Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memahami Kultur Ruang Publik Terbatas dan Ruang Publik Umum

3 Februari 2017   09:30 Diperbarui: 3 Februari 2017   15:34 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Pengadilan sebagai ruang umum terbatas. Sumber: pn-praya.go,id

Hebohnya pembicaraan di persidangan Ahok telah membuat panas suhu politik di negeri ini. Kultur ruang persidangan terkait tanya-jawab saksi dan terdakwa beserta tim pembela telah menjadi permasalahan di ruang umum. 

Permasalahan muncul ketika persepsi-interpretasi umum digunakan untuk memahami dialog yang terjadi di ruang persidangan. Di sisi lain, ruang sidang memiliki kultur yang tidak sama dengan ruang publik umum.

Ruang publik memiliki beragam kultur yang tergantung batasan atau lingkup ruang publik tersebut. Contohnya ruang publik umum terbatas; ruang kelas, ruang perpustakaan, ruang seminar, ruang rapat/kantor. Contoh ruang publik umum tak terbatas: pasar, jalanan, taman kota, alun-laun, dan lain-lain. Setiap ruang publik, baik yang formil maupun non-formil memiliki ciri-ciri tersendiri sebagai bagian dari pembentuk kultur ruang publik tersebut.

Kalau ruang publik umum selalu merujuk pada kaidah-kaidah umum di mana semua orang bisa memahaminya secara normatif dan relatif sama tanpa melihat status sosial, usia, jender dan lain-lain. Mereka ditempatkan pada posisi sama. Contohnya ketika seorang pemimpin misalnya Gubernur menyampaikan himbauan kepada masyarakatnya “ayo kita jaga sungai kita tetap bersih, jangan membuang sampah dan jangan membuat bangunan liar demi kepentingan bersama!”. 

Perkataan gubernur itu ‘’seolah memerintahkan orang banyak’’ padahal di antara orang banyak itu ada yang usianya lebih tua dari gubernur, ketua adat yang dihormati, ketua DPRD, ketua partai, orang tua dan keluarga besarnya, mertuanya, mantan gurunya, dan lain-lain. Pada konteks ruang publik itu posisi si gubernur  adalah sebagai pemimpin orang banyak. Di sini ada hirarki, yakni pemimpin-yang dipimpin. Orang-orang yang dipimpin pada saat (konteks) himbauan tersebut berada dalam posisi yang sama walau status sosial mereka ada yang lebih tinggi dari gubernur.

Ilustrasi suasana ruang cafe. anythingjakarta.com
Ilustrasi suasana ruang cafe. anythingjakarta.com
Perilaku dan Setting para Pelaku Ruang

Ada suatu ruang publik terbatas yang unik. Di ruang itu ‘mendadak’ terbangun kesetaraan padahal pelaku ruangnya memiliki status sosial yang tak setara (beragam) atau mungkin saling berlawanan. Misalnya di sebuah kafe berkumpul sejumlah orang dalam suatu ruang atau meja besar. Mereka adalah teman-teman sekolah yang sedang reuni, masing-masing memiliki jabatan dan status sosial berbeda; ada yang jaksa, polisi, pengacara, ketua DPRD, ketua partai A, ketua partai B, anggota partai C, pengusaha, motivator profesional, preman, tukang parkir, mandor bangunan, pemuka agama, dosen, dan lain-lain. 

‘’Bangunan kultur ruang” di situ tidak mengikuti satu pun dari bidang, jabatan atau status sosial mereka. Mereka bicara lepas, saling meledek, tertawa, dan lain-lain mulai dari urusan rumah tangga, gaya hidup, perempuan, hal berbau sex dan cabul, ekonomi, politik, dan lain sebagainya secara santai. Kalau saja anak buah atau staf dari masing-masing orang itu melihat atasan atau boss nya bicara dan berperilaku saat ngumpul itu, bisa jadi akan kaget. Akan muncul pikiran:

“Waah? kok boss gue ngomongnya jorok gitu, ya.. padahal di kantor orangnya alim”

“Lho, kok pak X yang ketua partai A  bisa bercanda dekat dengan pak Y yang ketua partai B? Padahal partai A dan partai B kan tidak akur!”

“Waduuh, kurang ajar mereka!  Atasan saya dikerjain mereka sampai segitunya? Padahal atasan saya  itu sangat baik, terhormat di kantor saya dan dituakan di wilayah tinggalnya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun