Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kasus Ahok, SBY, dan FPI Potret Peran Agama dan Politik Sejak Zaman Mesir Kuno

24 Januari 2017   10:01 Diperbarui: 24 Januari 2017   10:16 5340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Isis Ibu Dewi Mesir Kuno I Sumber greatmystery.org

Kasus Ahok, dengan bumbu SBY dan FPI mereda seiring dengan melaun melambatnya euphoria kemenangan FPI dengan Rizieq-nya yang sirna. Teriakan tentang kasus Ahok tidak lagi menjadi magnet yang menarik untuk diikuti. Demo demi demo yang digalang oleh FPI semakin menyurut jumlah partisipannya – justru di balik itu tuntutan pembubaran FPI dan penangkapan terhadap Rizieq meluas. Namun, sesungguhnya jika dicermati kasus Ahok dengan teriakan SBY dan  pemanfaatan fatwa MUI oleh FPI adalah wujud percampuran antara agama dan politik yang sudah ada sejak zaman kelahiran manusia.

Mari kita telaah sejarah tentang agama sebagai alat politik dan hakikat agama di tengah euphoria yang kian sirna terkait kasus Ahok dan menertawai sikap politik SBY dan FPI dengan hati gembira ria riang senang bahagia suka-cita menari menyanyi berdansa selamanya senantiasa.

Dalam sejarah peradaban manusia, kesadaran para politikus – seperti raja, ratu, fir’aun, kaisar, presiden, perdana menteri, ketua parpol – tentang politik dan agama sungguh hebat. Para politikus menyadari bahwa sentimen agama adalah alat paling efektif untuk menarik dukungan rakyat. Politikus menggunakan agama dan kepercayaan sebagai alat untuk menggiring dukungan kepada diri mereka untuk berkuasa.

Kisah penguasa Mesir yang bergelar Fir’aun adalah salah satu contoh betapa agama dan kekuasaan duniawi bisa disatukan. Bagi Amanhotep I, agama Mesir Kuno adalah alat penaklukan rakyat bagi penguasa. Amanhotep mengatur para tabib dan pendeta agama untuk mengajarkan tentang Fir’aun sebagai keturunan Dewa Isis dan Ra. Tujuannya adalah ada legitimasi dari keyakinan rakyat Mesir terhadap Dewa Ra dan Dewi Isis, bahwa pemimpinnya adalah identik dengan pesan langit dan Matahari.

Tahap awal, Fir’aun menempatkan diri awalnya sebagai keturunan Dewi Isis. Rakyat mendukung. Merasa mendapatkan dukungan, Amanhotep III bahkan menyatakan diri sebagai keturunan langsung Ra – Dewa Tertinggi. Rakyat yang telah termakan oleh strategi politik kekuasaan Fir’aun – dengan kaki tangan para tabib dan pendeta agama Mesir Kuno – mengembek mengekor koor mendukung dan memercayai bahwa Fir’aun Amanhotep sebagai Dewa Ra itu sendiri. Maka penyembahan awalnya terhadap Dewa berpindah langsung menyembah Fir’aun. Jadilah Fir’aun perwujudan dari Dewa atau Tuhan.

Hanya sedikit sekali rakyat yang sadar akan politisasi agama dan kekuasaan ala Fir’aun ini. Salah satu yang sadar adalah Tetmoses II yakni Moses alias Musa – seorang keturunan budak Yahudi yang diangkat menjadi Putra Mahkota. Tetmoses II, yang nyaris menjadi raja Mesir, menyadari akan ‘ketidakbenaran’ klaim Fir’aun sebagai putra Isis dan bahkan Ra.

Perlawanan Tetmoses II ini pun juga terjebak pada politisasi agama dengan menempatkan Moses alias Musa sebagai pemimpin agama Yahudi. Sekaligus Musa menempatkan diri sebagai pemimpin bangsa Yahudi. Klop. Moses yang bermaksud melepaskan diri dari politik keagamaan dan agama sebagai alat kekuasaan tanpa sadar justru menjadikan agama Yahudi dan bangsa Yahudi sebagai obyek ambisi kekuasaannya – setelah kalah dan tersingkir bersaing dengan Putra Mahkota sebenarnya yang kelak menjadi Tetmoses III, yang bergelar Amanhotep III.

Kisah di belahan dunia lain pun sama saja. Agama dan kepercayaan dicampur-adukkan untuk kekuasaan baik atas nama kekuasaan duniawi maupun kekuasaan atas nama dan mendompleng agama. Para kaisar Yunani dan Romawi Kuno menggunakan kepercayaan kepada para Dewa dan Dewi untuk melanggengkan kekuasaan mereka.

Para kaisar memanfaatkan sentimen keyakinan rakyat dengan memimpin penyembahan yang ujungnya para kaisar sebagai representasi para dewa. Dan … ujungnya rakyat taat kepada para kaisar dan kekuasaan tetap terjaga. Tentu dengan kaki tangan para tabib dan pendeta agama yang takluk dan berselingkuh dengan kekuasaan para kaisar; imbalannya uang dan kekuasan keagamaan.

Persia Kuno dengan Zarathustra alias Majusi, dan Persia modern alias Iran, menempatkan agama dan politik menjadi satu kesatuan dengan kekuasan ada pada Pemimpin Spiritual Tertinggi yakni Ayatullah. Kaisar Persia menjadikan agama Zoroaster alias Majusi sebagai tameng kekuasaan yang menggerakkan rakyat Persia untuk berperang demi Kaisar Persia.

Pun Iran modern menempatkan agama sebagai ujung tombak dan dalih bagi rakyat untuk kekuasaan sang Ayatullah – kekuasaan agama sebagai kedok untuk kekuasaan duniawi. Tentu dengan kaki tangan para ayatollah-ayatullah kecill yang berkuasa, dengan imbalan kekuasaan dan privilege: fulus alias uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun