Mohon tunggu...
Ngadiyo -
Ngadiyo - Mohon Tunggu... -

Pengajar Bahasa Inggris, Konsultan Pendidikan Bilingual dan penulis. “How to Handle Masturbation” (2010) adalah buku pertamanya. Ia mengisi kolom Tumbuh Kembang di Majalah Embun. \r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Satria Jawa

12 Juni 2011   08:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 1347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Satria memiliki arti: kasta bangsawan, prajurit atau orang yang baik hati, jujur dan gagah berani. Menjadi seorang kesatria haruslah memiliki kecakapan yang sebanding dengan apa yang disandangnya. Harkat dan martabat dipertaruhkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai yang mendominasi orang itu. Satria memunculkan citarasa yang membenamkan hakikat manusia bermartabat, berbudaya, dan berperadaban.

Saat saya membaca sebuah roman Bung Pram ”Bumi Manusia” mengakar sebuah pemahaman kebudayaan adiluhung zaman dulu kala, saat kerajaan menjadi sistem pemerintahan, sebelum republik ini berdiri, bahwa para kesatria harus memiliki 5 syarat. Ya, lima syarat harus melekat pada diri seorang kesatria. Tepatnya Satria Jawa. Inilah syarat-syaratnya. Perhatikan baik-baik, saya cukup tertegun, terpukau. Sejauh itukah sosok satria?

Dan saya memberikan cermin diri, sudahkan saya menjadi seorang satria? Menjadi ingatan saat kecil sering menonton serial film ditelevisi berjudul ”Satria Madangkara”, namun dalam pikiran saya waktu itu memiliki penafsiran tersendiri, Satria yang memakan kara. Hal ini diambil dari sudut makna dengan mengambil kata madang yang berarti makan. Kara adalah sejenis sayuran hijau berukuran kecil lonjong.

Ketika saya ingin membagikan pengalaman membaca kalau ada syarat menjadi satria di dalam roman Bumi Manusia, saya seolah-olah dituntun secara luar biasa, membolak-balik halaman keberapa poin-poin itu, karena saya sendiri tidak menandainya, apalagi menghafalkannya, dihalaman berapa keterangan itu?. Namun sekali lagi seringkali saya mengalami keajaiban dalam mencari informasi dalam bacaan yang pernah saya baca yang ingin saya cari kembali. Dan secepat kilat saya bisa menemukannya.

Membagikan pengalaman ini memindahkan pemahaman terhadap pemikiran yang terejawantahkan kedalam ruang-ruang mistikum terhadap budaya yang diakui, dijamah, dan dilaksanakan sebagai pemerhati, pelaksana kehidupan. Inilah syarat-syarat menjadi Satria Jawa (hehehe berasa Wong Jawa, tapi baru tahu ada budaya seperti ini) dengan menggunakan adaptasi pemahaman saya tentunya, oke?

Wisma

Wisma memiliki arti rumah, tempat berteduh dari cuaca panas, hujan, kedinginan, dan sebagainya. Lebih tepat saya memberikan pemaknaan kalau wisma adalah tempat dimana manusia itu berada secara lebih sempit, lebih individu bersama keluarga dalam mengembangbiakkan diri sebagai makhluk, menata kehidupan, mewujudkan rencana yang terpikirkan untuk kemudian menjadi takdir yang senantiasa dikejar.

Hmm. Berpikir, merenung tidak seberapa lama. Sebentar saja memahami makna wisma ini. Karena hati ini tersinggung. Karena umur menunjukkan hidup di dunia sudah seperempat abad, namun belum punya rumah sendiri. Secara naluri alamiah, saya menginginkan sebuah wisma untuk pribadi, dan nantinya dinaungi bersama keluarga. Tapi? Oi, saya sejak tahun 2002 tinggal berpindah-pindah dari kos A, B, C dan sampai sekarang masih berstatus sebagai anak kos. Wkwkwkww. Eh malah menertawakan diri sendiri. Geli? Gak juga! Sedih? Apa yang perlu disedihkan. Terharu? Mungin juga! Tragis? Ah bisa-bisanya berpikir demikian dalamnya. Menjadi mendalam dibuatnya. Karena belum punya wisma sendiri. Wah, gak layak untuk saat ini menjadi Satria Jawa. Untung bukan tunawisma.

Wanita

Aw aw aw! Membicarakan makhluk satu ini membuncahkan segenap perasaan. Mengguncangkan jiwa yang malu-malu mengungkapkannya. Berasa bermasalah dengan urusan asmara. Menjadikan kekikukan tersendiri dalam batin yang menggelorakan untuk melengkapi jiwa ini. Raga ini. Dan memadukan unsur-unsur yang tersembunyi. Karena wanita begitu sensitif. Elok. Namun saya belum bisa meraihnya, apalagi memilikinya. Sosok itu memesonakan! Bahkan menentramkan!

Turangga

Kata ini mengingatkan saya sejak kecil yang sangat lekat dengan perguruan pencak silat ”Turangga Seta”, cukup terkenal didesa bahkan sampai seantero kecamatan dimana saya dibesarkan. Karena perguruan bela diri tangan kosong ini memiliki reputasi kesaktian tiada tanding, baik itu mempelajari ilmu kanuragan, mantra-mantra, dan bahkan sampai ilmu pelet hehehehe. Ingat Mak Lampir.

Saya mengetahui makna Turangga dari kakak kandung saya, Wardi, yang juga ikut menjadi murid di padepokan ini, karena saya berani bertanya, apa sih arti turangga seta itu? Turangga artinya kuda. Seta memiliki arti putih.

Ketika melihat kuda, membayangkannya pastilah saya teringat sosok para pendekar di film-film, atau sebelumnya memahaminya dari menyimak sandiwara radio. Ringkikannya, pacunya, dan suara hia-hia penunggangnya. Sangat gagah. Saya pun saat khatmil Qur’an diarak mengendarai kuda pilihan terbaik yang disewa ayah. Namun betapa makna mendalam dari sosok satria dengan turangga-nya bukanlah kepemilikan hewan ini melulu. Bukan. Bukan hanya itu saja.

Saya jelas-jelas paham kalau kuda itu sebagai alat transportasi memudahkan bepergian kemana saja tempat yang akan dituju untuk berbagai macam keperluan hidup. Kalau tidak ada kendaraan, rencana manusia untuk mencapainya menjadi lama terlaksananya. Dengan adanya itu, menjadi lebih sampai keinginan mencapai takdir.

Di era kekinian, saya seolah-olah tidak mau membagikan pemahaman jenis kendaraan apa yang digunakan manusia. Semuanya yang menggunakan sebagai kendara pastilah paham. Sebut saja yang saya kendarai kemana-mana menggunakan motor lungsuran karena belum bisa membeli sendiri. Sejak kecil saya menggunakan sepeda ontel. Setelah mau wisuda baru mendapat pengabulan permohonan supaya motor lungsuran kakak sulung saya dianugerahkan kepada saya agar bisa wira-wiri kesana-kemari tanpa harus jalan kaki, tanpa nebeng teman, naik angkot, naik bus, kalau naik kereta api jujur belum pernah, kereta kuda, atau delman, dokar sudah pernah, enak sakali rasanya, sangat nyaman. Berkendara pesawat terbang apalagi, kapan ya? pernah? Hahaha. Belum.

Kukila

Kukila artinya burung. Ya burung yang bisa terbang itu. Lambang kedamaian, keindahan secara bulu, bentuk, suara dan liukannya saat terbang. Membumbungkan seandainya saya bisa terbang seperti burung. Dan satria haruslah memiliki burung piaraan, karena ini sebagai simbol jatidiri. Penikmat seni, penyubur kelangenan atau kegemaran diri. Penjagaan martabat juga menyadarkan memelihara makhluk mungil cantik ini.

Kembali saya menceritakan pengalama masa kecil dulu. Ayah saya pecinta burung perkutut, maniak sekali beliau. Sampai-sampai membeli kaset pita dengan konten suara-suara hasil kejuaraan lomba burung berkicau khusus burung perkutut. Hampir sepuluh sangkar burung perkutut bertengger dilangit-langit ruang tamu. Suaranya hur ketekuk kuk kuk kuk. Hur ketekuk kuk kuk kuk. Hok-hok-hok. Hehehe. Khas sekali. Khusus dan membuat pecintanya tak kenal waktu, tak kenal apapun untuk memerhatikan dan merawatnya. Kaset itu sering diputar, supaya ditiru oleh perkutut-perkutut yang suaranya belum terlatih dengan baik. Didikan suara para jawara membuat kepercayaan ayah kalau burungnya bisa manggung, berkicau seperti indahnya suara yang berasal dari pita kaset itu.

Setiap pagi ayah saya menaikan dua sangkar ke tiang seperti tiang bendera yang dipasang didepan samping kanan kiri rumah, tetapi tiang ini khusus untuk burung, dan sering kali setiap sore saya menurunkannya sambil menyanyikan lagu wajib Indonesia Raya meniru upacara bendera. Kalau menaikannya jarang. Karena ini sebuah kewajiban ayah saya secara tugas pribadi yang tidak bisa diwakilkan. Sementara sangkar-sangkar yang lainnya digantung dilangit emper rumah. Kalau menurunkan sangkar burung perkutut tidak harus ayah, tetapi setelah pulang dari pasar di sore hari, jelas ayah terpanggil oleh alam untuk menurunkannya, supaya tidak kemalaman dengan catatan, kalau pulang sampai mau magrib, tentu yang lainnya yang akan menurunkannya. Sampai sekarang ayah masih memiliki hobi itu.

Kalau saya sendiri saat kelas tiga sekolah dasar sangat suka menjala burung peking kaji yang berbulu lembut warnanya hitam dipunggung, dan putih separo dikepala, seperti orang ketika menunaikan ibadah haji, sehingga burung dengan suara cit-cit itu dinamakan burung peking haji. Seperti burung gereja, tapi bukan.

Saat istirahat disekolah saya membuat jala menggunakan serat daun pisang. Pulang sekolah saya ke sawah mencari sarang burung Peking Haji, dan memasang jalanya. Saya tunggui sebentar. Setelah terlihat mangsa saya terjaring, betapa girangnya saya, bangga, dan akhirnya burung peking haji bisa saya bawa pulang sambil teriak-teriak senang bukan buatan bisa menjala burung itu. Dan saya memasukannya ke dalam sangkar. Wah indah nian.

Tapi sayang beribu sayang, umur burung-burung Peking Haji yang saya jala tidak bisa bertahan lama hidup di sangkar. Selang beberapa minggu mati. Sampai sekarang ingin mengulangi peristiwa itu. Menjala burung.

Kedua kakak lelaki saya penggemar berat burung merpati, karena memiliki keistimewaan tersendiri. Burung merpati kalau diterbangkan dari jauh akan kembali ke sangkarnya, ke rumah saya. Inilah kehebatan burung merpati yang cantik itu. Saya sendiri buta mengenai burung merpati, seolah-olah gak mau tahu. Padahal penikmat burung ini menggila luar biasa.

Curiga

Curiga adalah keris. Ya, artinya keris. Pusaka. Senjata. Ini untuk membela diri. Buat perang dengan musuh yang membahayakan. Saya pernah memakai keras untuk upacara tertentu. Diantaranya saat menjadi pagar bagus tahun 2005, ketika itu saya seolah-olah terpilih menjadi cowok paling bagus oleh Bu Noenik, ketua program D3 Bahasa Inggris Unsoed bersama tiga teman satu angkatan saya dulu. Karena saya waktu itu pertama kali memakai pakaian Jawa lengkap, seperti satria. Kedua saat saya akan dipotret seorang teman yang berprofesi sebagai model. Namun sayang, foto itu entah dimana. Ketiga nanti mungkin kalau saya mengadakan hajatan pernikahan menggunakan adat Jawa.

Saya sampai sekarang belum punya senjata dalam bentuk barang seperti keris, tombak, clurit, dan pistol.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun