Mohon tunggu...
Taufik Mulyadin
Taufik Mulyadin Mohon Tunggu... Guru - Seorang pembelajar sepanjang hayat

Pendidik di Tatar Sunda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

LGBT dan HIV

2 Februari 2016   13:07 Diperbarui: 3 Februari 2016   16:07 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perilaku LGBT sebetulnya bukan hal baru. Hal ini sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, paling tidak dari kisah kaum Sodom dan Gomora yang menurut arkeolog Steven Collins hidup antara abad 30 sampai 15 SM. Kaum tersebut masyhur dengan perilaku seksual sesama jenis yang kemudian diberikan hukuman oleh Tuhan sehingga mereka dan peradabannya musnah seketika. Tak hanya dalam agama Islam, kisah Sodom dan Gomora pun tertulis dalam kitab suci umat Kristen dan Yahudi, bahkan situsnya pun telah ditemukan dan tengah banyak diteliti.

Namun istilah LGBT sendiri baru santer terdengar di era awal 90an menggantikan istilah-istilah sebelumnya seperti homoseksual, homofil, dan gay. LGBT juga dianggap lebih mengakomodir mereka yang memiliki kecenderungan seksual kepada bukan lawan jenis. Perjuangan mereka untuk dapat diakui dan mendapatkan keseteraan sudah dilakukan sejak lama dan mulai muncul ke permukaan pada awal 1900an.

Bendera pelangi pun sebagai bendera ‘kebangsaan’ komunitas LGBT pertama berkibar di California 1978 saat pemerintahan setempat untuk pertama kalinya memberikan kesetaraan hak pada mereka.

Di Indonesia sendiri keberadaan komunitas LGBT sudah terdengar dari tahun 1960an. Bahkan di akhir 1970an mereka sudah mendirikan organisasi walaupun keberadaannya muncul tenggelam karena desakan masyarakat. Eksistensi mereka pun di hadapan publik naik surut karena tak mendapat restu dari pemerintahan kala itu. Namun sejak era reformasi, terutama setelah tahun 2000, jumlah mereka melonjak dan mulai berani muncul bahkan mengampanyekan LGBT di depan publik. Dengan berbagai dukungan terutama dari negara-negara Barat, komunitas LGBT Indonesia makin eksis dan melakukan berbagai upaya agar keberadaan mereka diakui dan LGBT dilegalkan atas nama anti diskriminasi.

Nah pro kontra pun tak terhindarkan soal keberadaan LGBT. Yang pro, akan melihatnya sebagai hak individu bagian dari HAM, kesetaraan, dan keberadaan mereka tidak mengganggu/merugikan orang lain. Sederhananya, mereka yang LGBT hanya berbeda, berbeda dengan orang kebanyakan. Yang kontra akan berargumen bahwa LGBT tidak sesuai dengan norma, agama, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat umum di negeri ini.

Bahkan mereka bisa bilang bahwa LGBT meresahkan masyarakat. Di sini, tidak akan mengulas perdebatan tersebut. Tapi mencoba menakar baik buruknya LGBT dari hal yang lebih konkret dilihat dari aspek kesehatan. Lebih detailnya, korelasi LGBT dengan HIV.

Di Amerika sebagai negara yang paling getol mempromosikan LGBT, Human Rights Campaign (GRC) (http://www.hrc.org/resources/hrc-issue-brief-hiv-aids-and-the-lgbt-community) merilis bahwa dari 50.000 kasus infeksi HIV baru tiap tahunnya 2/3 (63%) nya adalah gay dan biseksual. Selain itu, perempuan transgender memiliki kemungkinan 34 kali lebih besar mengidap HIV dari perempuan lainnya. Lebih dari itu dalam International Journal of Epidemiology (http://ije.oxfordjournals.org/content/26/3/657.short), di Kanada di era 90an, gay dan biseksual (laki-laki) memiliki umur 8 - 20 tahun lebih pendek daripada laki-laki lainnya terutama mereka yg mengidap HIV sejak umur 20 tahun dan tren ini masih berlanjut sampai tahun-tahun berikutnya.

Muncul pertanyaan, bagaimana perilaku LGBT memperbesar resiko seseorang terjangkit atau tertular HIV? Sampat saat ini, kita sering diinformasikan bahwa penggunaan kondom dapat menghindarkan seseorang terjangkit atau tertular HIV. Jadilah keyakinan umum bahwa kondom adalah alat proteksi dari HIV. Ada informasi yang tereduksi bahkan cenderung menyesatkan di sini.

Kondom hanya mengurangi bukan menghilangkan sama sekali resiko HIV. Selain itu, terdapat studi juga yang menemukan bahwa kondom memang bisa mengurangi resiko HIV tapi tidak bagi penyakit lainnya yang dapat menular lewat hubungan badan seperti HPV dan hepatitis B yang penularannya bahkan bisa lewat ludah atau sekret vagina. Nah ternyata, anal sex dan vaginal sex juga memperbesar resiko seseorang terjangkit atau tertular HIV. Kecenderungan berganti-ganti pasangan dan melakukan anal dan vaginal sex sangat besar kemungkinan dan ditemukan pada mereka yang LGBT karena itu cara mereka berhubungan badan pada umumnya.

Dengan jumlah LGBT yang masih dibilang minoritas dampaknya sudah signifikan. Tidak terbayang skenario yang sama terjadi dalam skala jumlah yang lebih besar. Bahkan jika perilaku LGBT menjadi mainstream atau mayoritas, tentu efeknya akan jauh lebih besar. Dengan fakta ini, paling tidak dari sisi kesehatan, kita bisa menimbang dengan jujur apakah perilaku LGBT lebih membawa manfaat atau sebaliknya.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun