Jakarta merupakan kota percontohan bagi daerah-daerah lainnya di Indonesia. Apapun yang terjadi di Jakarta, akan ditiru oleh daerah lainnya. Maka jangan heran bila ada informasi apapun di Jakarta, tak butuh waktu lama langsung meng-Indonesia. Termasuk informasi hal ihwal Pilkada.
Oleh karenanya, menjelang putaran ke-2 Pilkada DKI Jakarta, masyarakat diharapkan memilih sosok pemimpin yang dapat menata Jakarta, bukan hanya berteriak kerja, tapi kerjaannya menggusur rakyat jelata, tanpa memberikan solusi, termasuk memikirkan bagaimana mata pencaharian mereka.
Pemimpin kalau hanya bisa membangun, siapapun bisa membangun. Temasuk membangun dan menyulap Kalijodo, misalnya. Tapi apakah setelah menggenjot pembangunan, lantas pemimpin tersebut dapat dikategorikan sebagai pemimpin yang telah bekerja? Tanpa memperhatikan aspek lainnya?.
Lalu, jika sang petahana selama ini selalu mendengungkan adagium “kerja, kerja, dan kerja.” Serta yang selalu dijadikan andalan hanya Kalijodo yang disulap menjadi RTPA, sementara kesenjangan dan ketimpangan sosial semakin meraja lela Apakah hal itu pantas disebut sebagai gubernur yang sukses bekerja?
Sebentar dulu. Silahkan lihat kesenjangan dan ketimpangan ekonomi maupun sosial yang terjadi di Jakarta. Data Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, bahwa kesenjangan ekonomi Jakarta sejak 2012 sampai 2015 naik dari 0, 42 % menjadi 0, 43 %. Sementara kesenjangan sosial menurut BPS naik menjadi 0, 46 %. Ini fakta yang terjadi di Jakarta, jika tidak percaya, silahkan baca sumbernya di sini.
Ini baru hal ihwal kesenjangan sosial, belum lagi terkait kegaduhan-kegaduhan yang akhir-akhir ini marak terjadi. Bisa dirasakan sendiri, betapa dahsyatnya kegaduhan yang terjadi di Jakarta. Hanya di rezim sang petahana terjadi demo hingga berjilid-jilid. Sebelumnya tidak pernah terjadi. Siapapun dan kelompok manapun yang kontra sang petahana, maka bersiaplah ia akan dimusuhi selama-lamanya.
Berdasarkan fakta dan fenomena yang telah terjadi, pasangan Anies-Sandi menawarkan solusi. Sebuah solusi yang bukan hanya membangun Jakarta, tapi juga menata manusianya. Sangat sejalan dengan jargonnya yakni “Maju Kotanya, Bahagia Warganya.”
Di saat situasi kesenjangan dan ketimpangan sosial maupun ekonomi semakin tinggi, penggusuran bukan lah solusinya. Tapi, ditata dan dibina manusianya. Diutamakan keberpihakannya. Dengan begitu, kesenjangan dan ketimpangan perlahan akan semakin menyempit.
Benar bahwa penggusuran memindahkan manusia dari tempat yang tidak layak ke tempat yang lebih layak. Tapi yang lebih benar adalah “Penggusuran hanya memindahkan kemiskinan dari satu tempat ke tempat yang lain.”