kemampuan pemerintah untuk merehabilitasi lahan hanya mencapai 500.700 ha. Sehingga, diperlukan waktu 48 tahun agar zero net degradation dapat tercapai, dengan asumsi ceteris paribus.
Reforestasi yang selama ini dilakukan perlu dievaluasi keberhasilannya. Menanam vegetasi kayu-kayuan di kawasan hutan dapat dinyatakan berhasil apabila tanaman telah mencapai usia sapling (5-6 tahun ke atas).
Dengan alasan keterbatasan anggaran, kegiatan reforestasi ini dipelihara dan dievaluasi hanya sampai tahun ketiga dan selanjutnya pemeliharaanya diserahkan kepada kearifan alam.
Data luas reforestasi yang dilakukan sejak 44 tahun yang lalu perlu di-update kembali tingkat keberhasilannya dengan pendekatan scientific forestry agar dapat diperoleh angka reforestasi yang sebenarnya.
Oleh Pramono Dwi Susetyo (Pensiunan Rimbawan)