Pagi ini, beberapa orang tetanggaku mengeluhkan sampah yang tidak diambil oleh petugas Dinas Lingkingan Hidup Kota Bekasi sejak hari Kamis (9 Januari 2020) lalu. Dua tempat sampah yang disediakan oleh petugas untuk gang rumah kami sudah penuh sampai menggunung.
Seorang tetangga bercerita kalau orang-orang dari gang seberang tempat tinggal kami memindahkan tempat sampah-sampah mereka ke ujung tembok sebuah sekolah swasta di tepi jalan utama. Harapannya, supaya sampah mereka terangkut karena tidak mungkin tepi jalanan utama tidak dibersihkan oleh petugas.
Nyatanya, pukul setengah 8 pagi tadi, saat aku mengantar suamiku ke Stasiun Bekasi, tumpukan sampah tersebar di sepanjang Jalan Agus Salim. Bahkan di muka sebuah gang yang panjang dan padat penduduk, gunungan sampah itu memenuhi seperempat jalanan dan menyebabkan ketidaknyamanan pengendara sepeda motor seperti aku.
Mungkin petugas kebersihan akan membersihkannya siang hari. Sebab pada hari Kamis lalu, petugas kebersihan datang pukul 2 siang. Semoga saja.
Kata tetanggaku yang menjadi koordinator pembayaran uang sampah, petugas kebersihan sedang sibuk membantu tempat-tempat yang terkena banjir parah. Mereka membersihkan sisa-sisa sampah bekas banjir sehingga lingkungan di sana layak untuk dihuni lagi.
Itu bagus, tentu saja. Aku yakin kami semua maklum kalau mereka menunda pengambilan sampah di tempat kami dua atau tiga hari. Tapi kalau sudah sampai 5 hari atau bahkan lebih dari seminggu sampah tidak diambil, tempat kami yang jadi tidak layak huni.
Aku baca di kompas.com, petugas kebersihan Kota Bekasi memang kurang. Untuk kota dengan jalanan yang ribet dan padat penduduk ini, mereka hanya punya 1.600 petugas kebersihan. Padahal idealnya, mereka memiliki 4.000 petugas. Mereka berusaha memaksimalkan tenaga yang ada karena anggaran Dinas Lingkungan Hidupnya juga terbatas.
Tapi masak sih untuk kondisi luar biasa seperti ini nggak juga ada kebijakan lain?
Seharusnya, dengan kejadian ini pemerintah Kota Bekasi mulai memikirkan untuk memberi edukasi pada warganya tentang cara mengurangi sampah. Bukan hanya materinya saja yang harus dipikirkan, tapi juga bagaimana penyampaian materinya supaya bisa mengubah perilaku orang-orang.
Kelihatannya ribet, tapi aku yakin kalau edukasi pengurangan sampah ini berhasil, sampah yang dihasilkan orang-orang akan jauh berkurang. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu dipusingkan dengan rencana penambahan personil petugas kebersihan, TPA yang semakin yang butuh tempat lebih luas, dan banyak hal lainnya.
Hari Sabtu lalu, tanggal 11 Januari 2020, aku mengikuti sebuah lokakarya bertajuk "Pelatihan Membaca Nyaring dan Pemanfaatan Pustaka Digital" itu, aku belajar bagaimana membuat sebuah kajian sederhana pada buku cerita dan bagaimana membacakan cerita pada sekelompok anak. Isi dari lokakarya ini akan aku bahas lain kali.