Pluralisme, sebuah istilah yang santer dibicarakan, seiring kebinekaan yang mengemuka, dan keanekaragaman yang padat makna. Bisa berarti, pluralisme merupakan kemajemukan yang dipertontonkan di telatar budaya, aliran agama, dinamika sosial, dan lainnya. Serta keanekaan yang disejajarkan dengan kebinekaan, dimana saja dan kapan saja untuk diramaikan. Dengan demikian, pluralisme muncul pada komunitas masyarakat mana saja, dimana pun mereka berada. Ia selalu mengikuti perkembangan arah peradaban, tidak dibatasi oleh sekat perbedaan atau pemisahan yang bersifat sektarian. Perbedaan tidak menjadikan simpul ke ranah pertentangan, tetapi bahkan sebaliknya bersikukuh memicu kebersamaan yang didambakan.
Kemajemukan atau pluralisme, merupakan sebuah pandangan klausul teori tentang hubungan budaya dalam masyarakat majemuk. Kuntowijoyo dalam “Identitas Politik Umat Islam” nya (1999) menyatakan bahwa pluralisme bukan etnosentrisme, yang bersikukuh dengan identitas masing-masing, yang menolak bercampur dengan budaya lain. Dan bukan pula berupa melting pot, peleburan komponen-komponen etnis budaya, yang membaur ke dalam satu identitas baru. Pluralisme dimaksudkan, bahwa masing-masing etnisitas dan budaya tetap memegang identitas kelompoknya, walaupun dalam beberapa hal ada yang sama, apalagi yang berbeda.
Pluralisme, sebagaimana diutarakan oleh Adeng Mukhtar Ghazali (2005), harus dimaknai sebagai sunnatullah, konsekwensi logis dari keadilan Ilahi. Keyakinan seseorang tidak dapat diklaim sebagai yang benar dan yang salah, tanpa mengetahui latar belakang pembentukannya, seperti lingkungan sosial budaya, referensi yang diterima, informasi yang didapat, tingkat hubungan komunikasi yang dijalin, dan klaim-klaim kebenaran yang dibawa.
Seseorang yang sadar akan kebenaran, dan sadar pula untuk menga-malkan ajaran agamanya, dijamin akan memiliki sikap terbuka dan toleran terhadap sesamanya. Sebab ada kesadaran di samping kebenaran yang diyakini, ada juga kebenaran lain yang harus dihormati konsistensinya.
Pluralisme hanya sebuah pengakuan terhadap keanekaragaman, tentang kemajemukan atau kebinekaan. Bahwa disana terdapat aneka macam ras, suku, agama, kelompok budaya. Dalam pluralisme orang tentu akan mengakui kenyataan tentang pluralitas, keragaman, dan bagaimana menghargai perbedaan itu. Agree in disagree, setuju dalam memaknai keberagaman, akur dalam ketidak setujuan, bhineka tunggal ika.
Pluralisme, sebagaimana perenungan Kang Jalaluddin Rahmat dalam mozaik “Reformasi Sufistik” (1998) dengan mengatakan, bahwa ada tiga amsal yang membuat Tuhan sayang kepada kita, yaitu melalui tiga wadah yang mencerahkan. Tidak ada klaim prioritas padanya. Pertama, kedermawanan, seperti sungai yang mengalirkan airnya kemanapun tempat yang lebih rendah darinya. Kedua, kasih sayang matahari, yang memberikan sinarnya kepada semua yang di bawahnya, dan yang terakhir, keramahan, seperti bumi yang bersedia menerima intan dan sampah ke dalam perutnya.