Dua minggu lagi lebaran. Â Hari bersuka cita bagi semua orang yang merayakan kemenangan. Â Termasuk suka citanya mendapatkan hadiah tahunan berupa Tunjangan Hari Raya.Â
Tidak terkecuali kantor tempat Prolet bekerja. Â Semua orang sedang bergembira. Â Hari ini pembayaran THR dilakukan. Â Para staf di bagian keuangan sangat sibuk. Â Tuan Puteri memerintahkan selain membagi THR seperti biasa, juga membagikan bingkisan lebaran dari perusahaan kepada semua pegawainya.
Prolet sudah membayangkan. Â Pulang ke rumah simboknya. Â Membawa oleh oleh batik dan kerajinan tangan Betawi. Â Mata Prolet berkerjap kerjap. Â Simboknya pasti sangat senang.
Mata Prolet teralihkan pada sosok Sahwat yang sedang duduk termangu di ruang pantry. Â Tatapannya terlihat kosong. Â Kepalanya menunduk menggapai lantai. Â Prolet mengerutkan kening. Â Tidak biasanya Sahwat seperti ini.Â
Prolet mendekat. Â Menepuk bahu Sahwat penuh simpati. Â Ingin bertanya tapi takut pertanyaannya salah. Â Dia tahu siapa Sahwat. Â Bisa bisa satu kalimatnya akan berbalas seratus paragraf.
Sahwat menoleh sejenak kepada Prolet. Â Lalu menunduk lagi. Â Nah, kali ini Prolet baru yakin Sahwat sedang menghadapi sesuatu yang sangat berat.
--------
"Aku tidak bisa mudik tahun ini Prolet..." Sahwat membuka percakapan melihat Prolet masih duduk di sampingnya.
"Uang gaji dan THR habis untuk membayar hutang. Â Sementara istriku dan anak anakku berkeras untuk mudik. Â Apa yang harus aku lakukan?" tutup Sahwat sambil terus memandangi lantai di depannya. Â Siapa tahu ada jawaban tiba tiba muncul dari lantai itu.
Prolet bangkit dari duduknya. Â Menepuk bahu Sahwat sekali lagi tanpa berucap apa apa.
Sahwat tidak bereaksi. Â Tetap terpekur seperti orang sedang berdzikir.