Di tahun 2020 ini, rasanya semakin banyak duka yang membuat wajah pendidikan kita berdarah. Darah-darah ini terus mengalir deras karena yang melukainya adalah pembuluh nadi pendidikan itu sendiri, yaitu guru.
Ya, profesi guru seakan melakukan tindakan bunuh diri secara berjamaah akibat kasus yang mencabik-cabik wajah pendidikan kita. Mulai dari kasus guru yang memukuli siswa, guru yang ceroboh dan membahayakan keselamatan siswa, hingga guru yang memperkosa siswanya.
Jika kita hubungan kasus-kasus ini dengan program Merdeka Belajar ala Mas Nadiem, agaknya sangat bersebrangan. Kenyataannya, sekolah semakin mudah menjadi lahan perundungan, dan guru semakin "Merdeka" mengikuti hawa nafsunya.
Ujung-ujungnya, yang salah sudah pasti guru. Di mana keteladanan guru, di mana bukti dan buah dari kompetensi guru, dan di mana pula guru-guru yang profesional berada.
Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan ini sangat mudah dijawab:
"Tidak semua guru demikian. Masih banyak guru teladan di luar sana. Masih banyak guru profesional di samping kita. Masih banyak guru yang berkompeten sejauh mata ini memandang."
Meski demikian mudahnya menjawab, tetap saja kredibilitas dari jawaban ini dipertanyakan. Lagi-lagi baik sesama guru maupun publik tidak bisa membela guru sepenuhnya karena kenyataan hari ini memang penuh dengan ketimpangan.
Kesimpulan awal dari ketimpangan-ketimpangan ini seakan menegaskan kita bahwa Indonesia sedang darurat guru teladan. Lalu, apakah semua gara-gara guru?
Agaknya pemerintah juga menjadi sosok yang tersalah di sini. Bukan hanya Kemendikbud, melainkan juga pemerintah secara berjamaah, baik dari pusat hinggalah ke daerah.
Kesalahan Berjamaah Pemerintah
Lagi, jika kita kembali melihat kasus-kasus guru amoral yang terjadi hari ini, agaknya mereka hanya kurang hal-hal yang mendasar yaitu 4 kompetensi guru. Mulai dari kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional semuanya mesti melengkapi.