Berbagai macam orang mengekspresikan nuansa lebaran hari raya Idul Fitri di hari kedua, ketiga, dan seterusnya sampai masa liburan usai sebelum kembali ke tempat tinggal masing-masing. Mereka banyak memburu tempat-tempat wisata dan memadati pusat-pusat kuliner. Sehingga suasana seperti itu sudah sangat tentu membuat jalanan macet. Bukan jalan protokol saja yang macet tetapi jalan-jalan tikus yang melalui kampung-kampung hingga jalan-jalan sempit pun tak luput dari kemacetan. Hal ini membuka peluang bagi pak ogah-pak ogah turun ke jalanan untuk sekedar ikut mentertibkan kendaraan agar tidak terjadi macet total.Â
Selain itu, menjadikan peluang untuk menambah isi kantong mereka dengan uang tips-tips yang diberikan oleh para pengendara. Pengendara yang umumnya para pemudik yang belum paham jalan-jalan tikus tersebut.Â
Tempat-tempat wisata menjadi tujuan para pemudik setelah hari pertama bersilaturahmi dalam suasana Idul fitri. Mereka memanfaatkan pertemuan dengan saudara-saudaranya dari kota yang jarang bertemu untuk menikmati wisata yang ada di daerahnya masing-masing. Hal ini terlihat dari setiap stasiun televisi yang selalu menginformasikan info terkini dalam suasana lebaran maupun dari pantauan perjalanan langsung yang dialami. Dimana-mana macet total.Â
Di wilayah kampung sekalipun yang biasanya lengang, dalam suasana seperti ini tidak luput dari kemacetan. Hal ini disebabkan oleh kendaraan para pemudik yang diparkir di bahu kiri kanan jalan dan keluarga mereka tidak memiliki sarana garasi mobil. Sedangkan satu rumah ada yang sanak saudaranya datang dari kota membawa kendaraan rota empat lebih dari dua mobil. Akhirnya di jalan raya kampung-kampung atau desalah menjadi sarana memarkir mobil tersebut.Â
Hal itu yang menyebabkan kemacetan di kampung-kampung, sehingga jalanan yang tersisa hanya cukup untuk dilewati satu mobil saja. Jika ada kendaraan roda empat yang berlawanan arah melaju mengakibatkan kemacetan dan harus sabar menunggu melewati jalan secara bergantian. Kondisi seperti ini butuh kesabaran dan kesadaran dari para pengemudi untuk saling bergantian karena tidak ada aparat pemerintah yang mengatur ketertiban dan kelancaran di jalan kampung/desa. Jikalau adapun hanya sukarelawan2 yang mau turun ke jalan.
Begitu pula laju kendaraan roda empat di jalan raya protokol hanya bisa merayap seperti semut beriring. Jalan-jalan yang menuju tempat wisata sangat padat. Sepertinya semua kendaraan dengan para penumpangnya tumpah ruah turun ke jalan. Dengan demikian kemacetan tak bisa dihindari. Yang terkena imbasnya bukan sekedar bagi mereka yang ingin berwisata saja tetapi bagi mereka pengguna jalan yang mempunyai kepentingan lain yang lebih darurat, misalnya mereka yang mempunyai kepentingan ke rumah sakit dan lain-lain tak bisa melewati jalan dengan cepat sebagaimana mestinya, kecuali menggunakan pengawalan aparat kepolisian.
Jarak tempuh suatu tempat ke tempat tujuan yang biasa ditempuh dengan jarak waktu hanya 1 jam bisa menjadi 4-5 jam. Luar biasa melelahkan, namun begitulah realita di saat suasana lebaran hari kedua, ketiga dan seterusnya sebelum arus balik atau saat masa liburan usai. Namun demikian hal itu tidak menjadikan surut langkah, mereka para pengguna jalan menikmati dengan beragam ekspresi.Â
Ada yang selfie-selfie dalam kemacetan, ada juga yang menikmati perjalanan panjang dengan tidur kecuali pengemudi, ada juga menikmati makanan cemilan yang merupakan makanan ciri khas daerahnya dan ada juga yang menikmati media sosial dengan gadgetnya. Itulah sepenggal cerita dari suasana lebaran Idul Fitri di setiap tahunnya. Umat Islam yang merayakannya dengan suka cita melewati saat-saat seperti ini demi menyambung silaturahmi dan mempererat persaudaraan. Dengan demikian mereka harus bersahabat dengan kemacetan. Dan kelelahanpun menjadi hilang berganti dengan kebahagiaan.
Kuningan, 28062017
Novi Nurul Khotimah
Anggota KPLJabar