Mohon tunggu...
Metik Marsiya
Metik Marsiya Mohon Tunggu... Konsultan - Menembus Batas Ruang dan Waktu

Praktisi Manajemen, Keuangan, Strategi, Alternatif dan Spiritual. Kutuliskan untuk anak-anakku, sebagai bahan pembelajaran kehidupan. ... Tidak ada yang lebih indah, saat menemani kalian bertumbuh dengan kedewasaan pemahaman kehidupan.... ................ tulisan yang selalu teriring doa untuk kalian berdua....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Liarnya Politik Indonesia, Penyalahgunaan Reformasi Kemerdekaan Berpendapat

2 Agustus 2017   12:51 Diperbarui: 2 Agustus 2017   12:55 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jebakan menang-menangan, koleksi pribadi

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat plural. Begitu banyak perbedaan yang ada di negeri ini. Lain lubuk lain belalang, dimana bumi berpijak disitu langit dijunjung. Tetapi memang harus diakui bahwa negeri ini dipenuhi dengan perbedaan di setiap bagian. Dalam satu wilayah Pulau Jawa, ada Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pola budaya di masing-masing sudah sangat berbeda dalam pecahan wilayah yang kecil. Baju adat Solo berbeda dengan baju adat Yogyakarta yang hanya berjarak sekitar 50 km. Suku Sunda sangat berbeda dengan Suku Jawa, Suku Sunda biasa beda lagi dengan Sunda Wiwitan. Bahasa Jawa Yogya berbeda dengan Bahasa Jawa Tegal, Ngapak-ngapak. Selalu ada perbedaan dalam setiap bagian. 

Hakekat hidup adalah keseimbangan, ada perbedaan dan ada kesamaan, selalu ada hal yang  baik dan yang buruk dalam sebuah keadaan. Sudah sangat tepat jika  pendiri bangsa ini membuat falsafah Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Jika dalam perbedaan, satu dengan yang lain saling melengkapi, saling menambal bagian yang kurang dengan bagian lainnya, maka akan tercipta sebuah kesatuan yang utuh. Engsel pintu adalah dari dua hal beda yang dikaitkan, meja terdiri dari puzzle yang beda dan disatukan, tersusunlah meja yang utuh, satu meja. Perbdaan jika mampu menyatukan dengan pas maka akan menghasilkan satu hal utuh yang besar dan bagus. Persatuan dan kesatuan adalah kunci dari kekuatan dalam perbedaan. 

Tetapi tontonan hingar bingar dunia politik saat ini bagaikan tontonan sinetron yang memuakkan dan tidak layak lagi untuk ditonton. Melihat Pilkada DKI pertarungan antara dua pihak yang berbeda etnis, berbeda agama menjadikan pembenaran untuk mengekspos perbedaan. Selalu ada alasan, selalu ada jawaban untuk berkilah untuk sebuah pembenaran, untuk pencapaian sebuah kemenangan.

Tidak ada yang layak dibela kecuali kebenaran dan kemanfaatan yang lebih besar untuk khalayak banyak, tetapi mencapai kemenangan dengan cara memecah bangsa ini adalah sebuah tindakan yang tidak pantas untuk diberi respek. Tidak layak orang dihormati, jika tindakannya tidaklah pantas untuk dihormati. Sayangnya saat ini orang dihormati karena jabatan dan kekuasaannya, bukan karena perilaku dan tindakannya. Akhirnya orang ingin dihormati dengan menjadi kuasa dan kekayaan, dan mendapatkannya dengan cara yang tidak layak. Salah kaprah pemahaman tentang kehormatan dan harga diri. 

Belanda menjajah Indonesia selama 3,5 Abad dengan cara menindas bangsa ini, menghancurkan dan memiskinkannya. Pak Harto mempertahankan kekuasaan dengan otoriter, tidak ada ruang kebebasan dan perbedaan pendapat. Tetapi hal ini dibuktikan dengan kekuasaan selama 32 Tahun, waktu yang sangat lama.  Banyak cara untuk mempertahankan kekuasaan. 

Kemerdekaan  adalah sebuah cita-cita mulia, kemerdekaan yang bertanggung jawab. Sebuah duka negeri ini adalah warisan feodal, sifat penjajah masih menguasai benak dan bawah sadar rakyat negeri, lahir dari apa yang dilihatnya selama berabad-abad, turun temurun, dimana kekuasaan melahirkan penindasan, kesombongan dan kepongahan. Kursi singgasana jabatan membuat orang lupa pada cita-cita dan tujuan semula saat ingin duduk di tahtanya. Dan beginilah negeri yang dikuasai oleh pemimpin yang tidak dewasa, dengan perilaku politik kekanak-kanakan. Bagaimana membangun negeri jika mereka yang di depan adalah mereka yang mempunyai watak anak-anak yang hanya tahu berebut mainan dan merusaknya jika tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. 

Saya tidak ingin mengamini Pak Harto dan Penjajah Belanda dalam mempertahankan kekuasaannya, tapi saya mau mengatakan bahwa dengan cara seperti itu membuat mereka mendapatkan apa yang diinginkannya, pembangunan infrastruktur jalan, tetapi tidak pembangunan manusianya. Tetapi melihat era sekarang, yang katanya era reformasi, era revolusi mental, era kemerdekaan yang sesungguhnya, membuat saya bisa mengatakan bahwa bangsa ini memang sangat tidak layak diberi kemerdekaan seutuhnya. 

Alm. Mochtar Lubis pernah mengatakan ciri manusia Indonesia adalah munafik, segan  dan  enggan  bertanggungjawab  atas  perbuatannya,  Feodalistik,  percaya takhyul, artistik,  watak yang lemah. Walaupun masih bisa ditambahkan, yaitu sifat pemalas, mau menang sendiri, mau benar sendiri, mau enak sendiri,negatif thinking. Dari sini bisa kita lihat secara keseluruhan, jika pembangunan itu sifatnya menyatukan dari yang berbeda, maka dengan kebebasan dan kemerdekaan tanpa batas membuat mereka bukan membangun bangsa ini, tetapi malah menghancurkan.

Jangan bicara kemajuan jika mereka selalu meruntuhkannya. Jangan bicara kemakmuran jika mereka saling merongrong untuk pundi-pundinya sendiri. Memanfaatkan perbedaan dengan memecahnya, memprovokasi, mengompori dan akhirnya mencapai apa yang diinginkan. Tidakkah mereka menyadari, bahwa usia mereka yang tua, umurnya panjang bukan simbol dari karena hidup yang berkah, tetapi hal ini bisa diartikan sebagai pertanda bahwa bumi ini pun enggan menerima manusia yang penuh dengan sifat kebusukan. 

Lagi-lagi saya harus mengamini apa yang pernah disampaikan Gus Dur, bahwa anggota DPR yang suka ribut itu seperti taman kanak-kanak, bahkan seperti playgroup. Mereka yang duduk di sana sebagian besar adalah orang yang sangat tidak dewasa, orang yang memanfaatkan segala cara untuk kemenangan dan kekuasaan atas nama kemerdekaan. Dan bagaimana saya harus memberikan penghormatan kepada mereka yang melakukan cara-cara tidak terhormat untuk menduduki singgasananya, singgasana yang harusnya dihormati dan disegani tetapi saat ini justru menjadi singgasana lambang sebuah kebobrokan akhlak bangsa ini. 

Kebebasan dan kemerdekaan hanya layak diberikan kepada mereka yang sudah dewasa, sama halnya seperti kita mendidik anak-anak kita, saat mereka dewasa kita bisa memberi mereka kepercayaan. Tetapi dalam kehidupan politik bangsa ini masih jauh dewasa, dunia politik yang banyak diisi oleh mereka yang tua tetapi tidak dewasa dan tidak berahlak membuat dunia politik menjadi hingar bingar kegaduhan dan kekacauan di sana-sini, mereka sungguh tidak layak mendapatkan kebebasan itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun