Jakarta, CNN Indonesia -- Kondisi politik di era pemerintahan Joko Widodo membuka peluang tumbuhnya bisnis penyebaran kebencian di dunia maya. Bisnis yang dikenal dengan istilah e-hate ini bukanlah barang baru.
Pelaku bisnis e-hate mengeruk keuntungan dengan cara memprovokasi lewat berita-berita bohong (hoax) yang secara terus menerus diproduksi sesuai pesanan. Mereka menyebarkan konten-konten yang menyudutkan suku, agama, ras, atau pandangan politik yang berlawanan dengan si pemesan.
Indonesia, menjadi sasaran empuk pelaku-pelaku bisnis kebencian yang memiliki daya rusak sangat besar untuk persatuan negara.
Di Indonesia, bisnis kebencian mulai nyata. Pelakunya, sindikat Saracen.
Polisi menangkap tiga orang pengelola Saracen. Lewat media sosial, seperti Facebook, dan twitter Saracen menyebarkan konten berisi ujaran kebencian. Bahkan, Saracen mengelola situs berita khusus untuk memuaskan pemesan.
Kepolisian membenarkan, konten bermuatan SARA yang disebarkan sindikat Saracen merupakan pesanan dari pihak tertentu. Mereka tarif puluhan juta untuk setiap konten yang mereka produksi dan sebarkan.
Tak tanggung-tanggung, Saracen memiliki ratusan ribu akun media sosial yang siap menggerakan konten-konten provokasi itu, sehingga berseliweran di jagat maya.
Menurut pengamat media sosial Nukman Luthfie menyebut maraknya bisnis kebencian itu, tidak bisa dilepaskan dari panasnya situasi politik di Indonesia.
Nukman berpendapat selalu ada pihak yang tidak suka kepada pihak lain, bisa pemerintah, partai politik, tokoh politik, agama, hingga suku tertentu.
"Pasar itu ada, kemudian diisi oleh orang-orang yang berani supply konten-konten yang dipesan sama mereka," kata Nukman saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (24/8).
Menurut Nukman para pembuat konten ujaran kebencian itu paham betul adanya peluang di pasar tersebut.