Bagi seorang mahasiswa yang avaliable banget dengan tugas-tugas dari dosen, mungkin mengerjakan revisi makalah adalah suatu kegembiraan dalam wujud yang lain. Tapi tidak bagi mahasiswa yang rasa malasnya tingkat akut seperti saya, yang walau sejauh pengamatan saya, hal tersebut juga berlaku bagi mahasiswa pada umumnya.
Betapa tidak, makalah yang diselesaikan dalam malam yang berlarut-larut, dengan kopi yang bercangkir-cangkir, dengan rokok yang berbungkus-bungkus. Harus berakhir di meja dosen yang tidak sampai 2-3 menit itu setelah dipresentasikan dengan kalimat penutup "Revisi!".
"Oh nooo karaeng."
Yang bagi saya, bisa jadi penrevisian yang disuruhkan dosen itu, hanyalah keputusan politis dari tugas yang diemban semata, kalaupun harus direvisi kenapa tidak sebelum dikerjakan makalah nggak usah di print apalagi dijilid toh nanti setelah dipresentasikan mau juga diperbaiki, biar di dashbord word aja langsung diperbaiki dan setelah dipresentasikan makalahnya pun sempurna, namuuun dosen malah lebih marah jika jadwal mengerjakan makalah tidak mengikutsertakan hardcopynya.
"Mulai merasakan betapa sebalnya kan?"
Dan adakah jaminan jika makalah yang sudah direvisi, itu diperiksa baik-baik oleh dosen? nggak ada kan? Padahal jika ada yang telah merevisi berarti ada juga yang harus menilai. Walau bisa jadi dosen juga mengelak "Tugasmu kan hanya merevisi, dan yang saya nilai adalah usahamu untuk merevisi." jika yang dinilai adalah usaha, kenapa harus usaha revisi saja, kenapa tidak dengan mengerjakannya adalah juga bagian dari usaha.
Dosen kadang terlalu filosofis memaknai makalah revisi, tapi tidak dengan memberi nilai, dan mirisnya fenomena seperti itu masih saja berlaku dari angkatan ke angkatan di dunia kampus.
Andai pak dosen - pak dosen ingat sebab mereka tidak mungkin lupa, bahwa dengan merevisi makalah, berarti menambah penggunaan kertas, menambah penggunaan kertas berarti menambah jumlah pohon yang tertebang, sebab setiap 15 rim kertas ukuran A4 membuthkan bahan baku dari 1 pohon besar.Â
Bayangkan jika ratusan juta mahasiswa menggunakan paling tidak 10 lembar kertas dalam 1 hari, diperlukan penebangan ratusan pohon di hutan, zaman sekarang sudah banyak hutan yang terbakar maka jangan menguranginya lagi dengan harus mengumpul makalah revisi.
Dan sayangnya jika mahasiswa membela diri seperti itu, maka bukan jawaban analisa ilmiah yang mahasiswa dapatkan, akan tetapi hanya sebuah argumentasi yang tak memakai footnote "Memilih menjadi mahasiswa, berarti anda harus patuh pada tugas yang diberikan begitupun dengan merevisi makalah."
Oalah ya pak dosen, harus anda ketahui bahwa memilih menjadi mahasiswa, berarti memilih menjadi akademisi yang terpelajar dan direalisasikan dengan aksi nyata yang berdasar pada prinsip-prinsip ilmiah, jika nyatanya dengan merevisi makalah hanya akan menambah penggunaan kertas dan penebangan pohon, bukankah yang mahasiswa lakukan tidak jauh beda dan sedikit persis dengan orang-orang yang merusak lingkungan, katanya mahasiswa agen perubahan kok perubahannya mengarah pada hal yang non kontrukstif.
Sebagaimana yang telah saya alami. Saya kuliah di salah satu kampus pascasarjana swasta di Makassar, saya baru-baru ini telah selesai ujian final, dan nyatanya di akhir semua soal ujian yang diberikan selalu ada kata mutiara yang nda terlalu mutiara amat di akhir lembarannya yang bertuliskan "Sertakan makalah revisi dengan lembar jawaban yang dikumpul.", saya hanya bisa mengelus dada dan pasrah akan semuanya, layaknya ditinggal kekasih tanpa suatu alasan yang berarti.