Mohon tunggu...
nur asiah
nur asiah Mohon Tunggu...

aku adalah aku, aku bukan kamu, bukan dia, bukan juga mereka. ya inilah aku.

Selanjutnya

Tutup

Money

cara pengelolaan zakat

1 Mei 2013   10:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:19 10521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar belakang masalah

Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki  keanekaragaman suku, budaya, bahasa, dan agama. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Indoensia bukanlah negara berdasarkan agama tertentu. Walaupun demikian, negara ikut terlibat mengatur urusan umat Islam dan menjadikan ajarannya menjadi komponen penting dalam peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah urusan zakat dengan amandemen Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Perlukah negara mengambil alih pengelolaan zakat? Dalam pertanyaan yang lebih “lunak” seberapa jauh harusnya negara berperan dalam pengelolaan zakat?

Masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim sekarang mulai sadar akan zakat, oleh sebab itu negara harus benar-enar melaksanakan isi UU zakat agar para muzakki tidak ragu pada pemerintah. Pemerintah harus memberikan bukti nyata dari hasail para mustahik dalam berzakat, agar bisa menarik para calon muzakki-muzakki baru untuk menngeluarkan zakat,jadi UU zakat yang baru tidak hanya menjadi slogan.

B.Rumusan masalah

1.UU zakat no.23 tahun 2011

2.Potensi zakat di indonesia

3.Kebijakan nasional tentang pengelolaan zis

4.Lembaga pengelolaan zis di indonesia

5.Kendala pengelolaan zakat di Indonesia

6.Bidang – bidang pengelolaan zakat

7.Contoh – contoh pengelolaan zakat

BAB II

PEMBAHASAN

A.UU Zakat no.23 thn 2011

1.Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.

2.Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.

3.Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.

4.Sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.

Sampai sekarang persoalan zakat belum selesai walaupun telah disahkan undang-undang baru yaitu UU nomor 23 tahun 2011. Dianggap belum selesai karena, meskipun telah lahir undang-undang baru, tetap saja kesadaran membayar zakat di kalangan kaum aghniya’ yang seharusnya menjadi muzakki masih belum berimbang dengan mustahiq-nya.

Setelah disahkannya undang-undang no. 23 tahun 2011 ternyata belum dapat menjawab ekspektasi publik tentang meningkatnya kesejahteraan kaum fuqara’ dan masakin. Padahal, pada saat pengesahan sebagian anggota DPR menyatakan optimisme-nya akan meningkatnya kesejahteraan rakyat miskin. Undang-undang ini meskipun sebagai pengganti uu nomer 38 tahun 1999, sifatnya masih sama yaitu undang-undang tentang pengelolaan zakat. Artinya, undang-undang ini mengatur “sebatas” pengelolaan zakat dan konsekuensinya dan belum mengatur pada ranah pembangkangan terhadap zakat. Karena “hanya” mengatur pengelolaan zakat maka bila ada orang yang enggan membayar zakat maka tidak ada sanksi apapun.

Apabila zakat dibiarkan menggelinding dengan konsep ma-syi’tum (semaumu), artinya zakat tidak ada yang mengurusi secara sungguh-sungguh dan sebenarnya, sementara orang-orang kaya dibiarkan apakah mau berzakat atau tidak, maka selamanya zakat tidak akan pernah mampu menjawab problematika yang dihadapi kaum papa. Zakat akan menjadi sebuah slogan kosong yang tidak ada artinya.

Berbicara mengenai peran dan tanggung jawab pemerintah tentang pelaksanaan zakat ada baiknya kita menengok kepada sejarah pelaksaan zakat di masa Rasul. Ketika Rasul mengutus Mu’adz bin Jabal menjadi Qadli di Yaman, Rasul memberikan wejangan kepadanya supaya menyampaikan kepada ahli kitab beberapa hal termasuk supaya menyampaikan kewajiban zakat dengan ucapan :

فأعلمهم ان الله افترض عليهم صدقة تؤخذ من اغنيائهم فترد فى فقرائهم

“sampaikan bahwa Allah telah mewajibkan zakat kepada harta benda meraka, yang dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka….” (HR. Bukhari)

Kemudian juga hadits yang meriwayatkan bagaimana tindakan Abu Bakar dalam persoalan zakat sebagaimana hadits berikut :

والله لأقاتلن من فرق بين الزكاة والصلاة وان الزكاة حق المال

“…..Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan shalat dan zakat. Zakat itu kewajiban (pemilik) harta….”(HR. Tirmidzi dan Nasa’i)

Berdasarkan dua hadits tersebut di atas dapat diambil pengertian,

·Pertamabahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap pensuksesan program zakat. Baik Rasulullah (ketika mengutus Mu’adz menjadi qadhi di Yaman) maupun Abu Bakar saat menggantikan Rasulullah menjadi khalifah, sama-sama memiliki komitmen yang tinggi terhadap persoalan zakat. Bahkan Abu Bakar bersumpah akan memerangi orang-orang yang mengingkari zakat.

