Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

"Darurat Prostitusi" atau Gejala Anomi?

27 April 2015   14:04 Diperbarui: 5 Januari 2019   21:26 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: shutterstock

Artikel Kompasianer Musni Umar (“Darurat Prostitusi, di Mana Peran BKKBN?” (Kompasiana, 27/4/2015) menarik untuk dibahas.

Bukan frase “darurat prostitusi” yang menjadi judul artikelnya yang menarik dibahas, karena untuk sebuah gejala sosial-ekonomi kronis semacam itu, istilah “darurat” sama sekali tak relevan.

Yang menarik adalah lima pokok masalah yang menurut Musni Umar (MU) berkaitan erat dengan gejala prostitusi yaitu pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, dan politik.

Kendati tidak disebutkan secara eksplisit, dari uraiannya jelas MU menyakatakan bahwa lima faktor itu merupakan variabel yang menentukan tingkat keparahan prostitusi dalam masyarakat kita. Ini cara berpikir deterministik, saya kira.

Benarkah begitu? Mungkin “benar” mungkin juga “salah”. Mari kita diskusikan.

Tidak Ada Data

Masalah pertama dengan klaim MU tentang hubungan kausatif kelima faktor itu dengan prostitusi adalah ketiadaan data pendukung.

Maksud saya, untuk membuktikan adanya hubungan kausatif, paling tidak kita memerlukan data survei (katakanlah survey terbatas)yang menyajikan jumlah pelacur menurut tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, orientasi nilai budaya, dan tingkat keterjeratan hukum.

Andaikan MU menyajikan tabel frekuensinya, misalnya dengan mengambil sampel 30 orang pelacur di Jakarta, maka klaim-klaimnya tentang hubungan kelima faktor itu dengan tingkat prostitusi punya dasar yang valid.

Karena tidak ada data, maka klaim-klaim MU layak kita pertanyakan sebagai berikut.

Pertama, jika benar mayoritas pelacur berpendidikan rendah, lantas apakah benar pendidikan rendah itu yang menyebabkan mereka memutuskan menjadi pelacur? Lalu bagaimana kita akan menerangkan pelacur berpendidikan sedang/tinggi, yang jumlahnya “masih gelap”?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun