Para Kompasianer yang tercinta, apa kabar? Semoga anda dalam keadaan sehat dan berbahagia. Pada tulisan yang lalu saya memberi contoh penulisan aksara Jawa dalam 3 buah paribasan atau peribahasa. Sekarang saya ingin mengajak anda untuk mengenal penggunaan aksara Jawa dalam bidang seni menulis indah, yaitu kaligrafi. Seperti budaya tulis lainnya, aksara Jawa mengenal seni menulis indah atau kaligrafi (Yun. kallos = indah, graphe = menulis). Biasanya kalau mendengar kata kaligrafi, kita akan terbayang pada seni kaligrafi Arab. Padahal seni kaligrafi sangat luas dikenal oleh bangsa/budaya lain juga, bukan hanya oleh bangsa/budaya Arab. Di Asia saja kita dapat mengenal seni kaligrafi China (shufa), Jepang (shodou), Korea (seoye), Persia, India, Nepal, Tibet, dan sebagainya. Di Eropa, buku-buku zaman pertengahan banyak dihiasi dengan tulisan-tulisan indah yang ditulis dengan tangan oleh para rahib atau biarawan. Pendek kata, di mana dijumpai budaya tulis, di situ pasti ada seni kaligrafi. Masing-masing budaya memiliki ciri khas dalam proses pembuatan dan wujud kaligrafinya. Kaligrafi China, Jepang, dan Korea biasanya berupa huruf-huruf kanji atau dalam bahasa Mandarin disebut hanzi. Huruf-huruf itu disusun menjadi puisi dan semacamnya. Jarang dijumpai contoh kaligrafi budaya Asia Timur yang menggunakan huruf-huruf untuk membentuk gambar seperti kita jumpai dalam kaligrafi Arab dan kaligrafi Jawa. Bukan berarti sama sekali tidak ada. Tak perlu saya bahas lebih lanjut mengenai macam-macam kaligrafi selain kaligrafi Jawa itu. Langsung saja ya, kita masuk pada bahasan tentang kaligrafi Jawa. Perhatikan gambar berikut ini: [caption id="attachment_268003" align="aligncenter" width="320" caption="Semar berpengawak Sastra Dentawyanjana."][/caption] Gambar Semar yang dibuat dengan aksara Jawa ini sangat terkenal. Di dalamnya termuat ke-20 aksara Jawa yang disusun dalam empat baris kalimat. Keempat baris kalimat itu berisi filsafat ha-na-ca-ra-ka yang khas dengan kandungan ilmu kejawen mengenai asal dan tujuan manusia (sangkan-paraning dumadi). Untuk mempermudah pembacaan keempat baris kalimat itu - sesuai dengan urutan ha-na-ca-ra-ka, saya akan bantu dengan pewarnaan pada aksara-aksara yang membentuk tubuh Semar ini. Perhatikan gambar berikut: [caption id="attachment_268005" align="aligncenter" width="400" caption="ha - na - ca - ra - ka"]
[/caption] Aksara Jawa yang saya beri warna biru berbunyi
hananing cipta rasa karsa. Aksara
ha dan
na terdapat dalam kata
hananing, aksara
ca terdapat dalam kata
cipta, aksara
ra terdapat dalam kata
rasa, dan aksara
ka terdapat dalam kata
karsa. Aksara
ha mulai dari hidung ke atas membentuk kuncung atau jambul Semar. Aksara
na terletak tepat di bawah aksara
ha. Kemudian
ning (aksara
na yang mendapat
sandhangan wulu dan
cecak), membentuk kepala Semar.
Cipta (aksara
ca mendapat
sandhangan wulu, aksara
pa yang diikuti pasangan
ta), membentuk tengkuk dan lengan kanan Semar.
Karsa (aksara
ka mendapat
sandhangan layar,
sa nglegena/tanpa imbuhan apapun) membentuk bibir dan mulut Semar.
Hananing cipta rasa karsa mengandung makna, bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya sudah dilengkapi secara kodrati dengan daya cipta, rasa, dan karsa untuk mencapai tujuan hidupnya. Gambar berikutnya adalah: [caption id="attachment_268008" align="aligncenter" width="400" caption="da - ta - sa - wa - la"]
[/caption] Aksara Jawa yang saya beri warna biru berbunyi
datan salah wahyaning lampah. Aksara
da nglegena tertulis pada dagu Semar. Sedangkan
tan salah (aksara
ta nglegena, aksara
na diikuti
pasangan sa, aksara
la dirangkai dengan
sandhangan wignyan). Aksara
ta membentuk leher dan puting susu Semar. Aksara
na dan
sa membentuk bagian tangan kiri Semar, aksara
la diikuti wignyan membentuk bagian jari, telapak tangan, dan siku Semar. Kemudian
wah (aksara
wa dirangkai dengan
sandhangan wignyan). Tidak seperti
la yang langsung diikuti
wignyan, pada kata
wah ini
wignyan ditulis di bawah
wa, bukan karena ingin menyalahi aturan penulisan, melainkan karena lebih pada fungsi estetik dan sekaligus membentuk bagian pantat Semar. Aksara
ya nglegena ditulis secara vertikal membentuk jari-jari kaki Semar. Berikutnya kata
ning lampah (
na mendapat
wulu dan
cecak,
la nglegena,
ma diikuti
pasangan pa yang dirangkai dengan
wignyan) membentuk kaki Semar. Kaligrafer dengan cerdik menempatkan kata
lampah (yang berarti jalan, berjalan) pada kaki Semar.
Datan salah wahyaning lampah, mengandung makna bahwa daya cipta, rasa, dan karsa (pada kalimat pertama tadi) diberikan supaya manusia tidak salah langkah dalam mengarungi kehidupan. Gambar berikutnya: [caption id="attachment_268011" align="aligncenter" width="400" caption="pa - dha - ja - ya - nya"]
[/caption] Aksara yang saya beri warna biru berbunyi
padhang jagadé yèn nyumurupana. Bagian depan aksara
pa membentuk bagian bahu kiri Semar, sedangkan bagian belakang
pa bersama
dhang (aksara
dha diberi
cecak) menjadi perhiasan bagian pinggang belakang, sekaligus menjadi lengan atas kanan Semar. Kata
jagadé, aksara
ja terdapat di bagian atas pantat Semar, aksara
ga nglegena ditulis secara vertikal dengan bagian depan diperpanjang membentuk lengan bawah kanan Semar, sedangkan bagian aksara
ga yang lain menjadi gelang. Disusul dengan aksara
da dan
pasangan da yang diberi
sandhangan taling, membentuk jari-jari dan telapak tangan kanan Semar. Kata-kata
yèn nyumurupana membentuk hiasan pada kain yang dikenakan Semar, terdiri dari aksara
ya mendapat
taling, diikuti aksara
na yang dirangkai dengan pasangan
nya yang diberi
suku, aksara
ra diberi
suku,
pa diikuti pasangan
pa, dan terakhir aksara
na nglegena.
Padhang jagadé yèn nyumurupana, kalimat ketiga ini baru akan dapat dimaknai setelah dirangkai dengan kalimat keempat. Maka mari kita perhatikan gambar berikutnya: [caption id="attachment_268015" align="aligncenter" width="400" caption="ma - ga - ba - tha - nga"]
[/caption] Aksara yang saya beri warna biru berbunyi
marang gambaraning bathara ngaton. Aksara-aksara ini dapat dibaca dengan mudah karena susunannya seperti menulis aksara Jawa biasa. Mudah terlihat/terbaca karena sudah
ngaton (terlihat). Sekarang saya akan rangkai kalimat ketiga dengan kalimat keempat, sehingga menjadi
padhang jagadé yèn nyumurupana marang gambaraning bathara ngaton. Makna kalimat ini adalah manusia akan selamat apabila mau menyadari kepentingan sesama hidup lainnya (manusia dan alam semesta ciptaan Tuhan). Filsafat asal dan tujuan manusia (
sangkan paraning dumadi) yang menjadi dasar dibuatnya kaligrafi Semar di atas disusun oleh
Soenarto Timoer dalam makalahnya
"Mengkaji Makna Ha-na-ca-ra-ka, Menguak Hakikat Sangkan Paraning Dumadi" dalam
Seminar Nasional Pengkajian Ha-na-ca-ra-ka pada 15-16 April 1994. Mengenai bahasan tentang filsafat
sangkan paraning dumadi lebih mendalam, saya persilakan para Kompasianer menanyakannya kepada para ahli filsafat Jawa. Sebagai penutup tulisan ini, saya berikan kaligrafi Semar yang lain. Aksara dan susunannya lebih mudah dibaca. Isi dari kaligrafi berikut adalah tiga semboyan bagi para pendidik yang dirumuskan oleh RM Soewardi Soerjaningrat alias
Ki Hajar Dewantara: [caption id="attachment_268017" align="aligncenter" width="500" caption="Semboyan bagi para pendidik Indonesia."]
[/caption] Bagaimana? Sudah terbaca? ^_^ Semoga. Sampai jumpa lagi di tulisan berikutnya.
Lihat Bahasa Selengkapnya