Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Menulislah dan jangan mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Belajar Seperti Malam

19 Agustus 2017   10:40 Diperbarui: 19 Agustus 2017   11:11 1231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti malam. Aku paham betul arti dari sebuah pertemuan dan kehilangan. Bukankah mereka semua hanya bersifat sementara? Aku paham betul saat aku bertemu seseorang, aku harus siap juga untuk tidak lagi bertemu dengannya. Suatu saat nanti, yang masih tak aku tahu kapan akan datang.

Merindukan. Bukankah itu alasan klasik untuk tetap bertahan? Untuk tetap mengingat kalau orang itu benar-benar ada di hidupmu. Bukan hanya sosok yang kamu ciptakan dalam ruang imajinasi. Bukan sesuatu yang hanya melekat di kepala, tetapi sekaligus terpahat rapi di hati.

Aku mengingatmu sebagai sosok yang berkilauan. Aku tidak pernah mengenalmu sebelumnya, bahkan tidak punya keberanian sedikit pun untuk hanya ingin sekedar mengatakan 'Hai'. Tapi hari itu, saat angin menerpa gorden jendelaku dengan lembut. Tanganku ini seperti mempunyai kekuatan super, menyibakkan gorden itu dan kau berada di sana. Aku bisa melihatnya dengan jelas.

**

Satu kebohongan besar. Aku memulainya malam ini. Seperti biasa, hari ini adalah jadwal klub melukis. Memang sudah langganan sehari-hari kami pulang larut malam, tapi hari ini kami sedang mendiskusikan tentang pameran seni yang akan di adakan bulan depan dan lagi-lagi aku harus mengkoordinasi divisi yang merepotkan ini, dekorasi. Aku sempat ingin protes saat aku mendengar pembagian divisi ini, tapi mulutku mendadak bungkam saat ketua Klub menyebutkan namanya.

".........dan Dekka, kamu akan memegang koordinasi divisi tata cahaya untuk ruang utama sekaligus panggung." Kata Ketua.

Dia hanya mengangguk. Ya, dia memang seperti itu. Tidak banyak bicara, hampir tidak pernah tersenyum, tapi terlihat berkilauan. Aku benar-benar iri dengan pesonanya. Dia terkenal sangat pintar, dan terlihat sangat sopan.

Saat pembagian divisi selesai, kami langsung diminta rapat masing-masing divisi. Bagianku sendiri adalah mengawasi divisi dekorasi dan membantu mereka saat memerlukan sesuatu yang berhubungan dengan divisi utama -- bisa dibilang, eksekutif pada acara ini-. Saat ini divisi yang kutemani sedang dalam proses menggagas konsep. Anggota baru yang masuk tahun ini benar-benar bersemangat. Jujur saja aku sangat kagum pada mereka.

Sepanjang diskusi mereka, aku justru memainkan pesawat kertas yang kubuat. Ah seni melipat kertas adalah salah satu keahlianku, kalian mungkin bisa menyebutnya dengan origami. Aku selalu membuat pesawat dengan akurasi titik mendarat yang sempurna. Aku tahu teknik lipatan yang tepat untuk hal itu.

Diskusi kami tidak memerlukan waktu yang lama. Akhirnya kami memutuskan untuk membubarkannya dan akan dilanjutkan esok hari. Bagaimanapun juga, besok kami masih harus bersekolah. Ya, ini tahun terakhirku menjadi anak SMA. Aku harus menikmatinya.

Aku berjalan keluar dengan pesawat kertas di tangan. Aku rasa aku akan menerbangkan pesawatku itu setelah keluar dari ruangan ini. Angin berhembus. Aku melihatnya di luar ruangan, sepertinya dia sibuk dengan gadgetnya sambil berdiri. Aku mengambil spidol yang ada di kantong rokku dan menuliskan sesuatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun