Mohon tunggu...
Muhammad` Fathul Farikh Fauzy
Muhammad` Fathul Farikh Fauzy Mohon Tunggu... -

freelance writer from UGM basic knowledge: Anthropology

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Beragamnya Pemuda Indonesia “Fakta di Nusantara dari Dulu hingga Kini”

13 Mei 2013   12:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:39 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

*****

Melihat Bangsa Indonesia merupakan perkara yang tidak mudah, namun menyimpan kekuatan yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia memiliki beraneka ragam suku bangsa yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Perbedaan suku bangsa ini ditandai dengan beberapa unsur kebudayaan antara lain: bahasa, sistem pengetahuan, dan sistem kepercayaan (Kluckhohn, 1953). Unsur kebudayaan ini menjadi identitas suku bangsa yang ada di Indonesia. Dalam beberapa hal, salah satu masalah yang dihadapi ketika menyebut istilah Suku Bangsa Batak, Suku Bangsa Bugis, Suku Bangsa Jawa berbeda dengan penyebutan Suku Batak, Suku Bugis, Suku Jawa. Hal ini dikarenakan makna kata suku dalam Bahasa Sunda berarti kaki (Poerwanto, 2006). Penyebutan yang kurang tepat mengenai suku bangsa ini rentan menimbulkan konflik dan ketidakpuasan dari suku bangsa di Indonesia, salah satunya perbedaan bahasa dan perbedaan arti yang dimaksud.

Pemuda merupakan salah satu bagian terpenting dalam suatu suku bangsa. Suku bangsa terdiri dari masyarakat secara luas, kemudian membentuk komunitas kecil, di dalam komunitas kecil tersebut ada keluarga. Pemuda berada dalam tataran setelah keluarga. Mereka hadir di tengah masyarakat sebagai penerus generasi-generasi yang lebih tua. Pemuda yang mewakili suku bangsanya masing-masing, hadir sebagai harapan di wilayahnya agar kebudayaan dari suku bangsanya tidak hilang oleh zaman.

Istilah transmisi kebudayaan (Koentjaraningrat, 1996) yang bisa diartikan pewarisan unsur-unsur kebudayaan termasuk di dalamnya identitas tiap suku bangsa, kepada generasi yang lebih muda, dalam hal ini para pemuda, menjadi perhatian utama agar keberlanjutan dari suatu kebudayaan tetap berlanjut. Pemudamemiliki potensi untuk aktif dan berkembang, serta bersemangat tinggi demi mengejar cita-cita yang ingin diraih, semangat pemuda menjadi bagian dalam proses mengejar cita-cita untuk merubah sesuatu.

Pemuda di Indonesia, laki-laki atau perempuan lahir dan besar dalam kebudayaan dan suku bangsa yang berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan ini membuat Bangsa Indonesia, khususnya para pemudanya telah akrab dengan perbedaan-perbedaan dan persinggungan budaya dengan suku bangsa lain. Persinggungan kebudayaan yang dialami oleh masyarakat khususnya oleh pemuda-pemudanya, telah terjadi dalam sejarah kolonial di masa lalu. Persinggungan yang terjadi berupa prinsip pluralisme yang coba diterapkan oleh pihak Belanda seperti : membentuk Kampung Arab, Kampung Cina atau pecinan, Kampung Madura, Kampung Betawi, dan sebagainya. Pengelompokan ini sebenarnya mencegah interaksi yang lebih integratif antar suku bangsa. Persinggungan dengan orang-orang diluar mereka sulit terjadi karena Belanda mengawasi kegiatan tersebut dengan undang-undang kolonial, berupa pembagian kelas masyarakat menjadi tiga kategori. Kategori teratas diduduki oleh Orang Eropa, kategori kedua diduduki oleh Orang Timur Asing seperti Orang Cina, Orang Arab, kategori ketiga diduduki oleh Orang Pribumi berbagai macam suku bangsa di Indonesia. Pengelompokan ini mempermudah pemerintah kolonial mengawasi gerak-gerik mereka.

Pecinan merupakan kampung khusus Orang Cina, mereka sudah ada sejak jaman kolonial Belanda (Poerwanto, 2005). Pemuda Cina pun sudah mengalami pergolakan ketika mereka terbelit masalah kewarganegaraan, puncaknya terjadi perpecahan di tubuh pemuda Cina menjelang kemerdekaan Indonesia, antara yang membela Indonesia maupun tidak (Suryadinata, 1988). Masalah pemuda tidak hanya berhenti disini, pemuda-pemuda lain yang berbeda suku bangsanya kemudian tergabung dalam organisasi kepemudaan berbasiskan kedaerahan dan suku bangsa, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, dan sebagainya. Pluralisme yang dibangun justru menumbuhkan sekat-sekat antar suku bangsa. Gejala ini terjadi ketika Indonesia memasuki masa sebelum kemerdekaan, tepatnya ketika banyak organisasi kepemudaan yang lahir.

*****

Pemuda-pemuda yang berbeda suku bangsa di Indonesia rentan terjadi konflik, karena rapuhnya proses integrasi dan masih belum adilnya pemerintah untuk meninjau kembali kebutuhan dan keinginan dari suku bangsa di Indonesia. Perbedaan terjadi dalam Bangsa Indonesia yang beraneka ragam suku bangsanya, dimulai dengan sistem komunikasi. Sistem komunikasi yang ada di setiap suku bangsa, entah itu yang mengenal tulisan maupun tidak mengenal tulisan, sebagai sarana untuk mewarisi kebudayaan kepada generasi yang lebih muda. Salah satu komunikasi lokal masyarakat adalah bahasa lokal atau daerah. Bahasa daerah seperti disinggung diawal, menjadi sarana kuat memacing terjadinya konflik dan pertentangan antar suku bangsa. Salah paham dalam mengartikan bahasa menjadi kata kunci yang menarik untuk menjelaskan potensi suatu konflik antar suku-bangsa. Bahasa menjadi kunci komunikasi, namun terkadang dalam Bahasa Indonesia itu sendiri, sering menyerap kosakata dari bahasa daerah. Dalam contoh di awal seperti penggunaan kata suku yang dalam Bahasa Sunda, berarti kaki. Masalah bahasa menjadi yang pertama, karena dengan bahasalah manusia bisa mengkomunikasikan semua gagasan dan pikirannya (Koentjaraningrat, 1996).

Setelah masalah bahasa, proses selanjutnya ialah sistem pengetahuan. Sistem pengetahuan diwariskan dengan komunikasi, dan komunikasi dilakukan lewat bahasa. Hal ini menjadi masalah yang cukup serius ketika Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa memiliki konsep berbeda, terkait sistem pengetahuan yang dianut. Sistem pengetahuan termasuk di dalamnya nilai dan norma lokal. Nilai dan norma lokal umumnya membagi sesuatu menurut dua hal, baik atau buruk. Baik menurut Suku Bangsa Jawa, belum tentu baik menurut Suku Bangsa Madura. Contohnya adalah, intonasi suara ketika berbicara. Orang Jawa khususnya yang berasal dari Yogyakarta, memandang bahwa berbicara dengan nada tinggi atau sedikit membentak terkesan buruk, sedangkan Orang Madura memandang bahwa berbicara dengan nada tinggi atau sedikit membentak terkesan baik dan tidak masalah (kabarmadura.com, 2011).

Bahasa dan sistem pengetahuan kemudian masuk lagi kedalam ranah sistem kepercayaan atau agama suatu masyarakat. Keberadaan agama-agama yang berada dalam suatu suku bangsa rentan terjadinya fanatisme. Fanatisme terjadi karena berpadunya agama dengan karakter lokal setiap suku bangsa di Indonesia. Sebagai contoh, Orang Madura hampir sebagian besar beragama Islam (De Jonge, 1989). Orang Madura hidup dari laut dan tanah yang gersang sehingga berkarakter keras dan agresif. Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa lingkungan mempengaruhi karakter manusia, salah satunya iklim. Mengacu pada pendapat ”iklim yang berbeda antara suatu periode sebelumnya dengan periode setelahnya membentuk pola yang berbeda terhadap aktifitas manusia (Harris, 1968). Proses ini dimulai dengan sikap keras, lalu agresif dan kemudian disusul fanatisme dalam membela keyakinan yang dianut. Sikap keras dan agresif merupakan produk-produk hasil adaptasi terhadap lingkungan salah satunya iklim. Boleh kita bahasakan bahwa sikap-sikap militan muncul dari sini, khususnya kepada para pemuda.

*****

Pemuda yang bersemangat dan penuh dengan cita-cita khususnya di Indonesia, sejatinya mewakili keberadaan suku bangsa yang mereka pegang. Ini yang membuat pemuda mudah terjebak dan mudah di adu domba karena masalah perbedaan suku bangsa, yang kemudian mengarah pada tindakan-tindakan kekerasan. Gesekan atau konflik yang terjadi bukan pada masalah suku bangsa semata, namun ada faktor pemicu yang meliputi identitas kebudayaan seperti dikemukakan di awal. Para pemuda menjadi bagian penting dalam masyarakatnya, sehingga pemuda menjadi bagian dari transmisi kebudayaan suku bangsanya masing-masing. Menarik untuk disimak dalam sebuah kutipan ”bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa, rentan terjadinya konflik” (Khaldun, 1986). Hal ini merupakan semangat bagi Bangsa Indonesia khususnya para pemuda yang berasal dari berbagai macam suku bangsa, untuk melihat kutipan ini layak untuk dimaknai ulang atau justru kurang sesuai dengan kondisi Indonesia.

*****

DAFTAR PUSTAKA

De Jonge, Huub.1989. Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Jakarta: Gramedia.

Harris, M. 1968. Rise of Anthropological Theory: A History of Theories of Culture. New York: Harper and Row.

http://www.kabarmadura.com/alasan-mengapa-orang-madura-diidentikkan dengan-kekerasan.html (di akses 12 Oktober 2011, jam 11.02 WIB)

Khaldun, Ibnu.1986. Muqaddimah. Pustaka Firdaus: Jakarta.(Terjemahan)

Kluckhohn, C. 1953. Universal Categories of Culture. Anthropology Today, A.L. Kroeber editor, Chicago, University Press.

Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Poerwanto, Hari. 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang. Yogyakarta: Komunitas Bambu.

Poerwanto, Hari. 2006. Hand-out Dinamika Hubungan Antar Suku Bangsa. Fakultas Ilmu Budaya UGM: Yogyakarta.

Suryadinata, Leo. 1988. Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Gramedia. (Terjemahan).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun