Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Egoisme Teroris

2 Juli 2017   07:27 Diperbarui: 2 Juli 2017   09:06 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kegoisan Teroris dan Tanggapan yang Sepantasnya

Teror dan perilaku teroris makin hari makin tidak jelas. Motivasi dan tujuannya tidak tahu mau ke mana dan mau apa. Korban seranganpun malah cenderung lebih banyak mereka daripada yang selama ini sepertinya menjadi target, yaitu polisi.  Perilaku egois jauh lebih dominan dalam hal ini.

Satu, egois paling tinggi, bagaimana mereka bersuka cita untuk memperoleh 72 bidadari, namun menelantarkan anak dan istri. Belum terdengar bagaimana pelaku teror itu perempuan, apakah juga akan mendapatkan 72 lawan jenis yang sepadan? Atau penggede teroris menggunakan nama dan iming-iming yang berbeda. Beberapa pelaku teror yang telah tewas memiliki istri lebih dari satu, dan beberapa anak, bagaimana mereka hidup di kemudian hari, sedang bapaknya sedang berbahagia di surga sendiri dengan emak tiri mereka?

Dua, penggede hanya meminta, tanpa pernah mau mencoba. Lihat bagaimana Noordin M. Top menyuap polantas yang menangkapnya, artinya ditangkap polisi saja takut, apalagi mati. Toh matinya pun diberondong polisi bukan karena mati seperti yang ia doktrinkan kepada anak buahnya.  Belum lagi yang teroris dalam negeri yang ngacir entah ke mana, sedang anak buahnya mati sia-sia, terbakar bom sendiri, ditembak polisi, masuk waduk, dan tidak membawa korban sama sekali yang disasar.

Tiga, egois karena klaim sepihak, bagaimana tidak ini masjid pun dinodai dengan darah. Hanya karena dendam temannya ditangkap polisi, mengapa tidak dendam kepada jaksa yang menuntut rekannya, hakim yang memenjarakan mereka, atau sipir yang mengekang mereka? Atau mereka tidak paham? Polisi menangkap sedang proses selanjutnya, toh jaksa bisa mengatakan tidak cukup bukti, hakim membebaskan mereka, kalau cerdas sedikit saja, mereka juga harusnya dendam kepada mereka semua, atau DPR yang membuat UU sekalian.

Empat,  memakai agama, ungkapan suci, meneriakkan nama Tuhan, namun membunuh, menyakiti, melukai, dan menodai tempat suci. Mana ada orang waras, normal, tidak egois melakukan hal tersebut, tidak kenal lagi. Coba mana ada orang masuk rumah ibadah dengan penuh amarah dan kebencian, namun merasa masuk surga duluan lagi, hanya orang egois.

Lima, merasa paling benar. Jelas ciri orang egois, bagaimana tidak, orang tidak bersalah, orang beribadah, eh malah dibunuh. Dulu dibom, kelihatannya ini mulai kere maka main tusuk dan hanya pisau yang harganya murah. Bagaimana bisa orang waras menyamaratakan semua polisi itu yang menangkap, menembak, atau memenjarakan rekan mereka.  Jelas katagori orang gemblung yang berbuat demikian.

Enam. Hanya orang egois yang mau mati konyol. Pikir saja jika nalar, bagaimana mereka sesakti apapun, kera sakti saja tidak akan berani memasuki markas polisi, hanya modal pisau lagi, dulu yang di Solo masih lumayan, melengkapi diri dengan bom meskipun sama saja mati konyol. Apalagi dua terakhir ini  modal pisau, di antara bedil yang siap tembak, artinya mati konyol.

Teror itu pada hakikatnya menciptakan ketakutan. Bagaimana kalau pelaku tolol dan egois begitu, mana bisa memberikan efek berlebihan. Selama ini, terutama periode lalu, ketakutan itu justru diciptakan oleh pejabat yang memang penakut. Dengan cara mengulang-ulang kisah yang sama. Hal ini secara tidak langsung membuat orang takut, khawatir, dan cemas, padahal tidak ada apa-apa.

Dua, polisi yang ketakutan. Bagaimana tidak diinstruksikan polisi tidak boleh sendirian di jalanan, pos polisi diberi terali, atau polisi berangkat saling menjemput biar tidak sendirian. Ini polisi atau anak sekolah dasar? Boleh instruksi macam apapun, toh polisi juga manusia, namun perintah itu harus melalui  saluran dalam, tidak perlu ketakutan itu dijual di depan hidung pelaku teror. Mereka merajalela karena polisinya ketakutan.

Tiga, pola perilaku yang ditunjukkan mengindikasikan mereka mulai kerepotan dana dan pengadaan peledak. Maka apapun dilakukan, hingga manual seperti era berburu pun dilakukan. Sangat tidak masuk akal zaman seperti ini masih menusuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun