Mohon tunggu...
Teuku Munandar
Teuku Munandar Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Putra Aceh, menikah dikarunia 3 anak, alumni Univ. Syiah Kuala, bekerja di sebuah lembaga negara.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pengalaman Menarik Mengikuti Saturday Class di SD Jepang

12 Mei 2013   06:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:42 1631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Sabtu, 11 Mei 2013, sebagai orang tua murid, saya kembali dilibatkan dalam salah satu kegiatan di sekolah anak kami. Di Jepang memang para orang tua murid sering diwajibkan untuk terlibat dalam kegiatan sekolah, terutama bagi orang tua murid kelas 1 SD dan TK. Salah seorang kenalan kami bercerita, bahwa selama ini dirinya sering mengikuti kegiatan anak-anaknya di sekolah, baik kegiatan anaknya yang kelas 1, 3, maupun 6 SD. Keterlibatan orang tua dalam kegiatan di sekolah anaknya bervariasi, ada yang hanya sebatas mendampingi anaknya saja, atau kadang menjadi panitia dalam kegiatan yang tergolong besar, seperti acara sports festival (undokai). Meskipun agak menyita waktu, namun diikutsertakannya orang tua dalam kegiatan sekolah ini menurut saya cukup bermanfaat. Selain dapat berperan serta dalam proses pendidikan anak, keikutsertaan dalam kegiatan sekolah juga saya jadikan ajang silaturahmi dengan para orang tua murid, terutama dengan orang tua murid yang tergabung dengan saya dalam struktur rantai informasi yang telah ditetapkan oleh sekolah. Sebagai informasi, di SD Jepang biasanya pihak sekolah membuat suatu struktur yang mengatur alur informasi berantai dari sekolah ke seluruh orang tua murid, tergantung pada masing-masing kelasnya. Jadi seperti estafet, pertama kali pihak sekolah akan menyampaikan informasi kepada orang tua murid si A, kemudian orang tua murid si A akan meneruskan ke orang tua murid si B, dan dilanjutkan ke orang tua murid si C, D, dan seterusnya, sampai akhirnya penerima informasi terakhir akan melaporkan ke penerima informasi pertama, sebagai bukti bahwa informasi telah sampai ke seluruh orang tua murid.

[caption id="attachment_260557" align="aligncenter" width="614" caption="struktur rantai informasi di kelas anak kami, terlihat nama dan no telp orang tua murid"][/caption]

Kegiatan yang saya ikuti pada pagi itu adalah “Saturday Class” perdana untuk anak kami yang duduk di kelas 1 SD. Saturday class yang dalam bahasa Jepangnya disebut dengan “do youbi jugyou”, pada dasarnya sama dengan kegiatan belajar mengajar setiap harinya. Namun yang menjadi perbedaan adalah, pada saturday class, orang tua diperkenankan masuk ke dalam kelas untuk menyaksikanbagaimana proses belajar mengajar di sekolah berlangsung.Saturday class diadakan sekali dalam setiap bulannya. Jumlah pelajaran yang diajarkan pada saturday class umumnya hanya 3 pelajaran, dan setiap bulannya akan berbeda-beda mata pelajarannya. Kadang kala saat saturday class, diselipkan pelajaran/aktivitas yang tidak diberikan pada jam sekolah normal.

Pada saturday class perdana ini, pelajaran pertama yang yang diberikan adalah matematika. Selama kurang lebih 45 menit, saya bersama orang tua murid lainnya, berada didalam kelas untuk menyaksikan proses belajar mengajar anak kami dalam bidang pelajaran matematika. Meskipun kaki saya terasa pegal karena harus berdiri di belakang kelas selama 45 menit, namun rasa capek tersebut terbayarkan dengan kesenangan hati bisa menyaksikan bagaimana tingkah laku para murid selama proses belajar. Saat itu saya melihat bagaimana budaya disiplin, keteraturan, saling menghargai, dan semangat belajar di tanamkan oleh sang guru kepada para murid, meskipun pelajaran yang diajarkan bukanlah pelajaran budaya/moral, melainkan matematika. Dari pengalaman selama ini dan mendengar cerita dari teman-teman, pelajaran budaya yang diberikan oleh para guru di Jepang memang bukanlah pada saat mata pelajaran budaya/moral saja, melainkan dalam setiap mata pelajaran dan kegiatan di sekolah, nilai-nilai budaya/moral juga di tanamkan. Penanaman moral/budaya kepada para anak didik tersebut diiringi dengan tauladan yang baik dari para guru, serta prilaku masyarakat Jepang pada umumnya. Sehingga para murid merasakan bahwa pelajaran moral/budaya yang diterimanya di sekolah, selaras dengan kehidupan yang mereka lihat sehari-hari.

Setelah selesai mengikuti pelajaran matematika, kegiatan kedua pada saturday class kali ini adalah “nakayoshihan katsudou”, yang artinya kurang lebih “aktivitas kelompok dalam membina hubungan yang baik”. Kegiatan ini menurut saya sangat menarik, mengingat pelakunya adalah anak kelas 1 SD yang baru berusia 6 tahunan. Dalam kegiatan ini, dari seluruh murid kelas 1 SD yang ada, dibagi dalam beberapa kelompok dengan jumlah 5-6 orang per kelompoknya. Kemudian pada masing-masing kelompok tersebut, disertakan 4-5 orang murid kelas 6 SD, yang bertugas sebagai pembina dan teman berdiskusi bagi kelompok tersebut. Selama 30 menit, masing-masing kelompok melakukan perkenalan, diskusi, dan permainan, yang dipandu oleh murid kelas 6 SD.Inti dari aktivitas ini adalah untuk melatih murid kelas 1 SD sebagai murid baru di sekolah, bagaimana berinteraksi, bergaul, dan bermain bersama orang lain, dengan tujuan menciptakan hubungan yang baik diantara mereka. Menariknya adalah, murid kelas 6 SD yang melakukan kegiatan ini terlihat sangat ikhlas dan natural, mereka seperti bermain dengan adik kandungnya sendiri, meskipun saat itu mungkin mereka baru berkenalan dengan murid kelas 1 SD tersebut. Tidak terlihat raut muka yang kesal dan kesan terpaksa dari wajah mereka, meskipun mereka harus capek berlari kesana kesini untuk memenuhi keinginan adik-adik kelasnya yang mengajaknya bermain.

Pelajaran ketiga atau terakhir yang diberikan pagi itu adalah “isseigekou”, yang artinya kurang lebih “pulang bersama dari sekolah”. Dalam kegiatan ini, para murid diajarkan tahapan-tahapan yang harus dilakukan agar mereka bisa pulang ke rumahnya masing-masing apabila gempa terjadi di jam sekolah.Kegiatan ini merupakan bagian dari pendidikan kepada anak-anak mengenai gempa bumi, yang merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Jepang. Tahapan yang harus dilakukan oleh para murid telah diatur sedemikian rupa, layaknya Sistem Operasional Prosedur (SOP) di sebuah instansi atau perkantoran. Dimulai dengan pembagian kelompok berdasarkan warna yang tertera di badge nama para murid, kemudian tata cara menuju lokasi berkumpul (assembly point) di aula olahraga sekolah, sampai dengan pembagian kelompok anak-anak sesuai area rumahnya masing-masing. Semuanya diatur sedemikian rinci dengan menggunakan metode yang mudah dimengerti oleh anak-anak. Pelajaran ketiga ini sekaligus menutup saturday class pada hari itu, dimana tahapan akhir dalam kegiatan isseigekou (pulang bersama) yaitu, para murid pulang ke rumahnya masing-masing sesuai kelompok yang telah dibagi, didampingi dengan 1 orang guru pada setiap kelompoknya. Meskipun siang itu hujan sedang turun, namun para murid tetap disiplin mengikuti petunjuk yang diberikan oleh para guru, sehingga kegiatan pulang bersama ini berjalan dengan tertib.

[caption id="attachment_260558" align="aligncenter" width="614" caption="Meskipun hujan turun, para murid tertib mengikuti kegiatan isseigekou (pulang bersama) apabila terjadi gempa di jam sekolah"]

1368314770566938685
1368314770566938685
[/caption]

Selesai sudah saturday class hari itu, sebuah pengalaman menarik lainnya yang alhamdulillah dapat saya alami selama merantau di negeri matahari terbit ini. Sayangnya saya tidak dapat mendokumentasikan kegiatan saturday class saat itu, karena pihak sekolah melarang kami mengambil foto atau video, dengan pertimbangan khawatir dapat mengganggu privasi para murid. Saya tidak tau apakah kegiatan seperti saturday class ini, maupun kegiatan sekolah lainnya yang melibatkan orang tua murid seperti yang dilakukan sekolah-sekolah di Jepang, juga dilakukan di Indonesia. Seandainya belum, mungkin metode ini dapat dilakukan juga oleh sekolah-sekolah di Indonesia, karena bermanfaat sebagai sarana untuk mengajak partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar anaknya di sekolah. Jangan sampai sebagai orang tua, kita hanya menyerahkan tugas mendidik kepada para guru saja, tanpa mengetahui dan peduli bagaimana sebenarnya proses tersebut berlangsung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun