Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Merawat Kreativitas, Tanggung Jawab Siapa?

4 September 2017   02:57 Diperbarui: 4 September 2017   15:18 1709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak Jepang sedang belajar bikin kue

Suatu pagi ada seorang ibu via media sosial sedang mencari komunitas atau mentor yang berkenan membimbing anaknya - Dzikra, belajar menggambar. Saya adalah salah satu yang banyak disarankan oleh beberapa teman kepada sang Ibu. Saya bingung dan tidak berani menerima tawaran itu, kenapa? Tulisan ini mungkin akan menggambarkan alasannya.

Beberapa waktu lalu kita merayakan yang namanya Hari Anak Nasional -- Pak Jokowi dan isteri pun ikut merayakannya. Memang sudah beberapa kali Pak Jokowi hadir dan merayakan Hari Anak Nasional. Hal lainnya yang cukup penting, Pak Jokowi membentuk sebuah badan yang terkait dengan aktivitas kreatif berskala nasional yaitu Bekraf. Yang menarik di sini adalah bahwasannya kreatif dan anak merupakan sebuah kompisisi alamiah. Semua pun cenderung sepakat bahwa dunia kanak-kanak adalah dunia yang sarat dan penuh dengan kreativitas.

__________________________________
HASIL dan PROSES, Mana Yang Lebih Penting?
__________________________________

Ironisnya seiring dengan pertumbuhan anak, kita malah menyaksikan banyak sekali anak-anak yang rontok kreativitasnya. Alasan dan argumennya bermacam-macam, mulai dari menyalahkan sistem pendidikan, guru yang tidak kreatif, minimnya sarana dan prasarana kreatif di sekolah, bahkan kementrian pun tidak lepas dari sasaran tembak. Lantas sebenarnya ini tanggung jawab siapa ya? Orang tua si anak? pembimbing? guru? kakak-adik? atau teman-teman si anak?

Kembali ke cerita Dzikra tadi, saya diminta oleh teman saya untuk menjadi salah satu mentor atau gurunya Dzikra. Alasan mereka sederhana karena saya dianggap bisa dan mampu menjadi pembimbing Dzikra. Mungkin penilaian mereka berdasarkan kalau saya bisa gambar dan saya bisa dekat dengan anak-anak mengingat saya pernah berkutat dengan "pendidikan anak" selama 3 tahun di Sesame Street Indonesia. OK lah pertimbangan itu saya terima.

Gambar Dzikra
Gambar Dzikra
Namun, saya mencoba berfikir lagi pertimbangan lain yang membuat saya mundur perlahan, yaitu masalah komitmen dan konsistensi. Bagi saya, membimbing seorang anak yang punya talenta itu bukanlah hal yang mudah. Tanggung jawab terbesarnya adalah kemampuan "merawat kreativitas" -nya Dzikra, termasuk disitu kemampuan berkomitmen dan konsistensi tadi. Usia Dzikra adalah usia pertumbuhan dan perkembangannya membutuhkan pendampingan yang mumpuni. Salah-salah ia malah terjebak pada jalan yang menyesatkan?

Merawat kreativitas itu bukan saja persoalan teknis menggambar, melainkan juga menjaga mood dan rasa percaya diri si anak agar tidak boleh drop maupun melejit terlalu berlebihan. Kenapa? Nah... Tidak sedikit anak-anak Indonesia yang sebetulnya punya talenta kreatif yang bagus sekali, yang kemudian harus berurusan dengan ego yang tidak siap karena terlalu sering dipuji dan dijunjung ketinggian. Apalagi jika si anak bisa sampai masuk TV yang mana bagi hampir banyak orang tua di Indonesia merasa bahwa masuk TV itu adalah prestasi pamor tertinggi yang membanggakan, baik untuk keluarga apalagi untuk si anak. Bagi saya, ini pun bagian dari tanggung jawab "merawat kreativitas".

Di negara maju.. ada sekolah, komunitas, sanggar, guru, dan mentor kesenian yang tersedia sangat banyak. Mereka memang bekerja menerima para talenta-talenta muda yang kemudian dikembangkan dan dirawat secara proporsional. Mereka pun dikumpulkan dengan anak-anak bertalenta lain yang efeknya adalah membuat si anak tadi lebih membumi alias tidak tinggi hati.

Di Indonesia, saya melihat ini jarang sekali, baik itu sekolah, komunitas, sanggar, atau guru, apalagi mentor. Mungkin ada tapi saya tidak tahu. Namun demikian, jarang ditemukannya pihak-pihak yang bekerja merawat kreativitas ini membuat saya berfikir, apakah ini menjadi tanggung jawab sekolah? orang tua saja, atau pemerintah lewat dibangunnya sanggar-sanggar seni? Tapi, siapa nanti yang akan membimbingnya? Nah lho..

Saya berfikir.. jangan-jangan yang dibutuhkan oleh anak seperti Dzikra ini hanya sebuah tempat atau komunitas yang bisa menggambar bersama-sama? Yang bisa dengan rutin bertemu muka dan berkarya bersama? Lalu bertukar pengalaman, tukar keahlian, tukar pikiran, bahkan tukar kritikan dan pujian. Yang mana akhirnya Dzikra akan mendapatkan semacam "creative environment" yang pelan-pelan akan terus merawatnya dengan kondusif dan proporsional? Tidak berkekurangan dan tidak berkelebihan.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun