Sebagai sosiolog, saya tidak pernah tabu bicara masalah suku, agama, ras dan antar golongan, yang populer dengan akronim “SARA”, karena “SARA” merupakan fakta sosiologis, yang mau tidak mau dan suka tidak suka harus dibicarakan.
Suku, agama, ras dan antar golongan berkaitan dengan masyarakat, maka merupakan kenaifan kalau tidak boleh dibicarakan, dilarang dan dianggap tabu membicarakannya.
Bukan maunya saya menjadi suku Tolaki, yang dilahirkan oleh ibu saya yang beretnis suku Tolaki, yang tumbuh dan berkembang di daratan Sulawesi Tenggara. Begitu juga isteri saya bukan maunya menjadi suku Jawa.
Suku menurut saya adalah pemberian Tuhan kepada setiap manusia atau kelompok, yang tidak perlu dilarang untuk dibicarakan apalagi dianggap tabu atau pantangan untuk didiskusikan.
Menurut sensus yang dilakukan oleh BPS tahun 2010, jumlah suku bangsa di Indonesia sebanyak 1.340. Begitu banyak suku di negeri ini, dan merupakan kekayaan sosial yang harus dipelihara, dijaga, dirawat dan dikembangkan.
Begitu juga agama, sebagi contoh pada diri saya, sejak dilahirkan oleh ibu, kedua orang tua yang muslim, sudah memberi nama kepada saya dengan identitas sebagai seorang muslim. Begitu pula agama sudah ditanamkan sejak kecil, diajarkan untuk selalu berdoa sebagai seorang muslim. Sama halnya dengan agama lain, orang tua mereka memberi nama yang beridentitas sesuai agama orang tuanya dan mengajarkan ajaran agama yang dianut.
Selain itu, ras adalah sekumpulan yang dapat dibedakan dalam berbagai karakteristik fisik, dan antar golongan, bisa antar golongan agama, antar golongan suku, antar kelompok masyarakat dan sebagainya.
Tabu Dibicarakan
Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun telah melarang untuk membicarakan masalah suku, agama, ras, antar golongan, yang popular dengan sebutan “SARA”.
Di era Orde Reformasi, juga dilarang untuk membicarakan masalah “SARA”. Menurut saya, adalah merupakan pandangan yang sangat keliru dan salah, melarang dan menganggap tabu membicarakan “SARA” karena dianggap sumber konflik di masyarakat adalah SARA.
Dalam berbagai penelitian saya ditemukan, penyebab utama konflik di masyarakat adalah faktor ketidak-adilan, perebutan sumber-sumber ekonomi, kesenjangan sosial ekonomi, perebutan kekuasaan politik, kemiskinan, dan pengangguran.