Zakat Profesi
Sekarang kita berhadapan dengan bentangan cukup unik yang melilit sebagian besar umat Islam nusantara. Borgol kemiskinan yang setara dengan indikator pra sejahtera, patut mendapat perhatian semua kalangan, baik pemerintah maupun swasta. Dalam kondisi serba lemah, tidak berdaya, terpacu dengan upah minimum yang sangat rendah. Pendapatan rata-rata sangat kecil antara lima belas sampai dua puluh lima ribu rupiah sehari. Sementara tingkat pendidikan dan kesehatan serta indeks sumber daya manusia sangat tidak memadai, Â rendah. Semuanya disebabkan oleh kemiskinan yang begitu parah.
Ada secercah sinar walaupun kecil. Zakat profesi ramai dibicarakan dan diperdebatkan bahkan didemo habis-habisan. Sehingga sinar yang tadinya redup menjadi cemerlang, karena aksinya besar. Jendela pamer Lombok Timur mulai dilirik. Zakat profesi sebagai pemicunya.
Zakat profesi, tepatnya disebut zakat pendapatan. Dalam fiqih abad pertengahan belum mengenal zakat pendapatan. Sehingga perihal yang satu ini menakar banyak pendapat. Ada yang mengatakan bahwa pendapatan profesi itu wajib dizakatkan, ada yang mengatakan sunat, bahkan ada yang mengatakan tidak wajib. Bagi yang berpendapat bahwa zakat profesi itu wajib, maka seorang yang hasil profesinya melebihi kebutuhan hidup selama satu tahun dan mencapai batas nisab, maka ia wajib mengeluarkan zakat.
Ada dua pendekatan dasar hukum terkait permasalahan ini, yaitu pertama dari tekstual normatif yang tercantum dalam al-Qurn, dan kedua jalur kontektual berupa hasil ijtihad para ulama yang kompeten dibidangnya. Yang pertama berpegang kepada zhahir dan keumuman ayat al-Qurn surat al-Baqarah [2]: 267, yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, infak (zakat) kan sebagian dari hasil usahamu atau pendapatanmu yang baik-baik...". Jika hasil usaha itu setara dengan profesi dan halal dilakukan, maka ia termasuk usaha yang baik. Kedua, dengan mengqiaskan kepada harta perniagaan dimana masing-masing kegiatan itu merupakan hasil usaha yang baik.
Zakat profesi merupakan zakat yang diwajibkan atas harta yang diperoleh dari pekerjaan atau jasa yang wajib dikeluarkan zakatnya seperti harta-harta yang lain, dengan asumsi keberadaannya sudah lama, tetap, berkesinambungan, dan kepemilikan yang sempurna, maka jasa profesi dianggap sebagai pekerjaan atau amal perbuatan yang menghasilkan jasa.
Jika dianalogkan zakat profesi dengan zakat emas dan perak, dari segi nisab dan hukumnya, maka nilai nominal pengeluaran zakatnya, setara dengan dua setengah persen untuk zakatnya mengikuti pemahaman nas yang mewajibkan uang yang dua setengah persen atau seperempat puluh dari pendapatan. Hal ini sebagai realisasi dari pendapat para sahabat seperti Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah Bin Abu Sufyan, Umar Bin Abdul Aziz yang pada masanya dalam menentukan upah yang diberikan kepada pegawainya.
Diriwayatkan dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya dia telah mengambil zakat dari hasil upah pegawai, dan tak satu pun sahabat yang menentangnya. Melihat begitu penting dan layak harta yang diperoleh dari pekerjaan atau profesi, maka profesi itu merupakan barang lain yang wajib dizakati, sebab profesi akan menjadi penghasilan yang produktif, sebagai sumber pemasukan dan pendapatan, dengan menjadi harta yang dapat berkembang bagi pemiliknya.
Yang muncul kepermukaan, serta menjadi fenomena refleksi saat ini adalah, pertama, bagaimana bila pendapatan atau gaji misalnya, yang diterima itu secara priodik seperti penghasilan atau gaji bulanan. Apakah dibolehkan berzakat dua belas kali dalam setahun, padahal haulnya berdurasi satu tahun? Kondisi seperti itu, nisabnya dapat dibagi sesuai penerimaan.
Bila penerimaan itu bulanan, maka nisabnya menjadi dua belas bagian dan dihitung setiap penerimaan satu bagian. Serta tidak ada larangan dalam Islam untuk menyegerakan zakat. Dan kalau dibayarkan sekali setahun akan terasa berat. Solusinya adalah semata-mata untuk meringankan, bukan memberatkan. Karena bisa dibayar sebulan sekali.
Pertanyaan yang kedua muncul. Berbarengan dengan dua belas kali berzakat dalam kurun waktu satu tahun. Bagaimana yang menanggung hutang, sampai gaji yang diterima menjadi minus? Fenomena ini santer dan kasat mata. Akan tetapi ini tidak menghalangi akan wajibnya zakat dengan kendala hutang, "walyamna'u addainu az zakta,"tidak ada halangan bagi yang berhutang untuk berzakat.Begitu penegasan ulama Syafi'iyah.