Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gereja Immanuel Dibangun 100% oleh Umat Islam: Oase Kerukunan Islam-Kristen Indonesia

22 Februari 2012   09:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:20 5328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masjid An-Nur berdiri tak lebih dari 50 meter dari Gereja Immanuel. Namun sejarah berdirinya adalah nuansa romantisme Kristen-Islam di kampung itu. Pembangunan kedua tempat ibadah ini adalah gambaran Indonesia yang seharusnya. Gereja Immanuel dibangun 100% oleh masyarakat Islam. Tak terbayangkan. Mengagumkan. Di tengah carut-marut pertanyaan tentang keindonesiaan dan pluralisme Indonesia, di mana pendirian tempat ibadah menjadi pertanyaan dan masalah, nun jauh di sana 3000 km dari Bogor dan Jakarta oase kerukunan umat beragama ada. Oase itu adalah Kampung Pulau Arar Papua Barat.

Kampung Arar, Distrik Mayamuk, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat ditetapkan oleh Bupati Sorong, DR. Stepanus Malak, Drs. Msi. sebagai Kampung Percontohan Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Suku di Papua Barat. Saya tertarik mengunjunginya. Inilah laporannya.

Kampung Arar terletak di Pulau Arar. Pulau kecil seluas kurang dari 40 hektar, terletak sekitar 4 mil laut dari lepas pantai daratan Kepala Burung, Sorong. Pulau ini indah. Penuh keajaiban. Pulau ini menyediakan air tawar bagi daerah sekitarnya ketika ada kemarau panjang. Bahkan pada tahun 1980a-an, ketika terjadi kemarau panjang, masyarakat Sorong mengambil air dari pulau ini. Bahkan Perusahaan Kayu Lapis Hendrison Iriana pernah mengambil air tawar dari sana.

Kepala Kampung Arar, Faedar Rumbrawer berasal dari Suku Biak-Numfor yang saya temui banyak bercerita tentang sejarah Pulau Arar. Pulau Arar dihuni oleh 170 KK dengan sekitar 680 jiwa. Terdiri berbagai suku. Suku Moi, sebagai penduduk asli Sorong. Suku Biak-Numfor juga tinggal di pulau ini. Demikian pula suku asli dari Raja Ampat mendiami pulau ini sejak awal. Sejarah pulau ini adalah sejarah keindahan hubungan manusia. Pada awalnya suku Biak-Numfor, yang sudah berasimilasi dengan penduduk Raja Ampat sekitar 300 tahun lalu memulai mendiami pulau ini. Pada mulanya rumah-rumah penduduk hanya di dekat pantai.

Mata pencaharian penduduk adalah nelayan, budi daya rumput laut, pegawai negeri, pedagang dan lain-lain. Tingkat pendidikan di pulau ini relative tinggi, bahkan ada penduduk yang sedang belajar S-2 di Universitas Gajahmada. Di pulau ini terdapat Sekolah Dasar dan SMP Negeri 1 Arar. Tingkat kesejehteraan penduduk relatif tinggi. Listrik mereka tersedia dengan genset fasilitas pemerintah dan juga swadaya masyarakat. Parabola bertebaran di seantero pulau.

Awalnya yang datang mendiami Pulau Arar adalah suku Raja Ampat yang beragama Islam. Mereka membangun komunitas di pulau ini. Namun suku Moi juga memeluk agama Islam. Perkawinan campur antar suku tak terelakkan dan hal yang biasa. Maka untuk meramaikan Pulau Arar, penghuni awal mengajak Suku Moi yang masih tinggal di daratan Kepala Burung untuk tinggal di Pulau Arar yang sudah relatif maju. Mulai saat itu dikenal Moi Darat dan Moi Pantai. Nama-nama pulau di Raja Ampat berasal justru dari bahasa Biak. Suku Biak yang mengawali meninggali pulau-pulau di Raja Ampat. Kini prosentase pemeluk agama adalah 70 persen umat Islam, 30 % pemeluk Kristen.

Imam Masjid An-Nuur adalah Haji Yunus Mailibit, asli suku Moi, menceritakan bahwa pada awalnya masyarakat

Islam saja yang tinggal di Pulau Arar. Meraka berasal dari suku-suku Raja Ampat, Ternate, dan Biak. Untuk mendorong saudara-saudara yang beragama Kristen mendiami pulau itu, maka masyarakat Islam membangunkan gereja untuk mereka. Dengan demikian mereka bersedia tinggal di Pulau Arar yang sudah berdiri Gereja. Hal ini dibenarkan oleh Ketua Majelis Gereja Pieter Kami, suku Moi juga, dan Pendeta Marghareta Felis. Suku-suku di seluruh Papua sangat penting. Namun suku menjadi tidak penting ketika berbicara kerukunan umat beragama.

Mereka juga bangga dengan kerukunan ummat beragama. Tidak ada perkampungan yang dipisahkan berdasarkan agama. Cuma pekuburan dibuat terpisah demi alas an agama. Di dekat Gereja Immanuel berdiri, masyarakat Islam justru mengelilingi gereja. Yang paling dekat dengan Gereja Immanuel justru rumah-rumah penduduk yang

beragama Islam. Perkampungan dibangun membaur antara Islam dan Kristen. Tidak ada jarak radius yang harus dihindari untuk tinggal dekat masjid atau menjauhi gereja. Demikian pula sebaliknya. Semuanya sama. Memiliki hak yang sama. Mendiami pulau dan beribadah sesuai agama yang mereka yakini.

Renovasi bangunan gereja dan masjid dilakukan bersama-sama. Perayaan Natal umat Kristen dihadiri oleh pemeluk Islam pula, bukan pada saat beribadahnya. Perayaan Idul Fitri atau Lebaran juga ikut dimeriahkan oleh saudara-saudara yang beragama Islam. Misalnya takbir keliling kampong dengan obor. Demikian pula perayaan-perayaan keagamaan yang lain. Kerukunan seperti ini juga tergambar di Pulau Kasim, Sorong yang saya kunjungi, di mana Gereja dan Masjid berdampingan dipisahkan tembok saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun