Ramadan dapat menjadi satu etape antara hedonistik menuju transenden. Ramadan memerangkap ruang dan waktu untuk menihilkan logika-logika sekuler yang membatasi ego manusia dengan Tuhannya. Sehingga untuk melewati fase ini, Allah hanya memanggil orang-orang beriman, tidak cukup hanya label Islam.
Di luar teologis, salah satu aliran filsafat yang dapat didekatkan dengan Ramadan adalah humanisme.
Ia telah menjadi doktrin beretika yang cakupannya diperluas melebihi batas etnis atau identitas tertentu. Humanisme dalam Islam dapat dipanggil sebagai hablumminannas yang diikat oleh dogma muamalah.
Di sini humanisme mengalami kontradiksi antara religi dan sekuler.
Ketika kita sebagai umat post modernis dipeluk sangat ketat oleh dalil-dalil humanisme sekuler yang ditandai oleh globalisme, teknologi dan jatuhnya kekuasaan agama, maka Ramadan hadir meluruskan bahkan menihilkan.
Bila di luar Ramadan hubungan sosial kita kerap memenuhi unsur transaksional dalam kawah besar kapitalisme dan politis, maka Ramadan akan membakar logika yang dibangun oleh filsafat umum.Â
Dalam Ramadan, seorang Muslim, misalnya, akan memberi lebih banyak karena adanya pelipatgandaan pahala dan balasan di dunia.
Di tengah momen safari, sedekah dan santunan Ramadan dijadikan siasat selebritas beraroma politis atau narsis.Â
Allah memanggil hanya umat yang transenden untuk dapat memasuki zona Ramadan. Panggilan ini bersifat khusus sebab Ramadan adalah sebentuk perlawanan yang keras terhadap sistem eksistensial yang selama ini telah mengatur gerak dan pikir manusia di ujung zaman.
Adalah eksistensialisme yang menjadi tuhan baru kaum hedonis. Sebagai salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat barat, ia mempersoalkan eksistensi manusia dan eksistensi itu dihadirkan lewat kebebasan.
Jean-Paul Sartre yang terkenal dengan diktumnya human is condemned to be free atau manusia dikutuk untuk bebas menjadi semacam pikir sesat ketika kebebasan ditaruh di luar aturan Tuhan.