·Kedua, pemerintah dengan kewenangannya dapat menjadi kekuatan penekan. Pemerintah juga dapat memaksakan kehendak terhadap pensuksesan program zakat kepada siapa saja. Hal ini dicontohkan Abu Bakar yang akan memerangi para pengingkar zakat sebagaimana tersebut diatas. Dengan melakukan fungsi ini, maka pemerintah telah ikut tanggung jawab penuh atas zakat.

Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Sehingga sangatlah wajar apabila zakat disosialisasikan dan dikembangkan dengan baik di kalangan umat Islam. Dalam proses ini pemerintah dapat memerankan diri sebagaimana yang diperankan Mu’adz dan Abu Bakar. Barangkali yang sedikit membedakan adalah perangkat hukum yang diperlukan dalam pelaksanaan zakat. Pada zaman Rasul dan Abu Bakar perangkat hukumnya adalah Al-Qur’an. Sedangkan pada zaman sekarang diperlukan perangkat hukum lain yang dapat dijadikan pijakan bertindak. Perangkat hukum lain itu adalah undang-undang tentang zakat yang berisi tidak saja berupa kewajiban pelaksanaannya, tetapi juga konsekuensi hukumnya apabila meninggalkannya.

Ada tiga alternatif yang bisa diperankan oleh pemerintah dalam kaitannya dengan zakat ini yaitu :

1.Pertama, pemerintah dapat memerankan diri secara penuh antara sebagai penanggung jawab, pelaksana atau pengelola, dan sekaligus menjadi kekuatan penekan.

2.Kedua, pemerintah hanya menjadi kekuatan penekan sedangkan yang lainnya diserahkan kepada lembaga swasta.. Atau,

3.ketiga, antara pemerintah dan swasta dalam posisi yang sama. Hanya dibedakan dalam pengambilan tindakan hukum, pemerintah dalam posisi sebagai penindak dan pemberi sanksi kepada pengingkar zakat, sementara lembaga swasta zakat melaporkannya kepada pemerintah.

Satu hal yang sangat urgen adalah lahirnya undang-undang yang sangat serius memperhatikan kepentingan zakat yang sebenarnya. Karena namanya “Undang-undang Pengelolaan Zakat”, maka undang-undang nomor 23 tahun 2011 hanya sebatas pada aturan pengelolaan zakat. Undang – undang ini tidak mampu menghadapi persoalan pembangkangan terhadap zakat. Dalam undang-undang ini pula pemerintah bukan merupakan kekuatan penekan untuk mensukseskan zakat, pemerintah lebih bersifat sebagai pelindung, pembina, dan pelayan. Maka kedepan diharapkan ada undang-undang yang lebih tegas dan berani, yang tidak saja mengurus pengelolaan, tetapi juga mengarah kepada pengambilan tindakan hukum bila ada pembangkangan.

Hal lain yang masih harus diperhatikan adalah, apabila zakat dibiarkan menggelinding dengan konsep ma-syi’tum (semaumu), artinya zakat tidak ada yang mengurusi secara sungguh-sungguh dan sebenarnya, sementara orang-orang kaya dibiarkan apakah mau berzakat atau tidak, maka selamanya zakat tidak akan pernah mampu menjawab problematika yang dihadapi kaum papa. Zakat akan menjadi sebuah slogan kosong yang tidak ada artinya. [Kalau sudah begini, pemerintah dengan kekuasaannya sesungguhnya mempunyai tanggung jawab terhadap persoalan zakat dan implementasinya].

B.Potensi zakat di indonesia

Potensi zakat di Indonesia menurut Menteri Agama Said Aqiel Munawar per tahunnya mencapai Rp. 7,5 triliun. Sementara hasil survei yang dilakukan PIRAC (public interest Research and Advocacy Center) mengenai Pola dan Kecenderungan Masyarakat Berzakat di 11 kota besar menyebutkan bahwa nilai zakat yang dibayarkan para muzakki berkisar antara Rp. 124.200/tahun. Sedangkan nilai zakat yang dibayarkan berkisar antara Rp. 44.000 sampai Rp. 339.000 per tahun. Dari data tersebut PIRAC memperkirakan jumlah dana ZIS yang tergalang di Indonesia berjumlah sekitar Rp. 4 triliun.

Besarnya potensi dana ZIS ini dikarenakan ajaran agama menjadi motivasi utama masyarakat untuk berderma. Hal ini tercermin dari salah satu hasil survei “Potensi dan Perilaku Masyarakat dalam Menyumbang” yang dilakukan PIRAC di 11 kota besar di Indonesia. Salah satu temuan menarik dari survei yang melibatkan 2.500 orang responden tersebut adalah dominannya peran ajaran agama dalam mempengaruhi seseorang untuk menyumbang. Hampir seluruh responden (99%) mengaku menyumbang karena dorongan ajaran agama. Kegiatan keagamaan juga mendapatkan porsi sumbangan yang cukup besar karena sebagian besar dari responden (84%) mengaku pernah menyumbang untuk organisasi keagamaan atau kegiatan keagamaan.

Hanya sebagian kecil saja (16%) yang mengaku dalam setahun terakhir ini tidak pernah menyumbang oraganisasi atau kegiatan keagamaan. Sedangkan rata-rata jumlah sumbangan untuk organisasi atau kegiatan kegamaan pun relatif besar yaitu mencapai Rp. 304.679 per tahun atau setara  dengan US$ 34 (jika 1 US$ = Rp. 10.000,-). Potensi ini akan bisa diaktualkan manakala langkah-langkah dan upaya sistematis dilakukan dengan amanah, profesional dan penuh tanggungjawab. Langkah-langkah tersebut antara lain mencakup: Sosialisasi, kelembagaan dan pendayagunaan.

C.Kebijakan nasional tentang pengelolaan zis

Dalam penghimpunan zakat, ada perbedaan metode yang berkembang di Indonesia dan Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Di negeri-negeri jiran ini, penghimpunan cenderung terkoordinasi dan terarah. Tampak sekali pertumbuhannya dari masa ke masa. Singapura dan Brunei Darussalam tampaknya punya model serupa, sama-sama terkoordinasi di bawah majelis agama Islam. Sedang Malaysia punya dua corak berbeda. Ada yang menggunakan PPZ khusus untuk menghimpun zakat saja dan ada juga yang menggunakan BM (Baitul Maal) guna menghimpun sekaligus mendayagunakan.

Sebaliknya, di Indonesia peran negara dalam pengelolaan zakat cenderung bersifat tarik ulur. Tidak hanya dalam pengelolaan zakat. Kebijakan kesejahteraan sosial secara umum juga bersifat demikian. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tahun 1999 ia membubarkan dua departemen yaitu Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen). Guru Besar FISIP UI, Alwi Dahlan , menyebutkan bahwa untuk pertama kali sepanjang sejarah Republik Indonesia, dua dari 12 departemen yang sejak awal tercantum dalam Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945, tidak lagi terdapat dalam struktur pemerintahan.

Berdasarkan pasal 29 ayat 1 dan 2, pengumpulan dan penyaluran zakat harus dikembalikan kepada setiap orang dan setiap orang memiliki kebebasan untuk melakukan pengumpulan dan penyaluran zakat atas dasar keyakinan ibadahnya. Hal ini yang antara lain mendasari UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat di mana pemerintah mengelola zakat melalui Badan Amil Zakat (Pasal 6), namun juga membuka ruang bagi masyarakat untuk turut mengelola zakat melalui Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Francis Fukuyama (2005) dalam bukunya State-Building : Governance and World Order in the 21st Century, menunjukkan bahwa pengurangan peran negara dalam hal-hal yang memang merupakan fungsinya hanya akan menimbulkan problematika baru. Bukan hanya memperparah kemiskinan dan kesenjangan sosial, melainkan pula menyulut konflik sosial dan perang sipil yang meminta korban jutaan jiwa. Artinya Fukuyama mengatakan bahwa negara harus diperkuat. Kesejahteraan menurut Fukuyama tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang kuat, yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan warganya.

Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat signifikan dalam konteks kebijakan sosial. Negara adalah institusi yang paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan karenanya paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Benar negara bukanlah satu-satunya aktor yang dapat menyelenggarakan pelayanan sosial. Masyarakat, dunia usaha dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial. Namun, sebagai salah satu bentuk kebijakan sosial dan public goods, pelayanan sosial tidak dapat dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak swasta. Oleh karena itu, dalam konteks kebijakan sosial yang berkeadilan, peran negara dan masyarakat tidak dalam posisi yang paradoksal melainkan dua posisi yang bersinergi. Bahkan di Indonesia komitmen dan peran negara dalam pelayanan sosial seharusnya diperkuat dan bukannya diperlemah seperti diusulkan kaum neoliberalisme pemuja pasar bebas .

Pendapat Francis Fukuyuma (sebagaimana dikutip oleh Edi Suharto) menyiratkan bahwa peran negara dalam kesejahteraan sosial, termasuk dalam pengelolaan zakat memang harus dominan. Hal ini ditunjang pula oleh kenyataan sejarah dari Sirah Nabawiyah dan kepemimpinan para khalifah yang memang mengelola langsung zakat dari masyarakat. Permasalahan kemudian adalah, Indonesia bukanlah negara Islam kendati penduduknya mayoritas muslim yang bahkan berjumlah terbesar di dunia. Dasar negara Indonesia juga bukanlah Islam kendati pemerintahannya mayoritas dipimpin oleh umat Islam. Dalam kondisi seperti ini apakah hukumnya wajib menyerahkan pengelolaan zakat sepenuhnya kepada penguasa / negara? Muhammad Rasyid Ridha menafsirkan  bahwa ketika pemerintahannya adalah pemerintahan Islam dan pemimpin-pemimpinnya adalah pemimpin muslim yang amanah maka pengelolaan zakat sepenuhnya berada di tangan negara. Namun ketika pemerintahannya bukan pemerintahan Islam kendati pemimpin-pemimpinnya muslim maka ketentuan tersebut tidak berlaku secara otomatis.

D.Lembaga pengelolaan ZIS di Indonesia

Semua ulama sepakat bahwa keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan zakat merupakan suatu kewajiban ketatanegaraan. Yusuf qardawi mengemukakan sebab – sebab kewajiban pemerintah untuk mengelola zakat, antara lain:

a.Jaminan terlaksananya syari’at, karena banyak yang mangkir jika tidak di awasi

b.Pemerataan,

c.Memelihara muka para mustahiqqin

d.Sektor zakat tidak terbatas pada individu, tp juga umum dan ini hanya ditangani pemerintah.

Abu Bakar selaku kepala negara melakukan paksaan terhadap mereka yang tidak mau membayar zakatnya dan terhadap mereka yang tidak mau mengirimkan zakat yang telah terkumpul, meskipun dibagi-bagikan diantara mereka sendiri. Pemerintah wajib mengadakan suatu badan yang dinamakan “Amalah” yang bertugas untuk mengurusi zakat.

Pemerintah negara Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila itu adalah pemerintah negara islami yang berarti berhak dan bahkan wajib mengelola zakat, sebagaimana negara islam lainnya. Lebih-lebih dengan mengingat ketentuan pasal 29 UUD 1945 yang berarti pemerintah punya tugas kewajiban untuk memberi bimbingan sesuai dengan ajaran agama masing-masing, pasal 27 dan pasal 34 UUD 1945 mengamanatkan pemerintah untuk bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat terutama bagi golongan fakir miskin, kaum pengangguran, dan kaum gelandangan, yang menjadi sasaran utama bagi pendayagunaan zakat.

Contoh dari lembaga-lembaga zakat yang di tunjuk oleh pemerintah di Indonesia ialah seperti ;

Ø Dompet Dhuafa Republika

Ø Rumah Zakat

Ø Bina Insan Prestasi

Ø Portal Infaq

Ø Baitul Maal Hidayatullah

Ø Baitulmaal Muamalat

Ø Pos Keadilan Peduli Umat

Ø Dan lain-lain.

E.Kendala pengelolaan zakat di indonesia

F.Bidang-bidang pengelolaan zakat

Bidang Pendidikan, dana zis diarahkan dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui kemudahan akses pendidikan, pembinaan yang terpadu dan pengembangan potensi anak baik di dalam ataupun di luar ruang sehingga membentuk SDM yang mandiri dan berkualitas. Contoh program pengelolaan zis adalah sekolah gratis bagi yatim piatu dan dhuafa, pemberian beasiswa asuh untuk kaum dhuafa, pengembangan potensi anak dan remaja, dll.

Bidang Kesehatan, dana zis diarahkan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat terutama kepada kesehatan ibu dan anak. Diantara program yang dilakukan adalah pemberian makanan tambahan gratis dan bergizi, khitanan massal, penanggulangan bencana, search and rescue, dll.

Bidang pengembangan ekonomi umat, dana zis diarahkan memberikan program pemberdayaan masyarakat miskin di bidang ekonomi sehingga tercipta kemandirian dan peningkatan kesejahteraan. Salah satu contohnya pemberian Program Pemberdayaan dan Pendampingan Usaha, pendampingan usaha lokal dengan pengembangan usaha mikro kecil dan menengah, dll.

Bidang pengembangan pemuda, dana zis diarahkan memberikan program peningkatan peran pemuda melalui pengembangan karakter, pengetahuan dan keahlian. Program : pengembangan dan peningkatan kapasitas pemuda, mengenali potensi diri, motivasi, kewirausahaan, keahlian khusus, pembinaan akhlak, dll.

G.Contoh-contoh pengelolaan zakat

Zakat = hak mutlak Mustahiq (Qs 9:60)

انماالصدقا ت للفقراء والمساكينوالعا ملين عليها والمؤلفت قلو بهم وفيالرقا ب والغارمين وفي سبيل الله وابنالسبيل فريضة من الله والله عليم حكيم

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.


  1. Orang yang bekerja à tidak memenuhi kebutuhan hidup, diberi modal usaha dan peralatan bekerja , didampingi, diawasi dan dibina oleh Amil
  2. Orang yang tidak mampu bekerja (fisik, usia), diberi zakat konsumtif atau modal yang diusahakan oleh orang/lembaga lain (dengan sistem Syirkah)
  3. BAZ/LAZ à mendirikan kegiatan usaha. Contoh : Pabrik, dimana pekerjanya dan kepemilikan sahamnya adalah para mustahiq
  4. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan
  5. Untuk meningkatkan kualitas kesehatan
  6. Untuk meningkatkan kualitas da’wah, dll

Catatan :

Perlu dilakukan sinergi/ta’awun antar badan/lembaga zakat, terutama dalam praktek pendistribusian /pemanfaatan zakat dan bekerjasama dengan lembaga keuangan syari’ah

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

1.undang-undang ini mengatur “sebatas” pengelolaan zakat dan konsekuensinya dan belum mengatur pada ranah pembangkangan terhadap zakat. Karena “hanya” mengatur pengelolaan zakat maka bila ada orang yang enggan membayar zakat maka tidak ada sanksi apapun.

2.Negara adalah institusi yang paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan karenanya paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya

3.Semua ulama sepakat bahwa keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan zakat merupakan suatu kewajiban ketatanegaraan

4.Bidang – bidang pengelolaan zakat didistribusikan antara lain untukbidang kesehatan, pendidikan, pengembangan ekonomi umat, bidang pengembangan pemuda.

5.Dalam pengelolaan zakat harus ada kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan lembaga zakat, agar terwujud pengelolaan yang baik

DAFTAR PUSTAKA

Abidah, Atik, Zakat Filantropi Dalam Islam, Ponorogo: Stain Po Press, 2011

Ash-Shiddieqy, Hasby, Pedoman Zakat  Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Al Qardhawi, Yusuf, Fiqhuz-zakah Bairut: Darul-Irsyad,/t.th./

Daud Ali, Muhammad, “system Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf” Jakarta :

Universitas Indonesia Press, 1988

Hadi Permono, Sjechul, “Formula Zakat Menuju Kesejahteraan Sosial” Surabaya:

CV. Aulia. T.th

Hadi Permono, Sjechul, “Pemerintah RI sebagai Pengelola Zakat, Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1992

Hafiduddin, Didin, “Zakat Dalam Perekonomian Modern”,  Jakarta: Gema Insani

Press, 2002

Muhammad, Sahri, “Pengembangan Zakat dan Infaq dalam Upaya meningkatkan

Kesejahteraan Masyarakat” Malang : Yayasan Pusat Study Avicenna, 1982

Syaraf an-Nawawi, bn Muhyiddin, “al-Majmu”, op.cit.,VI, P.229

Terjemahan buku tersebut “problematika kemiskinan, apa konsep islam” oleh

Umar Fanany,  Surabaya: Bina Ilmu, tt

Q.s At-Taubah: 60, hal.197

http://www.imz.or.id/new/publication/45

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun