Artikel Kompasianer Musni Umar (“Darurat Prostitusi, di Mana Peran BKKBN?” (Kompasiana, 27/4/2015) menarik untuk dibahas.
Bukan frase “darurat prostitusi” yang menjadi judul artikelnya yang menarik dibahas, karena untuk sebuah gejala sosial-ekonomi kronis semacam itu, istilah “darurat” sama sekali tak relevan.
Yang menarik adalah lima pokok masalah yang menurut Musni Umar (MU) berkaitan erat dengan gejala prostitusi yaitu pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, dan politik.
Kendati tidak disebutkan secara eksplisit, dari uraiannya jelas MU menyakatakan bahwa lima faktor itu merupakan variabel yang menentukan tingkat keparahan prostitusi dalam masyarakat kita. Ini cara berpikir deterministik, saya kira.
Benarkah begitu? Mungkin “benar” mungkin juga “salah”. Mari kita diskusikan.
Tidak Ada Data
Masalah pertama dengan klaim MU tentang hubungan kausatif kelima faktor itu dengan prostitusi adalah ketiadaan data pendukung.
Maksud saya, untuk membuktikan adanya hubungan kausatif, paling tidak kita memerlukan data survei (katakanlah survey terbatas)yang menyajikan jumlah pelacur menurut tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, orientasi nilai budaya, dan tingkat keterjeratan hukum.
Andaikan MU menyajikan tabel frekuensinya, misalnya dengan mengambil sampel 30 orang pelacur di Jakarta, maka klaim-klaimnya tentang hubungan kelima faktor itu dengan tingkat prostitusi punya dasar yang valid.
Karena tidak ada data, maka klaim-klaim MU layak kita pertanyakan sebagai berikut.
Pertama, jika benar mayoritas pelacur berpendidikan rendah, lantas apakah benar pendidikan rendah itu yang menyebabkan mereka memutuskan menjadi pelacur? Lalu bagaimana kita akan menerangkan pelacur berpendidikan sedang/tinggi, yang jumlahnya “masih gelap”?